Jumat, 31 Oktober 2008

"ADILKAH"



Delapan Belas Bulan Penjara untuk Duo Pelaku Insiden Monas
[30/10/08]

Tak puas dengan putusan hakim, massa pendukung terdakwa mengamuk di luar pengadilan. Polisi kerahkan 500 personil Dalmas. Terdakwa ajukan banding. 






Putusan Majelis Hakim yang diketuai Panusunan Harahap menyatakan Rizieq Shihab dan Panglima Komando Laskar Islam, Munarman, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Palu majelis yang menghukum Rizieq dan Munarman diketuk dalam sidang berbeda pada hari yang sama di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/10). Majelis menjatuhkan masing-masing hukuman 18 bulan penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni dua tahun.

 

Majelis hakim memutus Rizieq Shihab terbukti melakukan tindak pidana seperti yang termaktub dalam Pasal 170 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Sementara, Munarman sebagai “pelaku langsung” terbukti melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP. Menurut majelis ada hal-hal yang memberatkan kedua terdakwa. Rizieq Shihab pernah dipidana, Munarman adalah seorang sarjana hukum yang sepatutnya memberikan contoh, panutan dan tahu benar tindakannya melawan hukum. Keduanya juga dinilai meresahkan dan mengganggu ketertiban umum. Tidak terima vonis majelis, pihak Rizieq dan Munarman langsung mengajukan banding. 

 

Dimulai dari persidangan Rizieq. Panusunan menyebut pria yang biasa disapa Habib Rizieq itu terbukti menganjurkan dan membiarkan anak buahnya melakukan kekerasan dan pengerusakan secara bersama-sama di muka umum. Itu diperkuat dengan dakwah Rizieq di Masjid Al-Islami beberapa hari sebelum insiden monas terjadi. Dalam dakwah itu, Rizieq berseru agar memerangi Ahmadiyah. “Dan hal ini (pemberian dakwah-red) diakui oleh terdakwa sendiri,” kata Panusunan membacakan pertimbangan. 

 

Selain itu, Rizieq juga dianggap melakukan pembiaran. Walau ia tahu anak buahnya akan berunjuk rasa di tempat yang sama dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), ketua Front Pembela Islam ini malah tidak menghalangi atau membiarkan. Padahal, kata Panusunan, malam sebelum aksi unjuk rasa, Kabaintelkam Mabes Polri Saleh Saaf menelepon Rizieq untuk menginformasikan jika di hari yang sama AKKBB dan PDIP juga menggelar acara. Tindakan Rizieq ini dinilai Majelis memberi peluang atau kesempatan terjadinya insiden Monas. 

 

Secara hukum, Rizieq bertanggung jawab terhadap tindakan murid-muridnya. “Selaku ustad tentu terdakwa punya pengaruh. Dengan memberi arahan-arahan, terdakwa dapat mencegah atau menghindari murid-muridnya bertemu AKKBB,” lanjut Panusunan.  

 

Pertimbangan majelis ditepis Mohamad Assegaf. Pengacara Rizieq ini mengatakan dakwah kliennya menentang Ahmadiyah adalah sesuatu yang wajar karena Ahmadiyah sudah ditetapkan sebagai sesat dan harus dibubarkan. Siapapun berhak memberikan pendapat untuk memerangi dan membubarkan Ahmadiyah. Menurut Assegaf, selain kliennya, masih ada pihak lain yang menyuarakan hal sama, "tapi kenapa tidak ditindak?" katanya. Arie Yusuf Amir, pengacara Rizieq lainnya, juga melontarkan bantahan. Ia tak sepakat Rizieq melakukan pembiaran. "Kalau habib tahu sekalipun, itu bukan yang di Monas, tapi yang di Istana," ujarnya.

 

Rizieq sendiri mengritik putusan majelis yang mengabaikan keterangan beberapa saksi yang mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) karena merasa terintimidasi dan tidak didampingi pengacara saat dimintai keterangan oleh penyidik. Bukan hanya itu, majelis malah memasukan keterangan Hendri Sujono -polisi Polda Metro Jaya yang mengaku mengikuti ceramah Rizieq di Masjid Al Islami. Dalam pemeriksaan saksi di persidangan, saksi Hendri tidak dihadirkan dan BAP-nya juga tidak dibacakan. Penuntut Umum Mustaming beralasan ketidakhadiran Hendri karena ada tugas-tugas yang tidak dapat ditinggalkan. “Ini mencerminkan hakim tidak konsisten,” tukas Rizieq.

 

Di lain pihak, Munarman yang bersidang setelah Rizieq dianggap majelis telah melakukan tindak kekerasan dan pengerusakan bersama-sama di muka umum. Dalam pertimbangannya, majelis mengemukakan fakta persidangan dari keterangan korban pemukulan Yacobus E Juwono dan beberapa saksi lain seperti Nasir Ahmad dan Didi Ahmadi yang mengaku melihat Yacobus dipukul -kepala, pundaknya- dan didorong-dorong oleh Munarman. “Saksi Nasir Ahmad melihat terdakwa memukul Yacobus satu kali dalam jarak lima meter,” kata Panusunan. Fakta ini diperkuat oleh hasil visum Yacobus yang menyebutkan ia mengalami memar di kepalanya. Selain tindak kekerasan, Munarman juga terbukti melakukan pengerusakan terhadap mobil Daihatsu pengangkut sound system. Keikutsertaan Munarman dalam insiden Monas juga dikukuhkan rekaman DVD yang disita dari markas FPI. 

 

Barang bukti DVD ini masih dipermasalahkan pengacara Munarman. Nazori Doa Ahmad mengatakan DVD ini tidak terdaftar dalam barang bukti untuk perkara Munarman, melainkan Rizieq. “Dan ini yang akan kami kemukakan dalam (memori) banding. Hari ini juga kami akan banding,” tuturnya.  

 

Pengamanan Ketat

Usai putusan Rizieq, massa pendukungnya mengamuk di jalan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka juga berorasi menentang Ahmadiyah. Walau tidak terjadi bentrok, satuan pengendali massa sempat melempar gas air mata sebanyak dua kali. Berbeda saat Munarman usai divonis, reaksi massa pendukung cenderung lebih tenang, meski orasi-orasi menentang Ahmadiyah itu tetap ada.

 

Sepertinya, kemungkinan akan timbul respon seperti ini dari massa pendukung -Rizieq dan Munarman- sudah terbaca aparat. Dan untuk antisipasi, mulai dari pintu masuk bangunan pengadilan semua orang diperiksa dan harus melalui metal detector. Untuk pengamanan, diturunkan ratusan personil. Mobil rantis dan water canon juga disiapkan di tepi jalan. Kapolres Jakarta Pusat Ike Edwin mengatakan, “500 personil yang dikerahkan adalah gabungan antara Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat”.

 

(Nov)

RUU Pornografi Disahkan Dalam Suasana Kontroversial

RUU Pornografi Disahkan Dalam Suasana Kontroversial
[30/10/08]

Bukan hanya F-PDIP dan F-PDS yang melakukan walk out, dua anggota F-PG asal Bali juga melakukan hal yang sama. 




Perjalanan pembahasan RUU Pornografi yang selama ini sarat kontroversi dan perdebatan akhirnya berakhir. Hari ini (30/10), melalui Rapat Paripurna DPR, RUU yang sedianya bertitel RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ini disahkan.

 

Sebagaimana proses pembahasannya, pengesahan RUU Pornografi juga berjalan tidak mulus. Interupsi dari sejumlah anggota DPR saling bersahutan, baik yang pro maupun yang kontra. Kubu terakhir yang paling ngotot menyuarakan aspirasinya. Ketua Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (F-PDIP) Tjahjo Kumolo, misalnya, menegaskan sikap penolakan fraksinya. Menurut Tjahjo, RUU tersebut memuat dua pelanggaran yakni prosedural dan substansial.

 

“Kami menolak pengesahan RUU ini, dan melakukan walk out!” ujarnya lantang sambil meninggalkan ruangan sidang (walk out) dan diikuti beberapa rekannya sesama fraksi.

 

Pelanggaran prosedural yang dimaksud adalah tidak dijalankannya catatan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi ini sedianya dijalankan sebelum pengesahan RUU dilakukan. Artinya pemerintah diharapkan dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, khususnya sejumlah daerah yang resisten seperti Bali dan Sulawesi Utara. 

 

Menurut Tjahjo, F-PDIP menolak pengesahan karena didasari oleh beberapa alasan yang dianggap substansial. Pertama “penyelundupan” pengaturan pornoaksi dalam definisi pornografi. Spesifik, Tjahjo menyebut Pasal 1 dan Pasal 10 yang mencantumkan kata “pornoaksi, gerak tubuh, dan pertunjukkan di muka umum”. Ketentuan ini, lanjutnya, melanggar kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004. 

 

Pasal berikutnya yang dipersoalkan F-PDIP terkait dengan peran serta masyarakat, yakni Pasal 20 sampai Pasal 22. Dalam pasal ini terlihat bahwa RUU memberikan peran masyarakat yang terlalu besar dan luas. Tjahjo khawatir masyarakat tertentu yang cenderung anarkis dapat menyebabkan kekacauan.

 

Tidak hanya batang tubuh, bagian penjelasan juga tidak luput dari protes F-PDIP. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan terminologi “persenggamaan yang menyimpang”. Ketentuan ini, menurut Tjahjo, bertentangan dengan aturan World Health Organization (WHO) tahun 1993. WHO menyatakan homoseksualitas dan lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan. 

 

Penolakan serupa juga datang dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS). Ketua F-PDS Carlo Daniel Kadang mengatakan fraksinya menolak karena menangkap kesan RUU Pornografi disahkan terburu-buru. Padahal, seperti halnya F-PDIP, Carlo mencatat ada amanat Bamus yang belum dirampungkan yakni sosialisasi. “Dengan ini kami secara resmi menolak pengesahan RUU ini,” tegasnya.

 

Aksi walk out ternyata tidak hanya dilakukan oleh fraksi, dua anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar juga melakukan hal serupa. Mereka, Ni Nyoman Tisnawati Karna dan Gede Sumarjaya, berpendapat RUU Pornografi belum pantas dijadikan UU. Sumarjaya bahkan mendapat kesan RUU dipaksakan untuk disahkan, karena seingatnya baru tadi malam (29/10) diagendakan akan dibicarakan.

 

Walaupun diwarnai walk out dan interupsi, RUU Pornografi akhirnya mulus disahkan berdasarkan persetujuan delapan fraksi lainnya.

 

Ancaman terhadap HAM

Tidak lama setelah pengesahan, dua lembaga yakni Komnas Perempuan dan Elsam langsung menerbitkan siaran pers. Komnas Perempuan menyatakan pengesahan RUU Pornografi terlalu dipaksakan. Baik DPR maupun pemerintah, dinilai Komnas Perempuan telah terjebak dalam politisasi moralitas dan agama.

 

“Komnas Perempuan menyesalkan pengesahan RUU Pornografi siang ini oleh DPR di tengah kontroversi yang masih sangat besar di antara masyarakat tentang perlu atau tidaknya undang-undang ini,” demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan.

 

“Nasi sudah menjadi bubur”, tuntutan yang disuarakan Komnas Perempuan pun lebih diarahkan pada implikasi dari penerapan UU Pornografi. Komnas Perempuan meminta Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua MA untuk meningkatkan kesigapan aparatnya terhadap aksi-aksi masyarakat tertentu yang atas nama undang-undang berpotensi melakukan kekerasan.

 

Tuntutan juga dialamatkan ke Menteri Dalam Negeri. Komnas Perempuan meminta Mendagri mengawasi terbitnya peraturan-peraturan daerah imbas dari UU Pornografi. Peraturan dimaksud dikhawatirkan dapat melanggar hak-hak asasi kaum perempuan dan kalangan minoritas.

 

Sementara, Elsam tegas menyatakan pengesahan RUU Pornografi merupakan ancaman terhadap perlindungan HAM di Indonesia. Pengesahan ini, menurut Elsam, merupakan bukti bahwa DPR mengabaikan prinsip dasar penyusunan sebuah peraturan yakni efektivitas. Elsam menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, seperti Pasal 1 terkait definisi ponografi yang dianggap terlalu luas.

(CRF/Rzk)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20405&cl=Berita