Selasa, 16 Desember 2008

Lia Eden: Penghapusan Agama Bukan Penodaan Agama

Selasa, 16/12/2008 11:10 WIB

E Mei Amelia R - detikNews

Jakarta - Lia Eden ditetapkan menjadi tersangka kasus penodaan agama. Lia Eden berpendapat penghapusan agama yang dimintanya bukan penodaan agama. Tidak ada pasal hukum yang dapat menjeratnya.

Demikian disampaikan Lia Eden melalui rilis yang dibagikan oleh

Kelik dari Wahana Bangsa di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (16/12/2008).

Dalam rilis itu disebutkan, tidak ada pasal hukum apa pun yang dapat dipaksakan untuk menjerat Lia Eden atau pengikutnya sebagai tersangka.

Berikut edaran Lia Eden:

Aku Malaikat Jibril turun tangan menjadikan peristiwa ini untuk memperjelas hukum yang salah, yaitu pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama yang telah 2 kali ingin dijeratkan sebagai kesalahan Lia Eden.

Itu karena tidak ada pasal hukum yang bisa dipakai. Tetapi apakah keadilan hukum dapat diharapkan sedemikian. Fatwa Tuhan tentang penghapusan semua agama bukan kejahatan penodaan agama.

Marilah seluruh umat mengkaji tentang fatwa Tuhan yang Maha Kudus tersebut. Sebab, Lia Eden dan semua pengikutnya akan bertahan menyatakan diri tidak bersalah menghadapi laporan Abdurahman Assegaf yang nyata-nyata teroris dan menyulut anarkisme dan perusakan rumah ibadah.

Apakah laporannya itu lebih dipentingkan kepolisian RI atau kebenaran wahyu Tuhan.

Aku Malaikat Jibril membalikkan semua dan aku akan mengakhiri kebiadaban agama di dunia ini.(aan/iy)

http://www.detiknews.com/read/2008/12/16/111006/1054302/10/lia-eden-penghapusan-agama-bukan-penodaan-agama

Romli Atmasasmita Persoalkan Subyektivitas ‘Bukti yang Cukup’

 

[16/12/08]

Penahanan Romli dinilai prematur, tidak penuhi unsur “bukti yang cukup” dalam Pasal 21 KUHAP. JPN berdalih, keterangan 13 saksi dan bukti-bukti surat sebanyak 806 lembar sudah cukup dijadikan sebagai dasar penahanan.

Tidak sreg dengan penahanan dan penetapannya sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi proyek Sistem Informasi Badan Hukum (Sisminbakum), mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkumham Romli Atmasasmita mengajukan permohonan praperadilan (24/11).

Senin siang (15/12), sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dengan Ketua Majelis Hakim Suharto diawali dengan pembacaan kronologis versi pemohon –Romli yang diwakili penasehat hukumnya. Mulai dari penetapan Romli sebagai tersangka sampai penahanan yang dianggap tidak berdasar bukti yang cukup.

Firman Wijaya, salah satu penasehat hukum pemohon mengatakan ada yang janggal dalam penahanan dan penetapan Romli sebagai tersangka. Walau sudah beberapa kali disampaikan, dalam sidang praperadilan ini penasehat hukum mengaku sudah mempersiapkan saksi dan bukti. “Diantaranya Todung Mulya Lubis dan Muladi,” katanya. Kedua saksi ini akan mempertegas dugaan Romli terhadap adanya skenario penahanan dan penetapannya sebagai tersangka.

Seperti diketahui, usai pemeriksaan pertama yang diikuti langsung dengan penahanan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) ini sempat menyatakan ada skenario di balik penahanan terhadap dirinya. Romli mengaku, ia mendengar informasi itu dari orang “dalam” Kejaksaan Agung.

Ternyata informasi itu datang dari Mantan Menteri Kehakiman Muladi yang bertemu Wakil Jaksa Agung Mochtar Arifin dalam suatu acara di Istana Negara. Ketika itu, Romli sedang berada di Korea Selatan. Todung yang mendapatkan info penetapan Romli sebagai tersangka dari Muladi, langsung menelepon Dosen Hukum Pidana Pasca Sarjana Unpad ini. Dan, saat itu pula Romli mengkonfirmasinya ke Muladi. Benar saja, Muladi mengamini dan membeberkan asal-muasal informasi itu ia dapatkan.

Dugaan skenario ini semakin dipertajam dengan rilis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Efendi -ke media- mengenai penetapan Romli sebagai tersangka. Itu tercatat dalam Harian Tribun Jabar tertanggal 15 Oktober 2008. Padahal, papar Firman, baru 21 Oktober 2008 saksi-saksi diperiksa.

Selain dipertajam dengan rilis, penasehat hukum menduga ada konflik kepentingan (conflict of interest) antara Marwan dengan Romli, mengingat ia pernah mengeluarkan penyataan kalau disertasi Marwan dalam program doktor adalah jiplakan.

Kemudian, untuk Surat Perintah Penyidikan bernomor 57/F.2/Fd.1/10/2008 sendiri, keluar 31 Oktober 2008. Dilayangkannya surat perintah ini diikuti dengan pemanggilan Romli untuk pemeriksaan sebagai tersangka. Dengan surat pemanggilan bernomor SPT-1903/F.2/Fd.1/10/2008 ini, akademisi yang juga dikenal sebagai penggiat anti korupsi ini direncanakan hadir memenuhi panggilan pada tanggal 6 November 2008. Namun, urung karena Romli sehari sebelumnya baru saja pulang mengikuti Konvensi Anti Korupsi Internasional di Athena, Yunani.

Makanya, Romli kembali dipanggil tanggal 10 November 2008. Dua puluh tiga pertanyaan dilontarkan penyidik seputar identitas, riwayat pekerjaan, pendidikan, tugas, kewenangan, dan tanggung jawab Romli sebagai Dirjen AHU periode 2000-2002. “Baru sebatas itu, sehingga tidak ada alasan yuridis yang dapat dikualifikasikan ke dalam unsur Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengenai ‘dugaan keras tindak pidana’ dan ‘bukti yang cukup’ untuk menahan seseorang, selain karena ancaman hukuman lima tahun ke atas,” papar Firman.

Pasal 21 KUHAP

(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Menurut Firman, berdasarkan pasal ini, untuk menahan seseorang haruslah memiliki “bukti yang cukup”, sehingga unsur “diduga keras” juga dapat terpenuhi. Nah, penasehat hukum menganggap 13 orang saksi dan 806 dokumen-dokumen yang dinyatakan penyidik Kejaksaan Agung ini bukan sebagai “bukti yang cukup”. Itu karena bukti-bukti yang dianggap cukup tersebut tidak pernah dapat ditunjukkan oleh penyidik.

Dengan demikian, sampai saat ini pihak Romli menolak keras penahanan dan meminta hakim menyatakan Surat Perintah Penahanan No.Print-47/F2/Fd.1/11/2008 tanggal 10 November 2008 tidak sah dengan segala akibat hukumnya. Selain itu, hakim juga diminta untuk memutus Romli bebas dari Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI.

Atas permohonan praperadilan ini, Kejaksaan Agung sebagai pihak termohon menolak segala dalil yang dikemukakan pemohon. Wisnu Baroto, salah satu jaksa penasehat hukum negara (JPN) mengatakan bahwa mereka telah meminta keterangan 13 orang saksi dan memiliki bukti surat sebanyak 806 lembar dokumen. Bukti-bukti ini sudah dianggap cukup untuk melakukan penahanan.

Lagipula, dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, lanjut Wisnu, tidak dijelaskan pengertian “bukti yang cukup” itu, sehingga penafsirannya diserahkan dalam praktek penegakan hukum. Secara teknis peradilan, hakimlah yang berwenang menentukan cukup atau tidaknya bukti, bukan penyidik atupun penuntut. Namun, dalam porsi atau tahapan penyidikan, cukup atau tidaknya bukti tegantung subjektivitas penyidik. “Yang berarti pada penyidikan tentu sudah dianggap cukup bukti apabila telah ditemukan batas minimum pembuktian yang dapat diajukan nanti di depan sidang sesuai alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP,” jelas Wisnu.

Dua orang saksi dan bukti dianggap Wisnu sudah dapat dikatakan sebagai “bukti yang cukup”. “Ini subjektif penyidik. KUHAP minta dua saksi, kita sudah ada 13, malah beserta 806 lembar dokumen. Masa’ ini tidak cukup?” tukas Wisnu usai sidang praperadilan. “Kalau itu tidak cukup menurut subjektivitas dia (pihak Romli), menurut subjektivitas kita cukup,” imbuhnya.

Wisnu mengartikan subjektif itu tentunya sikap batin yang tidak diketahui oleh siapapun, kecuali orang itu sendiri. Tapi, tanpa mengabaikan alasan objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Lalu, untuk dalil-dalil lainnya, seperti dugaan skenario, sama sekali tidak ditanggapi JPN karena akan dibuktikan nanti ketika pesidangan. “Dan ini juga tidak berkaitan dengan wewenang Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan memutus sebagaimana dalam Pasal 77 KUHAP,” tukas Wisnu. Untuk itu, hakim diharap berkenan memberikan putusan menerima jawaban termohon dan menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya. Selain itu, menyatakan Perintah Penahanan No.Print-47/F2/Fd.1/11/2008 tanggal 10 November 2008 adalah sah.

Tugas akademik

Harapan lain yang dituju atas pembebasan Romli adalah ia dapat melakukan aktivitas akademisnya seperti semula. Frans Hendra Winata, juga salah satu penasehat hukum Romli, mengatakan masih ada tugas-tugas pendidikan dan kemasyarakatan yang cukup padat dan diamanahkan kepada Romli. Sampai saat ini, Romli masih menjadi dosen untuk setidaknya delapan mata kuliah di Unpad. “Selain itu, Romli juga membimbing tesis dan disertasi untuk sekitar 40 orang mahasiswa Pascasarjana dan Doktoral,” paparnya.

Lalu, apa tanggapan pihak termohon. Wisnu mengatakan penahanan yang diberlakukan kepada Romli tidak menghalangi tugasnya sebagai dosen karena tugas itu bisa diserahkan kepada asisten atau dosen lain. Untuk tugas Romli sebagai pembimbing tesis dan disertasi, menurut Wisnu dapat dilakukan di Rumah Tahanan, sebagaimana yang pernah dilakukan salah seorang guru besar Unpad di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri saat sedang menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalah urusan perizinan, pihak termohon (Kejaksaan Agung) telah memberikan izin kepada mahasiswa Romli untuk bertemu. “Dapat digunakan untuk melakukan bimbingan, sehingga tidak terganggu tugas-tugas pemohon (Romli) dalam membimbing mahasiswa pasca sarjana dan program doktoral,” pungkas Wisnu.

(Nov)


http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20721&cl=Berita

KADIN, HIPMI, DAN IWAPI GUGAT UU PERSEROAN TERBATAS

Senin , 15 Desember 2008 16:01:29
Sidang perdana pengujian UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) digelar Senin (15/12) di Ruang Sidang Panel Mahkamah Konstitusi. Pemohon prinsipal dari perkara ini adalah KADIN, HIPMI, dan IWAPI dengan diwakili oleh masing-masing ketuanya. Para Pemohon menilai, Pasal 74 UU a quo yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TSL) perusahaan telah melah merugikan pihaknya secara finansial.
“Pemberlakuan Pasal 74 menyebabkan adanya pungutan ganda terhadap perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Untuk membangun perseroan ini, kami disyaratkan melakukan analisis dampak lingkungan, dan berbagai hal lainnya. Kemudian, dengan pasal ini kami diharuskan lagi menganggarkan biaya untuk melaksanakan TSL,” ucap Kuasa Hukum Pemohon Bambang Widjojanto, S.H., M.H.
Di samping itu, Pemohon juga menganggap pemberlakuan pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian dan contradictio in terminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara tanggung jawab yang didasarkan atas karakter sosial (social responsibility) dan bersifat sukarela dengan kewajiban yang bersifat hukum (legal obligation) dan mempunyai daya memaksa. “Pasal 74 menyebutkan terminologi Tanggung Jawab Sosial berpijak pada filsafat dasar utilitarianisme. Namun di sisi yang lain, pelanggaran atas pasal ini dikenakan sanksi. Itu berarti ada sifat paksaan,” Bambang menambahkan.
Namun, Hakim Konstitusi H.M. Akil Mochtar selaku Ketua Majelis Panel merasa tidak terdapat korelasi antara kedudukan Pemohon dengan kerugian konstitusional yang didalilkan. Menurut Akil, untuk menjadi Pemohon yang memiliki legal standing, haruslah badan hukum atau perseorangan yang secara nyata-nyata dirugikan oleh pemberlakuan suatu ketentuan dalam undang-undang. Sementara para Pemohon bukan merupakan badan hukum sebagaimana dimaksud UU a quo, melainkan persatuan dari badan hukum tersebut. Padahal, lanjut Akil, “Sudah jelas bahwa yang disebutkan dalam pasal ini adalah Perseroan.”
“Kadin, Hipmi, dan Iwapi memang merupakan board dari badan hukum-badan hukum itu. Namun apa haknya untuk bisa mewakili kepentingan perseroan yang diwajibkan oleh Pasal ini?” tegas Akil sebelum menutup persidangan.(Kencana Suluh Hikmah)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2048

Prasangka


Selasa, 09/12/2008 10:51 WIB

Di sebuah negeri zaman dulu kala, seorang pelayan raja tampak gelisah. Ia bingung kenapa raja tidak pernah adil terhadap dirinya. Hampir tiap hari, secara bergantian, pelayan-pelayan lain dapat hadiah. Mulai dari cincin, kalung, uang emas, hingga perabot antik. Sementara dirinya tidak.

Hanya dalam beberapa bulan, hampir semua pelayan berubah kaya. Ada yang mulai membiasakan diri berpakaian sutera. Ada yang memakai cincin di dua jari manis, kiri dan kanan. Dan, hampir tak seorang pun yang datang ke istana dengan berjalan kaki seperti dulu. Semuanya datang dengan kendaraan. Mulai dari berkuda, hingga dilengkapi dengan kereta dan kusirnya.

Ada perubahan lain. Para pelayan yang sebelumnya betah berlama-lama di istana, mulai pulang cepat. Begitu pun dengan kedatangan yang tidak sepagi dulu. Tampaknya, mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

Cuma satu pelayan yang masih miskin. Anehnya, tak ada penjelasan sedikit pun dari raja. Kenapa beliau begitu tega, justru kepada pelayannya yang paling setia. Kalau yang lain mulai enggan mencuci baju dalam raja, si pelayan miskin ini selalu bisa.

Hingga suatu hari, kegelisahannya tak lagi terbendung. "Rajaku yang terhormat!" ucapnya sambil bersimpuh. Sang raja pun mulai memperhatikan. "Saya mau undur diri dari pekerjaan ini," sambungnya tanpa ragu. Tapi, ia tak berani menatap wajah sang raja. Ia mengira, sang raja akan mencacinya, memarahinya, bahkan menghukumnya. Lama ia tunggu.

"Kenapa kamu ingin undur diri, pelayanku?" ucap sang raja kemudian. Si pelayan miskin itu diam. Tapi, ia harus bertarung melawan takutnya. Kapan lagi ia bisa mengeluarkan isi hati yang sudah tak lagi terbendung. "Maafkan saya, raja. Menurut saya, raja sudah tidak adil!" jelas si pelayan, lepas. Dan ia pun pasrah menanti titah baginda raja. Ia yakin, raja akan membunuhnya.

Lama ia menunggu. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut raja. Pelan, si pelayan miskin ini memberanikan diri untuk mendongak. Dan ia pun terkejut. Ternyata, sang raja menangis. Air matanya menitik.

Beberapa hari setelah itu, raja dikabarkan wafat. Seorang kurir istana menyampaikan sepucuk surat ke sang pelayan miskin. Dengan penasaran, ia mulai membaca, "Aku sayang kamu, pelayanku. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu. Aku tak ingin ada penghalang antara kita. Tapi, kalau kau terjemahkan cintaku dalam bentuk benda, kuserahkan separuh istanaku untukmu. Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu."

**

Betapa hidup itu memberikan warna-warni yang beraneka ragam. Ada susah, ada senang. Ada tawa, ada tangis. Ada suasana mudah. Dan, tak jarang sulit.

Sayangnya, tak semua hamba-hamba Yang Maha Diraja bisa meluruskan sangka. Ada kegundahan di situ. Kenapa kesetiaan yang selama ini tercurah, siang dan malam; tak pernah membuahkan bahagia. Kenapa yang setia dan taat pada Raja, tak dapat apa pun. Sementara yang main-main bisa begitu kaya.

Karena itu, kenapa tidak kita coba untuk sesekali menatap 'wajah'Nya. Pandangi cinta-Nya dalam keharmonisan alam raya yang tak pernah jenuh melayani hidup manusia, menghantarkan si pelayan setia kepada hidup yang kelak lebih bahagia.

Pandanglah, insya Allah, kita akan mendapati jawaban kalau Sang Raja begitu sayang pada kita.

http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/prasangka.htm

Senin, 15 Desember 2008

Cara Beracara di MK terkait dengan PEMILU 2009


Assalamuaikum wr wb;

Berikut saya sampaiakan materi yang dalam Temu Wicara Mahkamah Konstitusi dengan Partai Politik Peserta Pemilu 2009 tentang Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu yang diadakan pada tanggal 12 s.d 14 Desember 2008.

Ada beberapa peraturan yang ndak bisa dilampirkan dalam Attach, namun bisa di dapatkan di Toko Buku terdekat yaitu:
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007;
Undang-undang Nomor 10 tahun 2008;
Undang-undang Nomor 12 tahun 2008;
Undang-undang Nomor 42 tahun 2008;
dan perturan-peraturan pelaksana lainya;
Semoga Bermanfaat. Untuk melakukan pembelajaran Advokasi sedari awal.

Wassalamuaikum wr wb

Nasrulloh Nasution, SH


http://id.mc452.mail.yahoo.com/mc/showMessage?

Sepatu Dilempar Setelah Bush Ucap Khairan Katsiera

Senin, 15/12/2008 10:18 WIB

Arifin Asydhad - detikNews
Baghdad - Presiden AS George Bush benar-benar apes saat menggelar jumpa pers bersama Perdana Menteri (PM) Irak Nuri Al Maliki. Dia dilempar sepatu oleh wartawan Irak. Bush dilempar hanya satu detik setelah dia mengucapkan 'khairan katsiera'.
Pelemparan sepatu oleh wartawan Irak ini terekam dalam video yang ditayangkan Reuters, Senin (15/12/2008). Saat itu, jumpa pers dalam sesi terakhir dan menjelang ditutup.
Dengan bahasa Arab, PM Nuri menyampaikan terima kasihnya kepada Bush atas kesempatan jumpa pers dan datang ke Irak. Bush yang mencoba-coba menggunakan bahasa Arab saat menutup jumpa pers itu, juga mengatakan, 'khairan katsiera' sambil tersenyum. Khairan katsiera berarti 'terima kasih banyak.'
Nah, satu detik setelah Bush mengucakpan 'khairan katsiera' itu, lemparan sepatu dari bangku wartawan melayang ke arah Bush. Kasus lemparan sepatu ini terjadi dua kali. Dan hebatnya, Bush berhasil menghindari dua buah sepatu itu. Dilempar sepatu, Bush masih tetap memperlihatkan wajah santai.
Bush mengunjungi Irak Minggu (14/12/2008), sebelum lengser untuk meninjau kondisi terakhir pakta keamanan Irak-AS menjelang penarikan pasukan AS dari negara itu, Juli tahun 2009. Kunjungan Bush ini sebagai kunjungan terakhir dan sebagai salam perpisahan darinya. Pada 20 Januari 2009, Bush sudah harus menyerahkan tampuk pimpinan AS ke pundak Barack Obama.
Di Irak, Bush mengunjungi, berpidato dan memberikan ciuman kepada para prajurit AS. Setelah dari Irak, Bush kemudian melanjutkan perjalanan ke Afghanistan untuk bertemu dengan para serdadu AS yang bertugas di negeri Taliban itu.(asy/gah)

http://www.detiknews.com/read/2008/12/15/101806/1053641/10/sepatu-dilempar-setelah-bush-ucap-khairan-katsiera

RUU MA Dinilai Cacat Konstitusional

[14/12/08]

Bila DPR tetap ngotot mengesahkan, sejumlah pihak siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) sudah memasuki tahap final. Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga telah menyepakati substansi dalam revisi itu, termasukusia pensiun hakim agung yang diperpanjang menjadi 70 tahun. Minus PDI Perjuangan yang menolak, mayoritas Fraksi di Senayan sudah memberi lampu hijau.

Menurut rencana, Komisi III DPR akan menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas draft final RUU MA pada 16 Desember nanti. Dua hari berselang, pada 18 Desember 2008, RUU akan disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna. Ketua DPR Agung Laksono menjanjikan DPR akan menerima apapun keputusan yang diambil Komisi III dalam raker tersebut. Artinya, peluang RUU MA ini disahkan sangat besar.

Melihat perkembangan tersebut, sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap menyatakan penolakan terhadap RUU MA ini sudah menyiapkan langkah hukum. Bila RUU itu benar-benar disahkan, sejumlah kelompok masyarakat siap mendaftarkan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Pembahasan RUU ini cacat konstitusional,” ujar peneliti Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Wahyudi Djafar di Jakarta, Jumat (12/12).

Wahyudi mengatakan revisi UU MA ini bisa diajukan uji formal ke MK. Ia menilai proses pembentukan revisi UU itu tidak melewati prosesdur sebagaimana lazimnya tata urutan peraturan perundang-undangan. “Proses tertutup. Rapat Dengar Pendapat Umum tidak dilakukan. Tiba-tiba masuk Bamus dan siap disahkan,” jelasnya. Menurutnya, proses tersebut bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu asas yang dilanggar dalam UU itu adalah keterbukaan.

Meski UU 10/2004 hanya berupa UU, tapi UU itu berisi norma konstitusi. Wahyudi menjelaskan UU 10/2004 merupakan turunan langsung dari Pasal 22A UUD'45. Pasal itu berbunyi 'Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang'. “UU 10/2004 itu merupakan norma konstitusi,” tuturnya. Sehingga, bila dalam proses pembentukan UU menabrak asas dalam UU 10/2004, sama halnya dengan menabrak norma konstitusi.

Pasal 5 UU 10/2004

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat:

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan: dan

g. Keterbukaan

Asas yang dilanggar dalam pembentukan UU MA itu sebenarnya bukan hanya asas keterbubakaan, tetapi juga asas kejelasan tujuan. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zainal Arifin Mochtar menilai DPR tak mempunyai konsep yang jelas tentang lembaga MA serta kekuasaan kehakiman secara umum mau dibawa ke mana. Politik hukum DPR terhadap kekuasaan kehakiman ini tidak jelas.

Zainal menjelaskan politik hukum itu terdapat tiga dimensi. Pertama, bangunan hukum itu mau dibawa ke mana. Kedua, adanya tarik ulur kepentingan politik. Terakhir, bagaimana implementasi produk hukum itu ke depan. Ia menilai elemen penting yang pertama tak dimiliki DPR dalam membentuk UU MA. “DPR telah gagal memahami politik hukum,” tuturnya.

Argumentasi untuk mengajukan uji formal yang sepertinya dikuatkan. Apalagi, konsekuensi uji formal lebih dahsyat dari sekedar uji materi. Dalam pengujian formal UU, MK bisa 'membatalkan' seluruh isi ketentuan UU. Namun, Zainal menyarankan agar uji materi juga harus tetap dilakukan. “Pengujian UU MA ke MK jangan hanya secara formil saja, tapi juga uji materi,” tuturnya.

Zainal mengibaratkan pengajuan uji formal maupun uji materi ini seperti melempar jala. Semua upaya harus dilakukan. “Jangan hanya lempar pancing, tapi lembar jala. Biar nanti benar-benar tersangkut,” pungkasnya.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20714&cl=Berita

Jumat, 12 Desember 2008

Ramai-Ramai Gugat UU Pilpres ke MK

[11/12/08]

Yusril mempersoalkan persyaratan menjadi capres, Fadjroel Rahman mengupayakan kemungkinan calon independen.

Saurip Kadi terlihat berbicara berapi-api di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini memang ingin meyakinkan panel hakim konstitusi bahwa Undang-Undang Pemilihan Presiden (UU Pilpres) teranyar bertentangan dengan UUD’45. Lebih tegas lagi, Saurip mengatakan UU No. 45 Tahun 2008 itu melanggar konsep kedaulatan rakyat.

Substansi yang dipersoalkan Saurip adalah syarat pengajuan calon presiden oleh partai politik. Syarat itu diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres. Isinya: ‘Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden’.

Saurip mengatakan persyaratan berat ini merupakan upaya monopoli parpol besar. “Parpol kecil yang menjadi tempat rakyat berserikat dibatasi untuk mengajukan capres dengan UU ini,” tuturnya. Ia mengatakan peluang terakhir bagi rakyat untuk mempertahankan kedaulatannya ada di MK. “Kalau permohonan ini ditolak, MK akan dilaknat sejarah,” ujarnya berapi-api.

Orang yang mempersoalkan Pasal 9 UU Pilpres bukan hanya Saurip. Partai Bulan Bintang (PBB) juga mengajukan permohonan serupa. Karena memiliki muatan yang sama, persidangan Saurip digabung dengan parpol yang telah mendeklarasikan akan mengusung Yusril Ihza Mahendra ini.

Kuasa Hukum PBB, Januari Hariwibowo menjelaskan Pasal 9 tadi telah merugikan hak konstitusional kliennya. Sebab, dengan berlakunya pasal tersebut rencana PBB untuk mengusulkan capres bisa terhambat. Selain itu, PBB mempersoalkan Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres yang menyebutkan Pemilu Legislatif dilakukan sebelum Pilpres digelar. Padahal, lanjut Januari, konstitusi menyebut pemilu hanya dilakukan sekali dalam lima tahun. “Kalau konsepnya seperti itu, berarti ada dua kali pemilu dalam satu tahun,” ujarnya.

Sekedar mengingatkan, PBB memang telah mendaftarkan permohonannya Selasa minggu lalu (2/12). Kala itu, petinggi-petinggi PBB hadir menyambangi MK. Di antaranya adalah Ketua Majelis Syuro DPP PBB Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPP PBB Hamdan Zoelva.

Hari ini, Kamis (9/12) merupakan sidang perdana perkara tersebut. Ternyata, bukan PBB dan Saurip saja yang mempersoalkan UU Pilpres. Tak selang berapa lama setelah sidang perdana itu usai, Fadjroel Rahman dkk mendatangi Gedung MK. Mereka hendak mendaftarkan permohon uji materi UU Pilpres. Namun, fokus yang diincar Fadjroel Cs sedikit berbeda. Mereka bukan mempersoalkan syarat pengajuan capres melalui parpol, melainkan hendak memperjuangkan diperbolehkannya capres independen ikut bertarung dalam Pilpres.

Fadjroel mengakui UU Pilpres memang saat ini sedang berada dalam kepungan. Ia mengaku telah berdiskusi dengan Yusril terkait permohonan ini. “Kita incar dua titik,” ungkapnya. Bila Yusril mengincar syarat pengajuan capres, Fadjroel tetap konsisten memperjuangkan capres independen.

Permohonan yang diajukan trio Fadjroel, Marianna Amiruddin dan Bob Febrian ini memang bukan kali pertama. Sebelumnya, bersama dengan juga menguji UU Pilpres yang lawas, UU No. 23 Tahun 2003. Namun, permohonan itu terpaksa dicabut karena UU 23/2003 telah diubah UU 45/2008.

Kala itu sidang sudah sampai mendengarkan keterangan ahli. Pemohon menghadirkan tujuh intelektual muda dari berbagai latar belakang ke ruang sidang. ereka adalah Saiful Mujani, Effendy Ghazali, Refly Harun, Rocky Gerung, Andrinof Chaniago, Taufiqurrahman Syahuri, dan Yudi Latif.

Kuasa Hukum pemohon, Taufik Basari mengatakan akan melampirkan risalah keterangan tujuh ahli ini dalam permohonannya yang baru. “Mereka telah memberikan keterangan ahli yang luar biasa,” ujarnya. Namun, Tobas sapaan akrabnya tak akan berhenti sampai di situ. Ia juga sudah menyiapkan ahli yang baru untuk didengarkan keterangannya.

Ketiga ahli itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah mantan Presiden Indonesia BJ Habibie, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginanjar Kartasasmita, dan Gubernur DI Yogyakarta yang telah mendeklarasikan sebagai capres Sri Sultan Hamengkubowono X. “ Mereka sudah bersedia,” pungkas Fadjroel.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20697&cl=Berita

Bicara Hak Asasi Tidak Bisa Bisik-bisik

Jumat, 12/12/2008 08:32 WIB

Salomo Sihombing - detikBandung

Bandung - Meski isu hak asasi manusia sudah dibicarakan secara global, nyataannya selalu ada kontroversi yang berbeda-beda di tiap negara atau daerah. Tetapi yang pasti, hak asasi harus dibicarakan secara terbuka, bukan berbisik-bisik.

Memperingati hari deklarasi universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang tepatnya pada 10 Desember, isu hak asasi mewarnai hampir seluruh simpul komunikasi dan informasi. Koran-koran, televisi, radio, internet, mengangkat isu hak asasi manusia. Bahkan di banyak daerah ada gerakan sipil yang turun ke jalan-jalan berteriak menuntut ketidakadilan yang terjadi di berbagai sisi kehidupan.

Salah satu acara terkait peringatan HAM di Bandung, pada 6 Desember 2008 sampai 10 Januari 2009 digelar pameran foto yang mengisahkan Anne Frank.

Nama wanita Yahudi yang tinggal di Belanda ini telah menjadi seperti reverensi di tiap pembahasan isu HAM global, karena catatan hariannya yang mengisahkan bagaimana tragedi HAM yang terjadi di zaman Nazi.

"Kita berbicara HAM tidak bisa sembunyi-sembunyi, harus dibuka di ruang publik. Untuk menghilangkan diskriminasi, kita harus total. Harus tahu siapa yang setuju, siapa yang tidak. Baru kemudian kita buka ruang diskusi," ujar Direktur Common Room Gustaff H Iskandar, saat ditemui detikbandung di tempat kerjanya di Jalan Kyai Gede Utama No.8, Kamis (11/12/2008).

Tidak hanya menggelar pameran, ada juga serangkaian kegiatan lain seperti diskusi, juga workshop untuk memasyarakatkan budaya menulis sebagai referensi oral history yang belum populer di Indonesia.

Dijelaskan alumni ITB tersebut, dipilihnya tokoh asing sebagai tema pameran dijelaskan Gustaff karena sangat sulit mencari contoh kasus lokal yang bisa dijabarkan secara jelas.

"Saya membuka ruang diskusi juga di internet dan ada yang bertanya, mengapa harus Anna Frank, kenapa tidak tokoh-tokoh lokal? Itu bisa terjawab disendiri. Siapa yang bisa kita bahas kasus lokal? Marsinah? Wartawan yang mencoba mengangkatnya pun dianiaya. Munir apalagi, lebih gelap," tuturnya.

Namun ditambahkan Gustaff, pergerakan di Bandung untuk membahas dan mendokumentasikan isu-isu lokal sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. "Sebelumnya sudah dimulai oleh teman-teman Ujung Berung, ada yang menulis Ivan Scumbag. Di buku yang ditulis Kimung itu banyak sekali masalah-masalah lokal yang diangkat," tuturnya.

Kegiatan lain yang juga digelar adalah pemutaran dan diskusi film "Freedom Writers" yang disutradarai Richard LaGravenese. "Tahun depan, kita ingin kegiatan ini bisa kita bawa ke beberapa kota lain di Indonesia," simpul Gustaff.

Ayo ngobrol seputar Kota Bandung di Forum Bandung.

(lom/lom)


http://bandung.detik.com/read/2008/12/12/083225/1052448/486/bicara-hak-asasi-tidak-bisa-bisik-bisik

Kamis, 11 Desember 2008

Hakim Dianggap Keliru Tafsirkan Pelepasan Hak atas Pesangon

[11/12/08]

Menurut hakim PHI Bandung, kesepakatan penjualan aset perusahaan dianggap sebagai persetujuan pekerja untuk melepas hak mendapat pesangon. Pertimbangan hakim itu dinilai melanggar hukum.

“Majelis hakim tak berhati nurani,” teriak Indra Munaswar di depan persidangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, awal Agustus lalu. Teriakan Indra itu adalah ekspresi kekesalannya kepada majelis hakim yang menolak gugatannya.

Saat itu, Indra sedang menjadi kuasa hukum 369 pekerja yang sedang menggugat PT Buana Prefash Jaya di PHI Bandung. Gugatan dilayangkan lantaran pesangon para pekerja tak dibayar setelah perusahaan tutup pada Agustus 2007 dan dibubarkan pada September 2007.

Perkara di perusahaan tekstil yang terletak di Cibinong, Jawa Barat ini bermula ketika pada September 2007, perusahaan menjual semua aset perusahaan seperti mesin, genset, bahan produksi dan peralatan kantor. Sementara tanah dan bangunan adalah milik pihak ketiga yang disewa perusahaan. Penjualan aset perusahaan ini dilakukan setelah ada kesepakatan tertulis antara perusahaan dengan serikat pekerja.

Perusahaan berdalih, penjualan aset adalah ujung dari kerugian yang ditanggung perusahaan sejak tahun 2005. Hasil penjualan aset pun ludes untuk membayar upah pekerja bulan Agustus 2007 dan utang kepada beberapa pemasok barang (supplier). Itu pun kabarnya masih menyisakan utang sebesar Rp2 juta.

Dalam perkara ini Indra melihat beberapa kejanggalan. Mulai dari dugaan penyelundupan hukum terkait perubahan status perusahaan dari Penanaman Modal Asing ke Penanaman Modal Dalam Negeri, perubahan struktur pengurus perusahaan, hingga dugaan rekayasa penutupan perusahaan. Atas hal ini, ia menuntut perusahaan membayar pesangon dan upah selama proses. Jumlahnya berkisar antara Rp16 juta sampai Rp30 jutaan tiap orangnya.

Perusahaan bergeming atas tuntutan pekerja. Alasannya, perusahaan tak memiliki aset lagi untuk membayar pesangon. Selain itu perusahaan berdalih bahwa kesepakatan penjualan aset adalah bentuk kesukarelaan dari pekerja untuk tidak menuntut pesangon lagi.

Indra, yang juga Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit ini terang membantah dalil perusahaan. Menurutnya, tak ada satu pun klausul dalam surat kesepakatan penjualan aset yang menyebutkan pekerja secara sukarela melepas haknya untuk mendapat pesangon. Kalaupun ada kesepakatan itu, lanjut Indra, maka kesepakatan itu bertentangan dengan undang-undang.

Secara normatif, UU Ketenagakerjaan memberi hak pesangon kepada pekerja yang di-PHK secara massal dengan alasan perusahaan merugi terus-menerus selama dua tahun. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Di dalam putusannya, majelis hakim PHI Bandung yang diketuai Johny Santosa, beranggotakan Lela Yulianty dan Frans Kangae Keytimu, lebih sependapat dengan dalih perusahaan ketimbang melirik Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan itu.

Menurut hakim, kesepakatan penjualan aset perusahaan adalah kesepakatan yang sah dan mengikat para pihak sesuai dengan prinsip perjanjian. Ditambah fakta bahwa pekerja menerima uang hasil penjualan aset dan surat keterangan pengalaman kerja, hakim berpendapat bahwa pekerja merelakan hak pesangonnya.

Sesat Pikir

Kontan saja Indra mencak-mencak atas putusan hakim. Menurutnya, uang hasil penjualan aset yang diterima pekerja adalah upah bulan terakhir sebelum perusahaan tutup. “Bukan pesangon. Lagi pula saya tegaskan, tidak ada klausul dalam surat kesepakatan yang menyebutkan pekerja merelakan hak pesangonnya.”

Agus Mulya Karsona, pakar Hukum Perburuhan Universitas Padjadjaran, Bandung, menilai putusan hakim amat janggal. Ia sependapat dengan Indra. Kalaupun ada klausul dalam kesepakatan yang menyebutkan pekerja merelakan hak pesangonnya, maka klausul itu dengan sendirinya menjadi batal.

Menurut Agus, salah satu syarat sahnya perjanjian menurut hukum perdata adalah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pada bagian lain, UU Ketenagakerjaan juga tidak membolehkan perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha melanggar undang-undang.

Dalam hal perusahaan melakukan PHK massal karena perusahaan rugi, sambung Agus, Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan sudah menegaskan hak pekerja dan kewajiban pengusaha. “Berarti hakim dalam perkara ini sudah mengangkangi Pasal 164 Ayat (1) ini. Atau mungkin hakim nggak tahu pasal ini?” kata Agus.

Pandangan sedikit berbeda dilontarkan Aloysius Uwiyono. Guru besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia ini mengatakan pelepasan hak pekerja atas pesangon dapat dibenarkan, jika tercantum secara tegas dalam surat kesepakatan. “Menurut saya, itu sah saja sepanjang perusahaan benar-benar terbuka kepada pekerja mengenai kondisi keuangan perusahaan,” kata dia lewat telepon, Rabu (10/12).

Sampai berita ini diturunkan, hukumonline tak berhasil menghubungi Nanda Iskandar, kuasa hukum perusahaan. Usaha menghubungi lewat telepon pribadinya tak membuahkan hasil.

Di sisi lain, Indra sudah mengajukan memori kasasi pada September lalu. “Mudah-mudahan hakim tingkat kasasi memiliki pemahaman hukum ketenagakerjaan yang mumpuni dan yang pasti, berhati-nurani.”

Bagaimana putusan di tingkat kasasi? Kita tunggu saja.

(IHW)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20690&cl=Berita

Korban Lumpur Lapindo

Kamis, 11/12/2008 07:53 WIB

80 Orang Diberi Tumpangan Warga


Moksa Hutasoit - detikNews

Ilustrasi (Dok. detikcom)

Jakarta - Setelah sempat 'ngemper' karena ditolak menginap di Masjid Istiqal, 80 korban lumpur Lapindo bisa bernafas lega. Mereka diberi tempat untuk beristirahat serta makanan oleh salah seorang warga.

"Sekarang kami nginap di dekat kantor yayasan, di dekat SMU 8 (Bukit Duri, Tebet)," kata Ibu An, salah satu korban lumpur, saat dihubungi detikcom, Kamis (11/12/2008) pagi.

Pemilik yayasan ini adalah Ibu Punki, warga Surabaya yang kini telah menetap di Jakarta. Perlakuan yang diterima korban lumpur selama berada di yayasan ini sangat berbeda jauh dibanding LSM yang mendatangkan mereka ke Jakarta.

"Kami baru saja selesai makan, dikasih Ibu Pungki," ujar An.

Menurut warga Desa Siring Barat, Sidoarjo, ini, para korban yang terlantar di depan Istiqal akhirnya dipindahkan ke yayasan ini sekitar pukul 00.00 WIB. Untuk pergi ke rumah Ibu Pungki, mereka menyewa Metro Mini atas biaya LSM.

"LSM yang bayarin, tapi setelah kita marahin," keluh An.

Ibu An beserta yang lain mengaku sangat kecewa dengan perlakuan yang mereka terima dari LSM yang mensponsori mereka datang ke Jakarta. Harapan untuk bisa mengadu ke Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai nasib desa mereka yang juga terkena lumpur Lapindo, mulai dilupakan.

Mereka kecewa karena merasa dilepaskan begitu saja sesampainya di Jakarta. Sebagian dari mereka saat ini sedang berusaha bertemu dengan pihak LSM untuk membicarakan kasus ini.

"Kita sudah kecewa, Mas. Mending jalan-jalan saja, tunggu pulang," sesalnya.(mok/nrl)

http://www.detiknews.com/read/2008/12/11/075307/1051766/10/80-orang-diberi-tumpangan-warga

Rabu, 10 Desember 2008

M. JASIN: PERLU PERUBAHAN MINDSET ANTI KORUPSI

Selasa , 09 Desember 2008 16:03:08

Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan menangkap dan memenjarakan para pelaku korupsi tetapi juga harus ada perubahan perubahan pola pikir para penyelenggara negara. Demikian antara lain pesan yang disampaikan Wakil Ketua Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Jasin kepada para pegawai Mahkamah Konstitusi (MK).

”Perlu ada perubahan mindset di kalangan para pejabat negara, khususnya lembaga peradilan,” tegas M. Jasin pada peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia yang digelar Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, Selasa (9/12) pagi, di gedung MK, Jakarta.

M. Jasin menambahkan, perubahan pola pikir para birokrat menjadi lebih jujur mutlak diperlukan apabila Indonesia ingin mengurangi budaya korupsi. ”Itu pun kalau kita mau mengurangi (korupsi), belum menghilangkan,” katanya.

Terkait langkah-langkah yang dilakukan MK dalam menciptakan peradilan yang transparan dan jujur, Jasin menambahkan, KPK sangat menghargai langkah tersebut. ”KPK sangat menghargai langkah MK yang sudah menerapkan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap putusan dan proses peradilannya,” imbuhnya.

Membunuh Secara perlahan

Menjawab pertanyaan salah seorang pegawai MK mengenai belum ditindaklanjutinya putusan MK mengenai keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), M. Jasin mengatakan hal tersebut berada di luar kewenangan KPK. Menurutnya, pembahasan mengenai UU Tipikor merupakan wilayah dan kewenangan DPR, KPK hanya pelaksana undang-undang tersebut.

Meskipun demikian, lanjut Jasin, apabila benar proses pembahasan UU tersebut sengaja diperlambat, hal tersebut menurutnya merupakan upaya untuk membunuh KPK secara perlahan. ”Bisa jadi ini adalah upaya membunuh KPK pelan-pelan,” ungkapnya.

Seperti telah diketahui, MK menganggap UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang di dalamnya juga mengatur mengenai pengadilan tipikor, bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun demikian, MK memberi waktu selama tiga tahun kepada pembuat undang-undang untuk merevisi UU tersebut sebelum dinyakatakan tidak berlaku. Batas waktu tersebut akan berakhir pada Desember 2009.

Sementara sebelumnya, saat menyampaikan sambutan, Sekretaris Jenderal MK, Janedjri M. Gaffar menyampaikan kepada M. Jasin upaya-upaya yang telah dibangun di MK untuk menciptakan sistem peradilan yang modern, terpercaya, dan bebas korupsi.

”Alhamdulillah, karena MK merupakan lembaga yang relatif baru, kami telah berhasil mengupayakan sistem peradilan dan birokrasi yang sederhana dan murah bagi para pencari keadilan,” ujar Janedjri.

Janedjri juga menjelaskan bahwa MK telah membangun budaya transparansi dalam proses beracara dan pelayanan bagi masyarakat. Upaya tersebut antara lain dengan menampilkan putusan secara bersamaan pada saat putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim saat persidangan berlangsung. Bahkan, tambah Janedjri, sesaat sesudah sidang selesai, para pihak dapat langsung memperoleh salinan putusan tersebut dan sepuluh menit kemudian setiap orang di seluruh dunia dapat membaca putusan tersebut melelui laman MK di internet.

”Ini merupakan upaya MK untuk mewujudkan peradilan yang transparan dan terbuka,” tandas Janedjri. [ardli]


 

 


http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2043

UU PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;

Mengingat: Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN

Bagian Kesatu
Peran Pemerintah

Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI
PEMUSNAHAN

Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.

Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181.


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI

I. UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 5
Yang dimaksud dengan "mengunduh" (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.

Pasal 6
Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Yang dimaksud dengan "penyidik" adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928.

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=uu44-2008.htm

KY Khawatir Ada Upaya Deligitimasi RUU MA

[10/12/08]
Ada tiga pasal yang krusial yang wajib disinkronkan yakni pengawasan, mekanisme seleksi, dan soal majelis kehormatan.
RUU Mahkamah Agung (MA), RUU Komisi Yudisial (KY), dan RUU Mahkamah Konstitusi (MK) adalah satu paket yang “lahir” berkat Putusan MK terkait kewenangan KY dalam mengawasi kalangan hakim. Ketiga RUU tersebut kini tengah dibahas di DPR, kebetulan ketiganya digodok di Komisi III yang membawahi bidang hukum dan HAM. Karena satu paket dan didasari oleh desakan terhadap materi yang sama, yakni pengawasan hakim, pembahasannya pun seyogyanya secara bersamaan.
Namun, kenyataan tidak sesuai harapan. Pembahasan paket RUU itu terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sinkronisasi materi RUU, khususnya RUU MA dan RUU KY, pun tidak berjalan. Uniknya, kritik justru datang dari internal Komisi III. Gayus T. Lumbuun mengatakan pembahasan dua RUU tersebut jauh dari harapan. RUU MA dibahas lebih awal, menyusul RUU KY, sedangkan RUU MK belum dibahas sama sekali.
“Artinya sebelumnya belum pernah kuorum, dan baru hari ini kuorum, tetapi kuorumnya pas-pasan,” kata Gayus, mengambarkan situasi pembahasan di Komisi yang saat ini dipimpin Trimedya Panjaitan.
Ketimpangan waktu pembahasan antara satu RUU dengan RUU lainnya, menurut Gayus, menyulitkan proses sinkronisasi. Sebagai contoh, Gayus menyebut ketentuan tentang kewenangan rekrutmen hakim agung antara KY dan MA. Sebagaimana diketahui, kewenangan KY terkesan dibatasi karena berlaku ketentuan 3:1 dalam rekrutmen hakim agung.
“Lembaga yang lebih dominan itu KY bukan MA, MA hanya mengusulkan, masyarakat juga hanya mengusulkan, KY yang memutuskan, ini terpaksa berubah karena dalam RUU MA sudah disetujui, dan KY harus mengikuti aturan yang sudah disetujui dalam RUU MA sebelumnya,” ujar politisi dari PDIP ini.
Politisi PDIP lainnya, Eva Kusuma Sundari menangkap kesan pembahasan RUU MA lebih dikebut dibandingkan dua RUU lainnya. Jika RUU MA benar-benar disahkan lebih awal, Eva khawatir pembahasan RUU KY “tersandera”. Artinya, RUU KY mau tidak mau akan mengikuti substansi RUU MA jika sudah disahkan. “Saya heran banyak kesepakatan yang berubah dan terkesan ada kejar tayang dalam pembahasannya,” ungkapnya.
Ketua KY Busyro Muqoddas menanggapi enteng fakta yang diungkapkan Gayus dan Eva. Menurut Busyro, waktu pembahasan RUU KY adalah kewenangan sepenuhnya Komisi III. Kalaupun RUU MA didahulukan dari RUU KY, Busyro menyerahkan pada kebijakan Komisi III. “Jadi, mereka (Komisi III, red.) yang bertanggung jawab kepada publik dan bangsa ini,” katanya.
Meskipun terkesan pasrah, Busyro tetap mempertanyakan sikap pemerintah dan DPR, khususnya Komisi III, apakah masih menghendaki adanya KY atau tidak. Menurutnya, jika RUU MA didahulukan maka akan memunculkan kesan KY tidak lagi diharapkan. Sebaliknya, pembahasan RUU MA seharusnya dilakukan bersamaan jika memang KY masih dipandang penting.
Busyro berharap sikap Komisi III yang terkesan mementingkan RUU MA bukanlah upaya deligitimasi DPR terhadap eksistensi KY. “Sebagai instrumen demokrasi untuk mendemokrasikan badan peradilan, dengan tidak mensinkronkan secara sengaja,” katanya.
Sementara itu, Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho mendesak agar Komisi III memperhatikan aspek sinkronisasi dalam pembahasan RUU MA dan RUU KY. “RUU MA jangan terburu-buru disahkan,” tegasnya.
Emerson berharap pembahasan yang satu disinkronkan dengan pembahasan yang lain, agar tidak tumpang tindih. “Makanya, salah satu poinnya menunda pengesahan RUU MA ini sebelum proses pembahasan di kedua RUU lainnya (RUU KY dan RUU MK) selesai,” ujarnya. Menurut Emerson, ada tiga pasal yang krusial yang wajib disinkronkan yakni pengawasan, mekanisme seleksi, dan soal majelis kehormatan. 

(Fat)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20681&cl=Berita

Tersangka Kasus BI Diperiksa KPK

Rabu, 10/12/2008 10:01 WIB
Datang Senyam-senyum, Ditanya Baju Tahanan Langsung Diam
Muhammad Taufiqqurahman - detikNews
Jakarta - Tersangka korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI) Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin diperiksa KPK. Kedua mantan deputi gubernur BI itu kompak. Mengenakan jaket hitam yang sama. Sama-sama senyum lantas sama-sama diam.
Bun Bunan dan Aslim datang bersamaan dengan mobil tahanan ke KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, pukul 09.30 WIB, Rabu (10/12/2008).
Ditanya keadaannya, Bun Bunan dan Aslim mengaku baik-baik saja. "Baik-baik saja," kata keduanya bareng sambil melempar senyum.
Namun saat ditanya apakah keduanya sudah mengenakan baju tahanan KPK, mereka mengunci mulutnya. Keduanya langsung masuk ke dalam kantor KPK.
Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin ditahan KPK pada Kamis 27 November 2008. Mereka ditahan bersamaan dengan besan SBY Aulia Pohan dan deputi gubernur BI lainnya yakni Maman Soemantri.
Bun Bunan dan Aslim ditahan di Rutan Mabes Polri sedangkan Aulia dan Maman ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok.(nik/iy)

http://www.detiknews.com/read/2008/12/10/100142/1050964/10/datang-senyam-senyum-ditanya-baju-tahanan-langsung-diam

Selasa, 02 Desember 2008

Mohon Bantuan, Informasi dan Doa


Asalamualaikum Wr. Wb.

Kepada seluruh Rekan-rekan PAHAM Seluruh Indonesia dan Terutama PAHAM wilayah Sumatra.
sebelumya kami ucapkan terima kasih atas attetion terhadap pesan ini.
Bahwa salah seorang REKAN PAHAM JAKARTA yaitu :

Nama : Rita Yusmiarti, SH.
Alamat : Kramat Jati, Jakarta Timur.

Bahwa telah kehilangan suami (Ade Indra Rahmatullah) dengan kronoligi sebagai berikut :
Bahwa pada tanggal 16 Oktober 2008 suami (Ade Indra Rahmatullah) izin meninggal rumah untuk pergi naik gunung. karena keluarga berfikir tidak terlalu lama perginya sehingga tidak ditanya perginya kegunung mana.
pada tanggal 22 Oktober 2008 keluarga belum juga mendapat kabar keberadaannya dan tidak dapat dihubungi via Hp, maka keluarga menanyakan kepada teman-temannya, namun tidak ada yang tahu keberadaan beliau.
Sehingga keluarga pun melapor ke polisi Pada tanggal 26 Oktober 2008.

Keluarga pernah mendapat kabar bahwa Beliau (Ade Indra Rahmatullah) berada di MUARO BUNGO, JAMBI. dan pihak Keluarga (Ibunya, Ade Indra Rahmatullah) pernah mendatangi tempat tersebut, namun Beliau (Ade Indra Rahmatullah) tidak ada disana.
Sampai hari ini keluarga belum pernah mendapat kabar lagi.

Oleh karena itu kepada REKAN-REKAN PAHAM seluruh INDONESIA kami sebagai PAHAM JAKARTA dan Pihak Keluarga Meminta bantuan, informasi dan Doa.
Apabila melihat dan mengetahui keberadaan Ade Indra Rahmatullah.

Dapat menghubungi kami di :

Alamat : Jl. Potlot III No. 19 Rt. 01/03 Duren Tiga Pancoran
  Jakarta Selatan.
No Telp. : 021-79197354.
email :monster_paham@yahoo.com

Demikianlah Permohonan Bantuan, Informasi dan Doa yang kami sampaikan semoga Rekan-rekan PAHAM Seluruh Indonesia dapat membantu dalam pencarian ini.
Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan Terima kasih.
Hormat kami.

HUMAS PAHAM JAKARTA
( Sabarrudin, SH. )
NB : Diatas ini kami lampirkan foto suami istri ( Ade Indra Rahmatullah dan istri )

Jumat, 28 November 2008

Persidangan “Cap Kaki Tiga” Dihentikan

[27/11/08]

Majelis hakim menilai pokok permasalahan gugatan adalah wanprestasi bukan lisensi merek. Sinde Budi Sentosa menggugat balik Wen Ken di Pengadilan Negeri Bekasi.
Perseteruan lisensi merek “cap kaki tiga” antara PT Tiga Sinar Mestika dan PT Sinde Budi Sentosa untuk sementara berakhir. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak mengadili gugatan yang diajukan Tiga Sinar Mestika selaku kuasa substitusi dari perusahaan asal Singapura Wen Ken Drug Co Pte Ltd. “Pengadilan Niaga tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut,” kata ketua majelis hakim Sir Johan saat membacakan putusan sela, Rabu (26/11) kemarin.
Pasalnya, materi gugatan Tiga Sinar Mestika tidak masuk dalam kompetensi Pengadilan Niaga. Majelis hakim menilai pokok permasalahan gugatan adalah wanprestasi bukan lisensi merek. “Penggugat mengakui adanya kerja sama sehingga jika ada yang tidak dipenuhi berarti wanprestasi,” kata Sir Johan. Karena tergolong sebagai perkara perdata biasa, majelis menyatakan gugatan seharusnya diperiksa dan diadili oleh pengadilan negeri.
Pertimbangan majelis hakim tersebut sesuai dengan eksepsi yang diajukan Sinde Budi dalam jawabannya. Kuasa hukum Sinde Budi dari Hotma Sitompoel & Associates menyatakan gugatan prematur. Sebelum gugatan diajukan, keabsahan perjanjian antara Tiga Sinar Mestika dan Sinde Budi Sentosa harus dibuktikan lebih dulu. Nah, yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili keabsahan perikatan adalah pengadilan umum.
Dalam gugatan yang dilayangkan September lalu, Tiga Sinar Mestika menuntut agar Sinde Budi Sentosa menghentikan produksi, penjualan, pemasaran dan pendistribusian produk merek cap kaki tiga. Gugatan dilayangkan lantaran Sinde Budi tidak membayar royalti lisensi merek cap kaki tiga. Selain itu, Sinde Budi dituding tidak menyampaikan laporan produksi dan penjualan produk secara periodik, serta menghilangkan logo “Kaki Tiga” dari kemasan produk.
Menurut penggugat, permasalahan timbul lantaran perjanjian lisensi merek tidak dibuat secara tertulis. Padahal perjanjian kedua perusahaan tersebut telah dijalin sejak 1978. Sejak benih perselisihan muncul pada tahun 2000, kedua belah pihak sudah berusaha berembug untuk merumuskan perjanjian lisensi. hingga 2008 tidak terdapat titik temu. Dengan begitu, penggunaan Cap Kaki Tiga tidak sah sebab tidak ada perjanjian lisensi tertulis sehingga hubungan hukum kedua perusahaan juga tidak sah.
Menanggapi putusan, Andi F. Simangunsong menyatakan majelis hakim sudah berfikir jernih dalam memahami gugatan tersebut. “Terus terang saya surpise dan senang,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon kemarin. Sementara, saat dihubungi telepon kuasa hukum Tiga Sinar Mestika, John H. Waliry tidak aktif.
Gugat balik
Untuk menguji keabsahan perjanjian, Sinde Budi Sentosa menggugat balik Wen Ken di Pengadilan Negeri Bekasi. Alasannya Wen Ken telah menghentikan perjanjian lisensi secara sepihak terhitung 7 Februari 2008 dan berniat mengalihkan lisensi merek Cap Kaki Tiga ke pihak lain. Dalam gugatan yang didaftarkan akhir Oktober lalu, Sinde Budi menilai pengakhiran itu tidak sah.
Dalil itu mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, dimana perikatan dapat dibatalkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Lalu pasal 1266 KUHPerdata menentukan pembatalan perjanjian secara sepihak harus diajukan ke pengadilan. Sinde Budi menilai penghentian itu merupakan perbuatan melawan hukum.
Akibat pembatalan perjanjian itu, Sinde Budi mengklaim mengalami kerugian sebesar Rp200 miliar sebagai kompensasi biaya promosi yang telah dikeluarkan. Dengan pengakhiran sepihak itu promosi produk Cap Kaki Tiga menjadi sia-sia dan tidak bernilai lagi.
Selain itu, Sinde Budi mengalami kerugian bisnis berupa potensi kerugian pendapatan (loss profit) sebesar 5% dari total omset per tahun selama 10 tahun yaitu Rp200 miliar. Termasuk pula kerugian investasi berupa alat produksi, tanah dan bangunan yang berjumlah Rp200 miliar. Kerugian immateriil juga diperhitungkan sebesar Rp200 miliar. Sehingga total seluruh ganti rugi sebesar Rp800 miliar.
Rencananya, persidangan perdana perkara ini akan digelar di Pengadilan Negeri Bekasi pada awal Januari 2009. 

(Mon)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20586&cl=Berita

MASA TUGAS BERAKHIR, JIMLY PAMITAN

Jumat , 28 Nopember 2008 06:29:25  


Jumat (28/11) adalah hari terakhir bagi Jimly Asshiddiqie bertugas di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Hakim Konstitusi. Untuk itu, Kamis (27/11), Jimly gelar jumpa pers di MK dalam rangka pamitan. “Mulai satu desember, saya bukan hakim (konstitusi) lagi,” kata Jimly.

Per Desember 2008, status Jimly akan kembali beralih sebagai Pegawai Negeri Sipil, Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. “Dengan demikian, saya mohon pamit dengan rekan-rekan wartawan,” ucap Guru Besar Hukum Tata Negara ini.

Di hari terakhir kerja (Jumat, 28/11), Jimly masih berkesempatan mengikuti Rapat Permusyawaratan Hakim. “Kira-kira, perkara terakhir yang saya masih ikut mengambil keputusan ialah (pemilukada) Jawa Timur,” ujarnya.

Ketika Selasa (2/12) nanti Jimly sudah tidak lagi ikut sidang pembacaan putusan sengketa pemilukada Jatim, Jimly berharap, “(putusan) itu menjadi catatan sejarah terakhir saya sebagai hakim di MK ikut mengambil keputusan dalam perkara pemilukada Jatim.” 

Selepas menjadi Hakim Konstitusi, Jimly masih berkenan menjalin komunikasi dengan wartawan. “Nantinya saya akan lebih bebas (berpendapat),” ungkapnya.

Selain itu, meski tak lagi menjadi Hakim Konstitusi, Jimly masih akan tetap bersama MK untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi. “Saya tidak akan pergi ke mana-mana. Saya tetap menjadi bagian MK. Cuma tidak lagi menjadi hakim secara resmi,” paparnya.

Selama kurun waktu lima tahun di bawah kepemimpinannya, MK, antara lain, telah berhasil mengembangkan kerjasama dengan 56 perguruan tinggi di Indonesia di bidang pengkajian konstitusi. Selain itu, MK juga berhasil membangun kerjasama dengan 16 negara yang memiliki lembaga MK dan yang sejenis. 

Pengunduran diri Jimly terhitung sejak 6 Oktober 2008 lalu, namun berlaku efektif pada akhir November 2008. (Wiwik Budi Wasito)

Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2027

Kamis, 27 November 2008

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

P U T U S A N

Perkara Nomor 001/PUU-II/2004

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Fathul Hadie ( F. Hadie Ustman ), pekerjaan LSM Direktur LSM / SERGAP Abnormal Constitution Control/Suara Etis Rakyat Menggugat Ambivalensi dan Abnormalisasi Peraturan dan Perundangundangan, alamat Tegalpare, RT 01, RW 02, Muncar Banyuwangi, Jawa Timur;
2. Dra. Mursyidah Thohir, MA, pekerjaan Dosen, alamat Jl. Cemara II 02/01 No. 36 Pamulang Barat, Tangerang, Jawa Barat;
3. Swandoko Soewono, pekerjaan wiraswasta, alamat Curah Palung Rt. 04 / II Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur;
4. Dra. Hamdanah, M.Hum., pekerjaan Dosen, alamat Jl. Kertanegara IV/88 Kaliwates, Jember, Jawa – Timur;
5. Drs. Thohir Afandi, MPA, pekerjaan Pegawai Negeri, alamat Jl. Cempaka Blok A 39 Kunciran Mas Permai Pinang – Tangerang;
6. Drs Abd. Halim Soebahar, MA, pekerjaan Dosen / Pegawai Negeri alamat Jl. Kertanegara IV / 88 Kaliwates, Jember, Jawa Timur;

Dalam hal ini Pemohon 2, 3, 4, 5, dan 6 memberi kuasa kepada Pemohon 1, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Februari 2004, selanjutnya disebut sebagai para Pemohon;

Telah membaca permohonan para Pemohon;
Telah mendengar keterangan para Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti;
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 22 Desember 2003 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Senin, tanggal 5 Januari 2004 dan diregistrasi dengan Nomor 001/PUU-II/2004 pada tanggal 5 Januari 2004 serta perbaikan permohonan bertanggal 9 Februari 2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Februari 2004, pada dasarnya para Pemohon mengajukan
permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Bahwa pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan dengan diterbitkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tersebut, sehingga Pemohon berhak untuk mengajukan hak uji ini sebagaimana ditentukan di dalam Unadng-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

Bahwa para Pemohon mengajukan hak uji pasal-pasal Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2003;
1. Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 4, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 A ayat (2) tentang usulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 22 E ayat (2) tentang Pemilihan Umum;
2. Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (2) tentang hak hak asasi manusia;
3. Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 A ayat (2) tentang Gabungan Antar Partai dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 28 H ayat (2) tentang hak hak asasi manusia;
4. Pasal 67 ayat (1) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 A ayat (4) tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua;

Bahwa kedudukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tersebut adalah dibawah Undang-Undang Dasar sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 2 Ketetapan MPR RI No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan;

Bahwa berdasarkan pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

Bahwa berkenaan dengan hal tersebut di atas dengan berlandaskan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berhak dan berkewajiban untuk melakukan uji materil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang telah disahkan pada tanggal 31 Juli 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

1. Bahwa Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan bahwa pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden serta pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah setelah pelaksanaan pemilihan umum DPR adalah bertentangan dengan pasal 6 A ayat (2) dan pasal 22 E ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah jelas dan tegas menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPR Daerah;
Bahwa upaya paksa untuk memisahkan pemilihan umum DPR, DPD, DPR Daerah dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara sendiri-sendiri sehingga nanti ada kemungkinan besar bisa terjadi 3 (tiga) kali hak pemilihan umum yang terdiri dari :
1. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPR Daerah.
2. Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua.
Adalah bertentangan dengan pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa kalau dilihat dari konteks dan struktur kalimat yang ada pada pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kata (untuk memilih) Presiden dan Wakil Presiden justru berada ditengah - tengah kalimat sebelum kata (dan untuk memilih) DPR Daerah, dan menurut konteks dan struktur kalimatnya bunyi Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah termasuk kalimat majemuk serta menggabungkan yang ditandai dengan menggunakan konjungsi dan, yang jelas berfungsi untuk menggabungkan unsur-unsur kalimatnya, sedangkan tanda koma (,) merupakan pengganti dari konjungsi dan (menggunakan penggabungan dengan relasi implisit/pengganti dan yang tidak ditulis) dan ini hanya berlaku pada kalimat mejemuk setara menggabungkan. Jadi asal kalimat dari Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut adalah terdiri dari beberapa kalimat tunggal yang digabungkan sebagai berikut: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan untuk memilih anggota DPD dan untuk memilih Presiden dan wakil Presiden dan untuk memilih DPR Daerah”;

Bahwa dari uraian tersebut di atas maka sudah jelas bahwa antara pemilihan Umum DPR dan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama harus digabungkan bersama-sama dalam satu rangkaian yang tidak harus dipisahkan pelaksanaannya, yang sebenarnya dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden juga dinyatakan bahwa :”Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu rangkaian dengan pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD”;

Bahwa kata satu rangkaian (arti akhiran “an” dalam kata pembuka kata rangkaian adalah “dalam keadaan”) tersebut di atas adalah sangat memperkuat adanya keharusan untuk menggabungkan antara pemilihan DPR dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu dan saat yang bersamaan tanpa harus terputus dan dipisahkan dalam waktu penyelenggaraanya sebab kalau terputus berarti tidak lagi satu rangkaian; 

Bahwa susunan dalam kalimat di Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kata (untuk memilih) Presiden dan Wakil Presiden berada di tengah-tengah kalimat yang sebelum diberi tanda koma (,) sebagai pengganti konjungsi dan, jadi dalam hal ini juga sangat memperkuat pendapat kami bahwa antara pemilihan DPR, DPD dan DPRD dengan pemilihan Presiden dan Wakil presiden tidak ada alasan untuk dipisahkan, kalau dipisahkan seharusnya memakai konjungsi kemudian (kemudian memilih Presiden dan Wakil Presiden) dan itupun masih terdapat kejanggalan sebab di akhir kalimat dari Pasal 22 E ayat (2) tersebut masih ada kata: dan DPR Daerah;

Bahwa di era krisis perekonomian yang masih akut di negara Indonesia kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan mempertimbangkan sebagai bagian dalam membuat keputusan nanti, sebab pelaksanan pemilu 3 (tiga) kali tahapan akan memakan dana trilyunan rupiah yang semestinya dapat di manfaatkan untuk meningkatkan program pendidikan dan pengentasan kemiskinan atau untuk peningkatan program pembangunan; Bahwa situasi politik sosial yang masih rawan konflik dan mudah terprovokasi terutama saat-saat menjelang, ketika pelaksanaan dan sesudah pemilihan umum, kami harapkan juga dijadikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam memutus permohonan kami tentang pembatalan Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang kami anggap bertentangan degan Pasal 6 A ayat (2) dan Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

Bahwa dengan berlakunya Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 sangat merugikan hak konstitusional kami sebagai Pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Dalam hal ini dipisahkannya antara pemilihan DPR, DPD dan DPRD dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara sendiri-sendiri dalam waktu yang berbeda dalam tenggang waktu yang relatif cukup lama sekali yaitu :
a. Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.
b. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama, dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004;
c. Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden tahap kedua, dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004;

Degan demikian maka hak konstitusional kami untuk dapat memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPR Daerah secara bersama-sama dalam waktu yang sama dalam putaran pertama telah dilanggar, dengan dilanggarnya hak-hak konstitusional seseorang anggota warga negara Indonesia maka menjadi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Selain itu kami juga sangat dirugikan secara material apabila pemilihan umum harus dilaksanakan tiga kali putaran dan itupun belum seberapa apabila dibandingkan dengan ongkos sosial yang harus kita tanggung apabila terjadi konplik sosial akibat berlarut-larut dan panjangnya proses pemilihan umum tersebut, yang selanjutnya dapat dilakukan satu kali putaran saja;
2. Bahwa Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 memberlakukan sistem electoral threshold atau perolehan suara 15% (3% khusus untuk pemilu tahun 2004) perolehan kursi DPR partai peserta pemilu sebagai persyaratan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mendaftarkan diri ke KPU sebagai peserta pemilihan umum, baik yang diajukan oleh partai politik maupun gabungan antara parta politik telah bertentangan dengan : Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama sekali tidak mengkaitkan dengan perolehan kursi partai politik sebagai persyaratan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebab dengan diberlakukannya persyaratan perolehan kursi DPR (Electoral Threshold) berarti telah melanggar hak-hak seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden yang semestinya diberi kemudahan, kesempatan yang sama dan diberlakukan secara adil dan tanpa diskriminasi;

Bahwa dengan berlakunya Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sangat merugikan hak konstitusional para Pemohon, sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan: ”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yaitu: 
a. perorangan warga negara Indonesia.
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

Dalam hal ini dengan ditetapkannya persyaratan electoral threshold bagi partai peserta pemilu atau gabungan partai sebesar 15% (3% untuk pemilu tahun 2004 sebagai persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden). Dengan demikian maka hak konstitusional seseorang warga Negara Indonesia telah dilanggar terutama dalam hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara yang diajukan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu yang harus diberi kesempatan, kemudahan dan perlakuan secara adil tanpa diskriminasi;

Bahwa apabila ketentuan 15% tersebut telah dilaksanakan, maka dalam pemilu nanti pasti hanya terdapat maksimal 5 (lima) peserta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, dan ini sangat merugikan para Pemohon, sebab ada kemungkinan besar partai kecil mempunyai calon yang lebih berkualitas dan dapat terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dan lebih mengkhawatirkan lagi apabila dalam Pemilu DPR nanti ada partai yang menjadi mayoritas tunggal, kemungkinan besar bisa terjadi calon tunggal yang cenderung diktator dan otoriter; Kami mohon dalam pengambilan keputusan nanti kiranya Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas;
3. Bahwa Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 yang membatasi dan melarang gabungan partai politik mencalonkan lebih dari satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah melanggar dan tidak sesuai dengan Pasal 6 A ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dengan tegas tidak melarang gabungan partai politik untuk mencalonkan lebih dari satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan seharusnya dalam hal ini pencalonan Presiden dan Wakil presiden semua partai diberi hak yang sama secara adil baik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden secara sendiri-sendiri atau gabungan dengan partai lain yang diajukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum;

Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 sangat merugikan hak konstitusional kami sebagai para Pemohon sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebab pelarangan terhadap gabungan partai politik untuk mencalonkan pasangan lebih dari satu pasangan adalah sangat merugikan para Pemohon sebab dengan pembatasan tersebut hak para Pemohon untuk memperoleh calon Presiden dan Wakil Presiden yang lebih banyak dapat dirugikan, sebab kesempatan kami untuk memilih Presiden dan Wakil presiden juga semakin terbatas, sebab suatu saat nanti masyarakat pasti tidak lagi melihat dari mana dan oleh siapa calon tersebut diajukan tetapi seberapa besar kualitas dan profesionalitas dari para calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut; 

Bahwa dengan demikian tidak ada alasan yang rasional dan konstitusional apabila gabungan partai politik dilarang, bahkan apabila gabungan partai politik dapat diberi hak untuk mencalonkan lebih dari satu pasangan dengan perjanjian yang jelas karena persamaan misi dan visi serta ada kesepakatan bahwa suara terbanyak calon tersebutlah yang berhak mewakili menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden apabila dalam gabungan tersebut sudah memperoleh suara 50% lebih. Dengan cara tersebut kemungkinan besar akan terjadi dua sampai tiga koalisi besar saja dan apabila hanya terdapat dua koalisi besar saja berarti hanya akan ada satu putaran pemilihan umum saja, sehingga dapat mempercepat proses demokrasi dan reformasi dalam pemilu serta dapat menghemat dana trilyunan rupiah dan yang lebih berharga dapat memperkecil terjadinya ketegangan dan konplik sosial di masyarakat, atau kalau di level yang lebih tinggi dapat menghancurkan mimpi para politikus pedagang sapi yang biasa menghalalkan segala cara demi kepentingan diri pribadi atau kelompoknya sendiri;

Bahwa uraian tersebut di atas kiranya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan nanti;

4. Bahwa Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tersebut belumlah lengkap dan tidak sesuai dengan Pasal 6 A ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang semestinya ada perubahan kalimat yang berbunyi : “Dan pemenangnya langsung dilantik sebagai Presiden dan wakil Presiden”. Karena pasal tersebut juga harus dibatalkan atau dilengkapi sebab dalam Pasal tersebut belum disebutkan siapa pemenangnya;
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan tersebut di atas, kami memohon kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan

memutuskan:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon;
2. Menyatakan bahwa :
a. Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 A ayat (2) dan Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 A ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tidak berlaku;
4. Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang dilampirkan dalam permohonannya sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ;
2. Bukti P-2 : fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
3. Bukti P-3 : fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama para Pemohon;
4. Bukti P-4 : fotokopi Tanda Bukti Sudah Didaftar di P4B atas nama Para Pemohon ;

Menimbang, bahwa pada pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 3 Februari 2004, hadir Pemohon : Fathul Hadie (F. Hadie Ustman), Dra. Mursyidah Thohir, MA, dan Dra. Hamdanah, M. Hum.;

Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan perbaikan permohonannya bertanggal 9 Februari 2004 yang diserahkan di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Februari 2004;

Menimbang bahwa pada pemeriksaan persidangan yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 31 Maret 2004, hadir Pemohon: Fathul Hadi (F.Hadie Ustman) yang bertindak untuk diri sendiri dan selaku kuasa dari : Dra. Mursyidah Thohir, MA, Swandoko Soewono, Dra. Hamdanah, M.Hum, Drs. Thohir Afandi, MPA, dan Drs. Abdul Halim Soebahar, MA, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Februari 2004;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang tercantum dalam berita acara persidangan dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini; 

PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang bahwa sebelum memasuki substansi atau pokok perkara Mahkamah Konstitusi harus terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini, karena Undang-Undang yang dimohon untuk diuji diundangkan pada tahun 2003, maka sesuai dengan Pasal 50 Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 yang menentukan bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan pengujiannya adalah Undang-undang yang telah diundangkan setelah adanya perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1999;
2. Apakah para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101, Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) serta Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sehingga menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mereka memiliki kedudukan hukum (legal standing ) guna mengajukan permohonan pengujian (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; Terhadap kedua masalah dimaksud, Mahkamah Konstitusi berpendapat
sebagai berikut:

1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa, Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;

Bahwa, selanjutnya ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi antara lain berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003;

Bahwa dengan berdasar pada ketentuan-ketentuan di atas, termasuk ketentuan Pasal 50 Undang-undang a quo, maka terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para Hakim Konstitusi mengenai Pasal 50 tersebut, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undangundang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
Bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undangundang, yaitu dapat berupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara;

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai para Pemohon untuk mengajukan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 karena tidak terbukti bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 4 , Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden danWakil Presiden. Para Pemohon secara tegas telah menyatakan dalam permohonannya bahwa mereka adalah calon pemilih dan bukan pimpinan partai politik ataupun calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum tahun 2004. Dengan demikian, kerugian hak konstitusional para Pemohon tidak terbukti, sehingga para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan; 

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para Pemohon a quoharus dinyatakan tidak dapat diterima. Bahwa oleh karena itu, pokok permohonan para Pemohon a quo tidak perlu dipertimbangkan lebih jauh;

Memperhatikan Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juncto Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 45 juncto Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003;

M E N G A D I L I

Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;

Demikian diputuskan dalam rapat pleno permusyawaratan 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari: Selasa, tanggal 20 April 2004 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Kamis, tanggal 22 April 2004 oleh kami: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. , selaku Ketua merangkap anggota, didampingi oleh: Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Dr. Harjono, S.H., MCL, Prof. H.A.Mukthie Fadjar, S.H. MS., Maruarar Siahaan, S.H., Soedarsono, S.H., I Dewa Gede Palguna,S.H.,M.H., dan H. Achmad Roestandi, S.H., masingmasing sebagai Anggota dan dibantu oleh Rustiani, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya.

KETUA,
ttd.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
Prof.Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. Prof. H.A.S. Natabaya, S.H.,LLM.
ttd. ttd.
Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H.,MS. Dr. Harjono, S.H. ,MCL.
ttd. ttd.
Maruarar Siahaan, S.H. Soedarsono, S.H.
ttd. ttd.
H. Achmad Roestandi, S.H. I Dewa Gede Palguna, S.H.,MH.


PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Rustiani, S.H.

http://www.legalitas.org/database/putusan/2004/putmk001-2004.pdf