Selasa, 16 Desember 2008

Lia Eden: Penghapusan Agama Bukan Penodaan Agama

Selasa, 16/12/2008 11:10 WIB

E Mei Amelia R - detikNews

Jakarta - Lia Eden ditetapkan menjadi tersangka kasus penodaan agama. Lia Eden berpendapat penghapusan agama yang dimintanya bukan penodaan agama. Tidak ada pasal hukum yang dapat menjeratnya.

Demikian disampaikan Lia Eden melalui rilis yang dibagikan oleh

Kelik dari Wahana Bangsa di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (16/12/2008).

Dalam rilis itu disebutkan, tidak ada pasal hukum apa pun yang dapat dipaksakan untuk menjerat Lia Eden atau pengikutnya sebagai tersangka.

Berikut edaran Lia Eden:

Aku Malaikat Jibril turun tangan menjadikan peristiwa ini untuk memperjelas hukum yang salah, yaitu pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama yang telah 2 kali ingin dijeratkan sebagai kesalahan Lia Eden.

Itu karena tidak ada pasal hukum yang bisa dipakai. Tetapi apakah keadilan hukum dapat diharapkan sedemikian. Fatwa Tuhan tentang penghapusan semua agama bukan kejahatan penodaan agama.

Marilah seluruh umat mengkaji tentang fatwa Tuhan yang Maha Kudus tersebut. Sebab, Lia Eden dan semua pengikutnya akan bertahan menyatakan diri tidak bersalah menghadapi laporan Abdurahman Assegaf yang nyata-nyata teroris dan menyulut anarkisme dan perusakan rumah ibadah.

Apakah laporannya itu lebih dipentingkan kepolisian RI atau kebenaran wahyu Tuhan.

Aku Malaikat Jibril membalikkan semua dan aku akan mengakhiri kebiadaban agama di dunia ini.(aan/iy)

http://www.detiknews.com/read/2008/12/16/111006/1054302/10/lia-eden-penghapusan-agama-bukan-penodaan-agama

Romli Atmasasmita Persoalkan Subyektivitas ‘Bukti yang Cukup’

 

[16/12/08]

Penahanan Romli dinilai prematur, tidak penuhi unsur “bukti yang cukup” dalam Pasal 21 KUHAP. JPN berdalih, keterangan 13 saksi dan bukti-bukti surat sebanyak 806 lembar sudah cukup dijadikan sebagai dasar penahanan.

Tidak sreg dengan penahanan dan penetapannya sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi proyek Sistem Informasi Badan Hukum (Sisminbakum), mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkumham Romli Atmasasmita mengajukan permohonan praperadilan (24/11).

Senin siang (15/12), sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dengan Ketua Majelis Hakim Suharto diawali dengan pembacaan kronologis versi pemohon –Romli yang diwakili penasehat hukumnya. Mulai dari penetapan Romli sebagai tersangka sampai penahanan yang dianggap tidak berdasar bukti yang cukup.

Firman Wijaya, salah satu penasehat hukum pemohon mengatakan ada yang janggal dalam penahanan dan penetapan Romli sebagai tersangka. Walau sudah beberapa kali disampaikan, dalam sidang praperadilan ini penasehat hukum mengaku sudah mempersiapkan saksi dan bukti. “Diantaranya Todung Mulya Lubis dan Muladi,” katanya. Kedua saksi ini akan mempertegas dugaan Romli terhadap adanya skenario penahanan dan penetapannya sebagai tersangka.

Seperti diketahui, usai pemeriksaan pertama yang diikuti langsung dengan penahanan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) ini sempat menyatakan ada skenario di balik penahanan terhadap dirinya. Romli mengaku, ia mendengar informasi itu dari orang “dalam” Kejaksaan Agung.

Ternyata informasi itu datang dari Mantan Menteri Kehakiman Muladi yang bertemu Wakil Jaksa Agung Mochtar Arifin dalam suatu acara di Istana Negara. Ketika itu, Romli sedang berada di Korea Selatan. Todung yang mendapatkan info penetapan Romli sebagai tersangka dari Muladi, langsung menelepon Dosen Hukum Pidana Pasca Sarjana Unpad ini. Dan, saat itu pula Romli mengkonfirmasinya ke Muladi. Benar saja, Muladi mengamini dan membeberkan asal-muasal informasi itu ia dapatkan.

Dugaan skenario ini semakin dipertajam dengan rilis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Efendi -ke media- mengenai penetapan Romli sebagai tersangka. Itu tercatat dalam Harian Tribun Jabar tertanggal 15 Oktober 2008. Padahal, papar Firman, baru 21 Oktober 2008 saksi-saksi diperiksa.

Selain dipertajam dengan rilis, penasehat hukum menduga ada konflik kepentingan (conflict of interest) antara Marwan dengan Romli, mengingat ia pernah mengeluarkan penyataan kalau disertasi Marwan dalam program doktor adalah jiplakan.

Kemudian, untuk Surat Perintah Penyidikan bernomor 57/F.2/Fd.1/10/2008 sendiri, keluar 31 Oktober 2008. Dilayangkannya surat perintah ini diikuti dengan pemanggilan Romli untuk pemeriksaan sebagai tersangka. Dengan surat pemanggilan bernomor SPT-1903/F.2/Fd.1/10/2008 ini, akademisi yang juga dikenal sebagai penggiat anti korupsi ini direncanakan hadir memenuhi panggilan pada tanggal 6 November 2008. Namun, urung karena Romli sehari sebelumnya baru saja pulang mengikuti Konvensi Anti Korupsi Internasional di Athena, Yunani.

Makanya, Romli kembali dipanggil tanggal 10 November 2008. Dua puluh tiga pertanyaan dilontarkan penyidik seputar identitas, riwayat pekerjaan, pendidikan, tugas, kewenangan, dan tanggung jawab Romli sebagai Dirjen AHU periode 2000-2002. “Baru sebatas itu, sehingga tidak ada alasan yuridis yang dapat dikualifikasikan ke dalam unsur Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengenai ‘dugaan keras tindak pidana’ dan ‘bukti yang cukup’ untuk menahan seseorang, selain karena ancaman hukuman lima tahun ke atas,” papar Firman.

Pasal 21 KUHAP

(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Menurut Firman, berdasarkan pasal ini, untuk menahan seseorang haruslah memiliki “bukti yang cukup”, sehingga unsur “diduga keras” juga dapat terpenuhi. Nah, penasehat hukum menganggap 13 orang saksi dan 806 dokumen-dokumen yang dinyatakan penyidik Kejaksaan Agung ini bukan sebagai “bukti yang cukup”. Itu karena bukti-bukti yang dianggap cukup tersebut tidak pernah dapat ditunjukkan oleh penyidik.

Dengan demikian, sampai saat ini pihak Romli menolak keras penahanan dan meminta hakim menyatakan Surat Perintah Penahanan No.Print-47/F2/Fd.1/11/2008 tanggal 10 November 2008 tidak sah dengan segala akibat hukumnya. Selain itu, hakim juga diminta untuk memutus Romli bebas dari Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI.

Atas permohonan praperadilan ini, Kejaksaan Agung sebagai pihak termohon menolak segala dalil yang dikemukakan pemohon. Wisnu Baroto, salah satu jaksa penasehat hukum negara (JPN) mengatakan bahwa mereka telah meminta keterangan 13 orang saksi dan memiliki bukti surat sebanyak 806 lembar dokumen. Bukti-bukti ini sudah dianggap cukup untuk melakukan penahanan.

Lagipula, dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, lanjut Wisnu, tidak dijelaskan pengertian “bukti yang cukup” itu, sehingga penafsirannya diserahkan dalam praktek penegakan hukum. Secara teknis peradilan, hakimlah yang berwenang menentukan cukup atau tidaknya bukti, bukan penyidik atupun penuntut. Namun, dalam porsi atau tahapan penyidikan, cukup atau tidaknya bukti tegantung subjektivitas penyidik. “Yang berarti pada penyidikan tentu sudah dianggap cukup bukti apabila telah ditemukan batas minimum pembuktian yang dapat diajukan nanti di depan sidang sesuai alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP,” jelas Wisnu.

Dua orang saksi dan bukti dianggap Wisnu sudah dapat dikatakan sebagai “bukti yang cukup”. “Ini subjektif penyidik. KUHAP minta dua saksi, kita sudah ada 13, malah beserta 806 lembar dokumen. Masa’ ini tidak cukup?” tukas Wisnu usai sidang praperadilan. “Kalau itu tidak cukup menurut subjektivitas dia (pihak Romli), menurut subjektivitas kita cukup,” imbuhnya.

Wisnu mengartikan subjektif itu tentunya sikap batin yang tidak diketahui oleh siapapun, kecuali orang itu sendiri. Tapi, tanpa mengabaikan alasan objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Lalu, untuk dalil-dalil lainnya, seperti dugaan skenario, sama sekali tidak ditanggapi JPN karena akan dibuktikan nanti ketika pesidangan. “Dan ini juga tidak berkaitan dengan wewenang Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan memutus sebagaimana dalam Pasal 77 KUHAP,” tukas Wisnu. Untuk itu, hakim diharap berkenan memberikan putusan menerima jawaban termohon dan menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya. Selain itu, menyatakan Perintah Penahanan No.Print-47/F2/Fd.1/11/2008 tanggal 10 November 2008 adalah sah.

Tugas akademik

Harapan lain yang dituju atas pembebasan Romli adalah ia dapat melakukan aktivitas akademisnya seperti semula. Frans Hendra Winata, juga salah satu penasehat hukum Romli, mengatakan masih ada tugas-tugas pendidikan dan kemasyarakatan yang cukup padat dan diamanahkan kepada Romli. Sampai saat ini, Romli masih menjadi dosen untuk setidaknya delapan mata kuliah di Unpad. “Selain itu, Romli juga membimbing tesis dan disertasi untuk sekitar 40 orang mahasiswa Pascasarjana dan Doktoral,” paparnya.

Lalu, apa tanggapan pihak termohon. Wisnu mengatakan penahanan yang diberlakukan kepada Romli tidak menghalangi tugasnya sebagai dosen karena tugas itu bisa diserahkan kepada asisten atau dosen lain. Untuk tugas Romli sebagai pembimbing tesis dan disertasi, menurut Wisnu dapat dilakukan di Rumah Tahanan, sebagaimana yang pernah dilakukan salah seorang guru besar Unpad di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri saat sedang menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalah urusan perizinan, pihak termohon (Kejaksaan Agung) telah memberikan izin kepada mahasiswa Romli untuk bertemu. “Dapat digunakan untuk melakukan bimbingan, sehingga tidak terganggu tugas-tugas pemohon (Romli) dalam membimbing mahasiswa pasca sarjana dan program doktoral,” pungkas Wisnu.

(Nov)


http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20721&cl=Berita

KADIN, HIPMI, DAN IWAPI GUGAT UU PERSEROAN TERBATAS

Senin , 15 Desember 2008 16:01:29
Sidang perdana pengujian UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) digelar Senin (15/12) di Ruang Sidang Panel Mahkamah Konstitusi. Pemohon prinsipal dari perkara ini adalah KADIN, HIPMI, dan IWAPI dengan diwakili oleh masing-masing ketuanya. Para Pemohon menilai, Pasal 74 UU a quo yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TSL) perusahaan telah melah merugikan pihaknya secara finansial.
“Pemberlakuan Pasal 74 menyebabkan adanya pungutan ganda terhadap perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Untuk membangun perseroan ini, kami disyaratkan melakukan analisis dampak lingkungan, dan berbagai hal lainnya. Kemudian, dengan pasal ini kami diharuskan lagi menganggarkan biaya untuk melaksanakan TSL,” ucap Kuasa Hukum Pemohon Bambang Widjojanto, S.H., M.H.
Di samping itu, Pemohon juga menganggap pemberlakuan pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian dan contradictio in terminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara tanggung jawab yang didasarkan atas karakter sosial (social responsibility) dan bersifat sukarela dengan kewajiban yang bersifat hukum (legal obligation) dan mempunyai daya memaksa. “Pasal 74 menyebutkan terminologi Tanggung Jawab Sosial berpijak pada filsafat dasar utilitarianisme. Namun di sisi yang lain, pelanggaran atas pasal ini dikenakan sanksi. Itu berarti ada sifat paksaan,” Bambang menambahkan.
Namun, Hakim Konstitusi H.M. Akil Mochtar selaku Ketua Majelis Panel merasa tidak terdapat korelasi antara kedudukan Pemohon dengan kerugian konstitusional yang didalilkan. Menurut Akil, untuk menjadi Pemohon yang memiliki legal standing, haruslah badan hukum atau perseorangan yang secara nyata-nyata dirugikan oleh pemberlakuan suatu ketentuan dalam undang-undang. Sementara para Pemohon bukan merupakan badan hukum sebagaimana dimaksud UU a quo, melainkan persatuan dari badan hukum tersebut. Padahal, lanjut Akil, “Sudah jelas bahwa yang disebutkan dalam pasal ini adalah Perseroan.”
“Kadin, Hipmi, dan Iwapi memang merupakan board dari badan hukum-badan hukum itu. Namun apa haknya untuk bisa mewakili kepentingan perseroan yang diwajibkan oleh Pasal ini?” tegas Akil sebelum menutup persidangan.(Kencana Suluh Hikmah)
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2048

Prasangka


Selasa, 09/12/2008 10:51 WIB

Di sebuah negeri zaman dulu kala, seorang pelayan raja tampak gelisah. Ia bingung kenapa raja tidak pernah adil terhadap dirinya. Hampir tiap hari, secara bergantian, pelayan-pelayan lain dapat hadiah. Mulai dari cincin, kalung, uang emas, hingga perabot antik. Sementara dirinya tidak.

Hanya dalam beberapa bulan, hampir semua pelayan berubah kaya. Ada yang mulai membiasakan diri berpakaian sutera. Ada yang memakai cincin di dua jari manis, kiri dan kanan. Dan, hampir tak seorang pun yang datang ke istana dengan berjalan kaki seperti dulu. Semuanya datang dengan kendaraan. Mulai dari berkuda, hingga dilengkapi dengan kereta dan kusirnya.

Ada perubahan lain. Para pelayan yang sebelumnya betah berlama-lama di istana, mulai pulang cepat. Begitu pun dengan kedatangan yang tidak sepagi dulu. Tampaknya, mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

Cuma satu pelayan yang masih miskin. Anehnya, tak ada penjelasan sedikit pun dari raja. Kenapa beliau begitu tega, justru kepada pelayannya yang paling setia. Kalau yang lain mulai enggan mencuci baju dalam raja, si pelayan miskin ini selalu bisa.

Hingga suatu hari, kegelisahannya tak lagi terbendung. "Rajaku yang terhormat!" ucapnya sambil bersimpuh. Sang raja pun mulai memperhatikan. "Saya mau undur diri dari pekerjaan ini," sambungnya tanpa ragu. Tapi, ia tak berani menatap wajah sang raja. Ia mengira, sang raja akan mencacinya, memarahinya, bahkan menghukumnya. Lama ia tunggu.

"Kenapa kamu ingin undur diri, pelayanku?" ucap sang raja kemudian. Si pelayan miskin itu diam. Tapi, ia harus bertarung melawan takutnya. Kapan lagi ia bisa mengeluarkan isi hati yang sudah tak lagi terbendung. "Maafkan saya, raja. Menurut saya, raja sudah tidak adil!" jelas si pelayan, lepas. Dan ia pun pasrah menanti titah baginda raja. Ia yakin, raja akan membunuhnya.

Lama ia menunggu. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut raja. Pelan, si pelayan miskin ini memberanikan diri untuk mendongak. Dan ia pun terkejut. Ternyata, sang raja menangis. Air matanya menitik.

Beberapa hari setelah itu, raja dikabarkan wafat. Seorang kurir istana menyampaikan sepucuk surat ke sang pelayan miskin. Dengan penasaran, ia mulai membaca, "Aku sayang kamu, pelayanku. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu. Aku tak ingin ada penghalang antara kita. Tapi, kalau kau terjemahkan cintaku dalam bentuk benda, kuserahkan separuh istanaku untukmu. Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu."

**

Betapa hidup itu memberikan warna-warni yang beraneka ragam. Ada susah, ada senang. Ada tawa, ada tangis. Ada suasana mudah. Dan, tak jarang sulit.

Sayangnya, tak semua hamba-hamba Yang Maha Diraja bisa meluruskan sangka. Ada kegundahan di situ. Kenapa kesetiaan yang selama ini tercurah, siang dan malam; tak pernah membuahkan bahagia. Kenapa yang setia dan taat pada Raja, tak dapat apa pun. Sementara yang main-main bisa begitu kaya.

Karena itu, kenapa tidak kita coba untuk sesekali menatap 'wajah'Nya. Pandangi cinta-Nya dalam keharmonisan alam raya yang tak pernah jenuh melayani hidup manusia, menghantarkan si pelayan setia kepada hidup yang kelak lebih bahagia.

Pandanglah, insya Allah, kita akan mendapati jawaban kalau Sang Raja begitu sayang pada kita.

http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/prasangka.htm

Senin, 15 Desember 2008

Cara Beracara di MK terkait dengan PEMILU 2009


Assalamuaikum wr wb;

Berikut saya sampaiakan materi yang dalam Temu Wicara Mahkamah Konstitusi dengan Partai Politik Peserta Pemilu 2009 tentang Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu yang diadakan pada tanggal 12 s.d 14 Desember 2008.

Ada beberapa peraturan yang ndak bisa dilampirkan dalam Attach, namun bisa di dapatkan di Toko Buku terdekat yaitu:
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007;
Undang-undang Nomor 10 tahun 2008;
Undang-undang Nomor 12 tahun 2008;
Undang-undang Nomor 42 tahun 2008;
dan perturan-peraturan pelaksana lainya;
Semoga Bermanfaat. Untuk melakukan pembelajaran Advokasi sedari awal.

Wassalamuaikum wr wb

Nasrulloh Nasution, SH


http://id.mc452.mail.yahoo.com/mc/showMessage?

Sepatu Dilempar Setelah Bush Ucap Khairan Katsiera

Senin, 15/12/2008 10:18 WIB

Arifin Asydhad - detikNews
Baghdad - Presiden AS George Bush benar-benar apes saat menggelar jumpa pers bersama Perdana Menteri (PM) Irak Nuri Al Maliki. Dia dilempar sepatu oleh wartawan Irak. Bush dilempar hanya satu detik setelah dia mengucapkan 'khairan katsiera'.
Pelemparan sepatu oleh wartawan Irak ini terekam dalam video yang ditayangkan Reuters, Senin (15/12/2008). Saat itu, jumpa pers dalam sesi terakhir dan menjelang ditutup.
Dengan bahasa Arab, PM Nuri menyampaikan terima kasihnya kepada Bush atas kesempatan jumpa pers dan datang ke Irak. Bush yang mencoba-coba menggunakan bahasa Arab saat menutup jumpa pers itu, juga mengatakan, 'khairan katsiera' sambil tersenyum. Khairan katsiera berarti 'terima kasih banyak.'
Nah, satu detik setelah Bush mengucakpan 'khairan katsiera' itu, lemparan sepatu dari bangku wartawan melayang ke arah Bush. Kasus lemparan sepatu ini terjadi dua kali. Dan hebatnya, Bush berhasil menghindari dua buah sepatu itu. Dilempar sepatu, Bush masih tetap memperlihatkan wajah santai.
Bush mengunjungi Irak Minggu (14/12/2008), sebelum lengser untuk meninjau kondisi terakhir pakta keamanan Irak-AS menjelang penarikan pasukan AS dari negara itu, Juli tahun 2009. Kunjungan Bush ini sebagai kunjungan terakhir dan sebagai salam perpisahan darinya. Pada 20 Januari 2009, Bush sudah harus menyerahkan tampuk pimpinan AS ke pundak Barack Obama.
Di Irak, Bush mengunjungi, berpidato dan memberikan ciuman kepada para prajurit AS. Setelah dari Irak, Bush kemudian melanjutkan perjalanan ke Afghanistan untuk bertemu dengan para serdadu AS yang bertugas di negeri Taliban itu.(asy/gah)

http://www.detiknews.com/read/2008/12/15/101806/1053641/10/sepatu-dilempar-setelah-bush-ucap-khairan-katsiera

RUU MA Dinilai Cacat Konstitusional

[14/12/08]

Bila DPR tetap ngotot mengesahkan, sejumlah pihak siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) sudah memasuki tahap final. Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga telah menyepakati substansi dalam revisi itu, termasukusia pensiun hakim agung yang diperpanjang menjadi 70 tahun. Minus PDI Perjuangan yang menolak, mayoritas Fraksi di Senayan sudah memberi lampu hijau.

Menurut rencana, Komisi III DPR akan menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas draft final RUU MA pada 16 Desember nanti. Dua hari berselang, pada 18 Desember 2008, RUU akan disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna. Ketua DPR Agung Laksono menjanjikan DPR akan menerima apapun keputusan yang diambil Komisi III dalam raker tersebut. Artinya, peluang RUU MA ini disahkan sangat besar.

Melihat perkembangan tersebut, sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap menyatakan penolakan terhadap RUU MA ini sudah menyiapkan langkah hukum. Bila RUU itu benar-benar disahkan, sejumlah kelompok masyarakat siap mendaftarkan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Pembahasan RUU ini cacat konstitusional,” ujar peneliti Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Wahyudi Djafar di Jakarta, Jumat (12/12).

Wahyudi mengatakan revisi UU MA ini bisa diajukan uji formal ke MK. Ia menilai proses pembentukan revisi UU itu tidak melewati prosesdur sebagaimana lazimnya tata urutan peraturan perundang-undangan. “Proses tertutup. Rapat Dengar Pendapat Umum tidak dilakukan. Tiba-tiba masuk Bamus dan siap disahkan,” jelasnya. Menurutnya, proses tersebut bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu asas yang dilanggar dalam UU itu adalah keterbukaan.

Meski UU 10/2004 hanya berupa UU, tapi UU itu berisi norma konstitusi. Wahyudi menjelaskan UU 10/2004 merupakan turunan langsung dari Pasal 22A UUD'45. Pasal itu berbunyi 'Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang'. “UU 10/2004 itu merupakan norma konstitusi,” tuturnya. Sehingga, bila dalam proses pembentukan UU menabrak asas dalam UU 10/2004, sama halnya dengan menabrak norma konstitusi.

Pasal 5 UU 10/2004

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat:

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan: dan

g. Keterbukaan

Asas yang dilanggar dalam pembentukan UU MA itu sebenarnya bukan hanya asas keterbubakaan, tetapi juga asas kejelasan tujuan. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zainal Arifin Mochtar menilai DPR tak mempunyai konsep yang jelas tentang lembaga MA serta kekuasaan kehakiman secara umum mau dibawa ke mana. Politik hukum DPR terhadap kekuasaan kehakiman ini tidak jelas.

Zainal menjelaskan politik hukum itu terdapat tiga dimensi. Pertama, bangunan hukum itu mau dibawa ke mana. Kedua, adanya tarik ulur kepentingan politik. Terakhir, bagaimana implementasi produk hukum itu ke depan. Ia menilai elemen penting yang pertama tak dimiliki DPR dalam membentuk UU MA. “DPR telah gagal memahami politik hukum,” tuturnya.

Argumentasi untuk mengajukan uji formal yang sepertinya dikuatkan. Apalagi, konsekuensi uji formal lebih dahsyat dari sekedar uji materi. Dalam pengujian formal UU, MK bisa 'membatalkan' seluruh isi ketentuan UU. Namun, Zainal menyarankan agar uji materi juga harus tetap dilakukan. “Pengujian UU MA ke MK jangan hanya secara formil saja, tapi juga uji materi,” tuturnya.

Zainal mengibaratkan pengajuan uji formal maupun uji materi ini seperti melempar jala. Semua upaya harus dilakukan. “Jangan hanya lempar pancing, tapi lembar jala. Biar nanti benar-benar tersangkut,” pungkasnya.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20714&cl=Berita

Jumat, 12 Desember 2008

Ramai-Ramai Gugat UU Pilpres ke MK

[11/12/08]

Yusril mempersoalkan persyaratan menjadi capres, Fadjroel Rahman mengupayakan kemungkinan calon independen.

Saurip Kadi terlihat berbicara berapi-api di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini memang ingin meyakinkan panel hakim konstitusi bahwa Undang-Undang Pemilihan Presiden (UU Pilpres) teranyar bertentangan dengan UUD’45. Lebih tegas lagi, Saurip mengatakan UU No. 45 Tahun 2008 itu melanggar konsep kedaulatan rakyat.

Substansi yang dipersoalkan Saurip adalah syarat pengajuan calon presiden oleh partai politik. Syarat itu diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres. Isinya: ‘Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden’.

Saurip mengatakan persyaratan berat ini merupakan upaya monopoli parpol besar. “Parpol kecil yang menjadi tempat rakyat berserikat dibatasi untuk mengajukan capres dengan UU ini,” tuturnya. Ia mengatakan peluang terakhir bagi rakyat untuk mempertahankan kedaulatannya ada di MK. “Kalau permohonan ini ditolak, MK akan dilaknat sejarah,” ujarnya berapi-api.

Orang yang mempersoalkan Pasal 9 UU Pilpres bukan hanya Saurip. Partai Bulan Bintang (PBB) juga mengajukan permohonan serupa. Karena memiliki muatan yang sama, persidangan Saurip digabung dengan parpol yang telah mendeklarasikan akan mengusung Yusril Ihza Mahendra ini.

Kuasa Hukum PBB, Januari Hariwibowo menjelaskan Pasal 9 tadi telah merugikan hak konstitusional kliennya. Sebab, dengan berlakunya pasal tersebut rencana PBB untuk mengusulkan capres bisa terhambat. Selain itu, PBB mempersoalkan Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres yang menyebutkan Pemilu Legislatif dilakukan sebelum Pilpres digelar. Padahal, lanjut Januari, konstitusi menyebut pemilu hanya dilakukan sekali dalam lima tahun. “Kalau konsepnya seperti itu, berarti ada dua kali pemilu dalam satu tahun,” ujarnya.

Sekedar mengingatkan, PBB memang telah mendaftarkan permohonannya Selasa minggu lalu (2/12). Kala itu, petinggi-petinggi PBB hadir menyambangi MK. Di antaranya adalah Ketua Majelis Syuro DPP PBB Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPP PBB Hamdan Zoelva.

Hari ini, Kamis (9/12) merupakan sidang perdana perkara tersebut. Ternyata, bukan PBB dan Saurip saja yang mempersoalkan UU Pilpres. Tak selang berapa lama setelah sidang perdana itu usai, Fadjroel Rahman dkk mendatangi Gedung MK. Mereka hendak mendaftarkan permohon uji materi UU Pilpres. Namun, fokus yang diincar Fadjroel Cs sedikit berbeda. Mereka bukan mempersoalkan syarat pengajuan capres melalui parpol, melainkan hendak memperjuangkan diperbolehkannya capres independen ikut bertarung dalam Pilpres.

Fadjroel mengakui UU Pilpres memang saat ini sedang berada dalam kepungan. Ia mengaku telah berdiskusi dengan Yusril terkait permohonan ini. “Kita incar dua titik,” ungkapnya. Bila Yusril mengincar syarat pengajuan capres, Fadjroel tetap konsisten memperjuangkan capres independen.

Permohonan yang diajukan trio Fadjroel, Marianna Amiruddin dan Bob Febrian ini memang bukan kali pertama. Sebelumnya, bersama dengan juga menguji UU Pilpres yang lawas, UU No. 23 Tahun 2003. Namun, permohonan itu terpaksa dicabut karena UU 23/2003 telah diubah UU 45/2008.

Kala itu sidang sudah sampai mendengarkan keterangan ahli. Pemohon menghadirkan tujuh intelektual muda dari berbagai latar belakang ke ruang sidang. ereka adalah Saiful Mujani, Effendy Ghazali, Refly Harun, Rocky Gerung, Andrinof Chaniago, Taufiqurrahman Syahuri, dan Yudi Latif.

Kuasa Hukum pemohon, Taufik Basari mengatakan akan melampirkan risalah keterangan tujuh ahli ini dalam permohonannya yang baru. “Mereka telah memberikan keterangan ahli yang luar biasa,” ujarnya. Namun, Tobas sapaan akrabnya tak akan berhenti sampai di situ. Ia juga sudah menyiapkan ahli yang baru untuk didengarkan keterangannya.

Ketiga ahli itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah mantan Presiden Indonesia BJ Habibie, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginanjar Kartasasmita, dan Gubernur DI Yogyakarta yang telah mendeklarasikan sebagai capres Sri Sultan Hamengkubowono X. “ Mereka sudah bersedia,” pungkas Fadjroel.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20697&cl=Berita

Bicara Hak Asasi Tidak Bisa Bisik-bisik

Jumat, 12/12/2008 08:32 WIB

Salomo Sihombing - detikBandung

Bandung - Meski isu hak asasi manusia sudah dibicarakan secara global, nyataannya selalu ada kontroversi yang berbeda-beda di tiap negara atau daerah. Tetapi yang pasti, hak asasi harus dibicarakan secara terbuka, bukan berbisik-bisik.

Memperingati hari deklarasi universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang tepatnya pada 10 Desember, isu hak asasi mewarnai hampir seluruh simpul komunikasi dan informasi. Koran-koran, televisi, radio, internet, mengangkat isu hak asasi manusia. Bahkan di banyak daerah ada gerakan sipil yang turun ke jalan-jalan berteriak menuntut ketidakadilan yang terjadi di berbagai sisi kehidupan.

Salah satu acara terkait peringatan HAM di Bandung, pada 6 Desember 2008 sampai 10 Januari 2009 digelar pameran foto yang mengisahkan Anne Frank.

Nama wanita Yahudi yang tinggal di Belanda ini telah menjadi seperti reverensi di tiap pembahasan isu HAM global, karena catatan hariannya yang mengisahkan bagaimana tragedi HAM yang terjadi di zaman Nazi.

"Kita berbicara HAM tidak bisa sembunyi-sembunyi, harus dibuka di ruang publik. Untuk menghilangkan diskriminasi, kita harus total. Harus tahu siapa yang setuju, siapa yang tidak. Baru kemudian kita buka ruang diskusi," ujar Direktur Common Room Gustaff H Iskandar, saat ditemui detikbandung di tempat kerjanya di Jalan Kyai Gede Utama No.8, Kamis (11/12/2008).

Tidak hanya menggelar pameran, ada juga serangkaian kegiatan lain seperti diskusi, juga workshop untuk memasyarakatkan budaya menulis sebagai referensi oral history yang belum populer di Indonesia.

Dijelaskan alumni ITB tersebut, dipilihnya tokoh asing sebagai tema pameran dijelaskan Gustaff karena sangat sulit mencari contoh kasus lokal yang bisa dijabarkan secara jelas.

"Saya membuka ruang diskusi juga di internet dan ada yang bertanya, mengapa harus Anna Frank, kenapa tidak tokoh-tokoh lokal? Itu bisa terjawab disendiri. Siapa yang bisa kita bahas kasus lokal? Marsinah? Wartawan yang mencoba mengangkatnya pun dianiaya. Munir apalagi, lebih gelap," tuturnya.

Namun ditambahkan Gustaff, pergerakan di Bandung untuk membahas dan mendokumentasikan isu-isu lokal sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. "Sebelumnya sudah dimulai oleh teman-teman Ujung Berung, ada yang menulis Ivan Scumbag. Di buku yang ditulis Kimung itu banyak sekali masalah-masalah lokal yang diangkat," tuturnya.

Kegiatan lain yang juga digelar adalah pemutaran dan diskusi film "Freedom Writers" yang disutradarai Richard LaGravenese. "Tahun depan, kita ingin kegiatan ini bisa kita bawa ke beberapa kota lain di Indonesia," simpul Gustaff.

Ayo ngobrol seputar Kota Bandung di Forum Bandung.

(lom/lom)


http://bandung.detik.com/read/2008/12/12/083225/1052448/486/bicara-hak-asasi-tidak-bisa-bisik-bisik