Jumat, 28 November 2008

Persidangan “Cap Kaki Tiga” Dihentikan

[27/11/08]

Majelis hakim menilai pokok permasalahan gugatan adalah wanprestasi bukan lisensi merek. Sinde Budi Sentosa menggugat balik Wen Ken di Pengadilan Negeri Bekasi.
Perseteruan lisensi merek “cap kaki tiga” antara PT Tiga Sinar Mestika dan PT Sinde Budi Sentosa untuk sementara berakhir. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak mengadili gugatan yang diajukan Tiga Sinar Mestika selaku kuasa substitusi dari perusahaan asal Singapura Wen Ken Drug Co Pte Ltd. “Pengadilan Niaga tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut,” kata ketua majelis hakim Sir Johan saat membacakan putusan sela, Rabu (26/11) kemarin.
Pasalnya, materi gugatan Tiga Sinar Mestika tidak masuk dalam kompetensi Pengadilan Niaga. Majelis hakim menilai pokok permasalahan gugatan adalah wanprestasi bukan lisensi merek. “Penggugat mengakui adanya kerja sama sehingga jika ada yang tidak dipenuhi berarti wanprestasi,” kata Sir Johan. Karena tergolong sebagai perkara perdata biasa, majelis menyatakan gugatan seharusnya diperiksa dan diadili oleh pengadilan negeri.
Pertimbangan majelis hakim tersebut sesuai dengan eksepsi yang diajukan Sinde Budi dalam jawabannya. Kuasa hukum Sinde Budi dari Hotma Sitompoel & Associates menyatakan gugatan prematur. Sebelum gugatan diajukan, keabsahan perjanjian antara Tiga Sinar Mestika dan Sinde Budi Sentosa harus dibuktikan lebih dulu. Nah, yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili keabsahan perikatan adalah pengadilan umum.
Dalam gugatan yang dilayangkan September lalu, Tiga Sinar Mestika menuntut agar Sinde Budi Sentosa menghentikan produksi, penjualan, pemasaran dan pendistribusian produk merek cap kaki tiga. Gugatan dilayangkan lantaran Sinde Budi tidak membayar royalti lisensi merek cap kaki tiga. Selain itu, Sinde Budi dituding tidak menyampaikan laporan produksi dan penjualan produk secara periodik, serta menghilangkan logo “Kaki Tiga” dari kemasan produk.
Menurut penggugat, permasalahan timbul lantaran perjanjian lisensi merek tidak dibuat secara tertulis. Padahal perjanjian kedua perusahaan tersebut telah dijalin sejak 1978. Sejak benih perselisihan muncul pada tahun 2000, kedua belah pihak sudah berusaha berembug untuk merumuskan perjanjian lisensi. hingga 2008 tidak terdapat titik temu. Dengan begitu, penggunaan Cap Kaki Tiga tidak sah sebab tidak ada perjanjian lisensi tertulis sehingga hubungan hukum kedua perusahaan juga tidak sah.
Menanggapi putusan, Andi F. Simangunsong menyatakan majelis hakim sudah berfikir jernih dalam memahami gugatan tersebut. “Terus terang saya surpise dan senang,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon kemarin. Sementara, saat dihubungi telepon kuasa hukum Tiga Sinar Mestika, John H. Waliry tidak aktif.
Gugat balik
Untuk menguji keabsahan perjanjian, Sinde Budi Sentosa menggugat balik Wen Ken di Pengadilan Negeri Bekasi. Alasannya Wen Ken telah menghentikan perjanjian lisensi secara sepihak terhitung 7 Februari 2008 dan berniat mengalihkan lisensi merek Cap Kaki Tiga ke pihak lain. Dalam gugatan yang didaftarkan akhir Oktober lalu, Sinde Budi menilai pengakhiran itu tidak sah.
Dalil itu mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, dimana perikatan dapat dibatalkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Lalu pasal 1266 KUHPerdata menentukan pembatalan perjanjian secara sepihak harus diajukan ke pengadilan. Sinde Budi menilai penghentian itu merupakan perbuatan melawan hukum.
Akibat pembatalan perjanjian itu, Sinde Budi mengklaim mengalami kerugian sebesar Rp200 miliar sebagai kompensasi biaya promosi yang telah dikeluarkan. Dengan pengakhiran sepihak itu promosi produk Cap Kaki Tiga menjadi sia-sia dan tidak bernilai lagi.
Selain itu, Sinde Budi mengalami kerugian bisnis berupa potensi kerugian pendapatan (loss profit) sebesar 5% dari total omset per tahun selama 10 tahun yaitu Rp200 miliar. Termasuk pula kerugian investasi berupa alat produksi, tanah dan bangunan yang berjumlah Rp200 miliar. Kerugian immateriil juga diperhitungkan sebesar Rp200 miliar. Sehingga total seluruh ganti rugi sebesar Rp800 miliar.
Rencananya, persidangan perdana perkara ini akan digelar di Pengadilan Negeri Bekasi pada awal Januari 2009. 

(Mon)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20586&cl=Berita

MASA TUGAS BERAKHIR, JIMLY PAMITAN

Jumat , 28 Nopember 2008 06:29:25  


Jumat (28/11) adalah hari terakhir bagi Jimly Asshiddiqie bertugas di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Hakim Konstitusi. Untuk itu, Kamis (27/11), Jimly gelar jumpa pers di MK dalam rangka pamitan. “Mulai satu desember, saya bukan hakim (konstitusi) lagi,” kata Jimly.

Per Desember 2008, status Jimly akan kembali beralih sebagai Pegawai Negeri Sipil, Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. “Dengan demikian, saya mohon pamit dengan rekan-rekan wartawan,” ucap Guru Besar Hukum Tata Negara ini.

Di hari terakhir kerja (Jumat, 28/11), Jimly masih berkesempatan mengikuti Rapat Permusyawaratan Hakim. “Kira-kira, perkara terakhir yang saya masih ikut mengambil keputusan ialah (pemilukada) Jawa Timur,” ujarnya.

Ketika Selasa (2/12) nanti Jimly sudah tidak lagi ikut sidang pembacaan putusan sengketa pemilukada Jatim, Jimly berharap, “(putusan) itu menjadi catatan sejarah terakhir saya sebagai hakim di MK ikut mengambil keputusan dalam perkara pemilukada Jatim.” 

Selepas menjadi Hakim Konstitusi, Jimly masih berkenan menjalin komunikasi dengan wartawan. “Nantinya saya akan lebih bebas (berpendapat),” ungkapnya.

Selain itu, meski tak lagi menjadi Hakim Konstitusi, Jimly masih akan tetap bersama MK untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi. “Saya tidak akan pergi ke mana-mana. Saya tetap menjadi bagian MK. Cuma tidak lagi menjadi hakim secara resmi,” paparnya.

Selama kurun waktu lima tahun di bawah kepemimpinannya, MK, antara lain, telah berhasil mengembangkan kerjasama dengan 56 perguruan tinggi di Indonesia di bidang pengkajian konstitusi. Selain itu, MK juga berhasil membangun kerjasama dengan 16 negara yang memiliki lembaga MK dan yang sejenis. 

Pengunduran diri Jimly terhitung sejak 6 Oktober 2008 lalu, namun berlaku efektif pada akhir November 2008. (Wiwik Budi Wasito)

Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2027

Kamis, 27 November 2008

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

P U T U S A N

Perkara Nomor 001/PUU-II/2004

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Fathul Hadie ( F. Hadie Ustman ), pekerjaan LSM Direktur LSM / SERGAP Abnormal Constitution Control/Suara Etis Rakyat Menggugat Ambivalensi dan Abnormalisasi Peraturan dan Perundangundangan, alamat Tegalpare, RT 01, RW 02, Muncar Banyuwangi, Jawa Timur;
2. Dra. Mursyidah Thohir, MA, pekerjaan Dosen, alamat Jl. Cemara II 02/01 No. 36 Pamulang Barat, Tangerang, Jawa Barat;
3. Swandoko Soewono, pekerjaan wiraswasta, alamat Curah Palung Rt. 04 / II Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur;
4. Dra. Hamdanah, M.Hum., pekerjaan Dosen, alamat Jl. Kertanegara IV/88 Kaliwates, Jember, Jawa – Timur;
5. Drs. Thohir Afandi, MPA, pekerjaan Pegawai Negeri, alamat Jl. Cempaka Blok A 39 Kunciran Mas Permai Pinang – Tangerang;
6. Drs Abd. Halim Soebahar, MA, pekerjaan Dosen / Pegawai Negeri alamat Jl. Kertanegara IV / 88 Kaliwates, Jember, Jawa Timur;

Dalam hal ini Pemohon 2, 3, 4, 5, dan 6 memberi kuasa kepada Pemohon 1, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Februari 2004, selanjutnya disebut sebagai para Pemohon;

Telah membaca permohonan para Pemohon;
Telah mendengar keterangan para Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti;
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 22 Desember 2003 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Senin, tanggal 5 Januari 2004 dan diregistrasi dengan Nomor 001/PUU-II/2004 pada tanggal 5 Januari 2004 serta perbaikan permohonan bertanggal 9 Februari 2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Februari 2004, pada dasarnya para Pemohon mengajukan
permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Bahwa pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan dengan diterbitkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tersebut, sehingga Pemohon berhak untuk mengajukan hak uji ini sebagaimana ditentukan di dalam Unadng-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

Bahwa para Pemohon mengajukan hak uji pasal-pasal Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2003;
1. Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 4, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 A ayat (2) tentang usulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 22 E ayat (2) tentang Pemilihan Umum;
2. Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (2) tentang hak hak asasi manusia;
3. Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 A ayat (2) tentang Gabungan Antar Partai dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 28 H ayat (2) tentang hak hak asasi manusia;
4. Pasal 67 ayat (1) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 A ayat (4) tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua;

Bahwa kedudukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tersebut adalah dibawah Undang-Undang Dasar sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 2 Ketetapan MPR RI No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan;

Bahwa berdasarkan pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewengannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

Bahwa berkenaan dengan hal tersebut di atas dengan berlandaskan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berhak dan berkewajiban untuk melakukan uji materil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang telah disahkan pada tanggal 31 Juli 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

1. Bahwa Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan bahwa pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden serta pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah setelah pelaksanaan pemilihan umum DPR adalah bertentangan dengan pasal 6 A ayat (2) dan pasal 22 E ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah jelas dan tegas menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPR Daerah;
Bahwa upaya paksa untuk memisahkan pemilihan umum DPR, DPD, DPR Daerah dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara sendiri-sendiri sehingga nanti ada kemungkinan besar bisa terjadi 3 (tiga) kali hak pemilihan umum yang terdiri dari :
1. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPR Daerah.
2. Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua.
Adalah bertentangan dengan pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa kalau dilihat dari konteks dan struktur kalimat yang ada pada pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kata (untuk memilih) Presiden dan Wakil Presiden justru berada ditengah - tengah kalimat sebelum kata (dan untuk memilih) DPR Daerah, dan menurut konteks dan struktur kalimatnya bunyi Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah termasuk kalimat majemuk serta menggabungkan yang ditandai dengan menggunakan konjungsi dan, yang jelas berfungsi untuk menggabungkan unsur-unsur kalimatnya, sedangkan tanda koma (,) merupakan pengganti dari konjungsi dan (menggunakan penggabungan dengan relasi implisit/pengganti dan yang tidak ditulis) dan ini hanya berlaku pada kalimat mejemuk setara menggabungkan. Jadi asal kalimat dari Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut adalah terdiri dari beberapa kalimat tunggal yang digabungkan sebagai berikut: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan untuk memilih anggota DPD dan untuk memilih Presiden dan wakil Presiden dan untuk memilih DPR Daerah”;

Bahwa dari uraian tersebut di atas maka sudah jelas bahwa antara pemilihan Umum DPR dan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama harus digabungkan bersama-sama dalam satu rangkaian yang tidak harus dipisahkan pelaksanaannya, yang sebenarnya dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden juga dinyatakan bahwa :”Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu rangkaian dengan pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD”;

Bahwa kata satu rangkaian (arti akhiran “an” dalam kata pembuka kata rangkaian adalah “dalam keadaan”) tersebut di atas adalah sangat memperkuat adanya keharusan untuk menggabungkan antara pemilihan DPR dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu dan saat yang bersamaan tanpa harus terputus dan dipisahkan dalam waktu penyelenggaraanya sebab kalau terputus berarti tidak lagi satu rangkaian; 

Bahwa susunan dalam kalimat di Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kata (untuk memilih) Presiden dan Wakil Presiden berada di tengah-tengah kalimat yang sebelum diberi tanda koma (,) sebagai pengganti konjungsi dan, jadi dalam hal ini juga sangat memperkuat pendapat kami bahwa antara pemilihan DPR, DPD dan DPRD dengan pemilihan Presiden dan Wakil presiden tidak ada alasan untuk dipisahkan, kalau dipisahkan seharusnya memakai konjungsi kemudian (kemudian memilih Presiden dan Wakil Presiden) dan itupun masih terdapat kejanggalan sebab di akhir kalimat dari Pasal 22 E ayat (2) tersebut masih ada kata: dan DPR Daerah;

Bahwa di era krisis perekonomian yang masih akut di negara Indonesia kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan mempertimbangkan sebagai bagian dalam membuat keputusan nanti, sebab pelaksanan pemilu 3 (tiga) kali tahapan akan memakan dana trilyunan rupiah yang semestinya dapat di manfaatkan untuk meningkatkan program pendidikan dan pengentasan kemiskinan atau untuk peningkatan program pembangunan; Bahwa situasi politik sosial yang masih rawan konflik dan mudah terprovokasi terutama saat-saat menjelang, ketika pelaksanaan dan sesudah pemilihan umum, kami harapkan juga dijadikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam memutus permohonan kami tentang pembatalan Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang kami anggap bertentangan degan Pasal 6 A ayat (2) dan Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

Bahwa dengan berlakunya Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 sangat merugikan hak konstitusional kami sebagai Pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Dalam hal ini dipisahkannya antara pemilihan DPR, DPD dan DPRD dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara sendiri-sendiri dalam waktu yang berbeda dalam tenggang waktu yang relatif cukup lama sekali yaitu :
a. Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.
b. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahap pertama, dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004;
c. Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden tahap kedua, dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004;

Degan demikian maka hak konstitusional kami untuk dapat memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPR Daerah secara bersama-sama dalam waktu yang sama dalam putaran pertama telah dilanggar, dengan dilanggarnya hak-hak konstitusional seseorang anggota warga negara Indonesia maka menjadi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Selain itu kami juga sangat dirugikan secara material apabila pemilihan umum harus dilaksanakan tiga kali putaran dan itupun belum seberapa apabila dibandingkan dengan ongkos sosial yang harus kita tanggung apabila terjadi konplik sosial akibat berlarut-larut dan panjangnya proses pemilihan umum tersebut, yang selanjutnya dapat dilakukan satu kali putaran saja;
2. Bahwa Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 memberlakukan sistem electoral threshold atau perolehan suara 15% (3% khusus untuk pemilu tahun 2004) perolehan kursi DPR partai peserta pemilu sebagai persyaratan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mendaftarkan diri ke KPU sebagai peserta pemilihan umum, baik yang diajukan oleh partai politik maupun gabungan antara parta politik telah bertentangan dengan : Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama sekali tidak mengkaitkan dengan perolehan kursi partai politik sebagai persyaratan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebab dengan diberlakukannya persyaratan perolehan kursi DPR (Electoral Threshold) berarti telah melanggar hak-hak seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden yang semestinya diberi kemudahan, kesempatan yang sama dan diberlakukan secara adil dan tanpa diskriminasi;

Bahwa dengan berlakunya Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sangat merugikan hak konstitusional para Pemohon, sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan: ”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yaitu: 
a. perorangan warga negara Indonesia.
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

Dalam hal ini dengan ditetapkannya persyaratan electoral threshold bagi partai peserta pemilu atau gabungan partai sebesar 15% (3% untuk pemilu tahun 2004 sebagai persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden). Dengan demikian maka hak konstitusional seseorang warga Negara Indonesia telah dilanggar terutama dalam hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara yang diajukan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu yang harus diberi kesempatan, kemudahan dan perlakuan secara adil tanpa diskriminasi;

Bahwa apabila ketentuan 15% tersebut telah dilaksanakan, maka dalam pemilu nanti pasti hanya terdapat maksimal 5 (lima) peserta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, dan ini sangat merugikan para Pemohon, sebab ada kemungkinan besar partai kecil mempunyai calon yang lebih berkualitas dan dapat terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dan lebih mengkhawatirkan lagi apabila dalam Pemilu DPR nanti ada partai yang menjadi mayoritas tunggal, kemungkinan besar bisa terjadi calon tunggal yang cenderung diktator dan otoriter; Kami mohon dalam pengambilan keputusan nanti kiranya Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas;
3. Bahwa Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 yang membatasi dan melarang gabungan partai politik mencalonkan lebih dari satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah melanggar dan tidak sesuai dengan Pasal 6 A ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dengan tegas tidak melarang gabungan partai politik untuk mencalonkan lebih dari satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan seharusnya dalam hal ini pencalonan Presiden dan Wakil presiden semua partai diberi hak yang sama secara adil baik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden secara sendiri-sendiri atau gabungan dengan partai lain yang diajukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum;

Bahwa dengan berlakunya Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 sangat merugikan hak konstitusional kami sebagai para Pemohon sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebab pelarangan terhadap gabungan partai politik untuk mencalonkan pasangan lebih dari satu pasangan adalah sangat merugikan para Pemohon sebab dengan pembatasan tersebut hak para Pemohon untuk memperoleh calon Presiden dan Wakil Presiden yang lebih banyak dapat dirugikan, sebab kesempatan kami untuk memilih Presiden dan Wakil presiden juga semakin terbatas, sebab suatu saat nanti masyarakat pasti tidak lagi melihat dari mana dan oleh siapa calon tersebut diajukan tetapi seberapa besar kualitas dan profesionalitas dari para calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut; 

Bahwa dengan demikian tidak ada alasan yang rasional dan konstitusional apabila gabungan partai politik dilarang, bahkan apabila gabungan partai politik dapat diberi hak untuk mencalonkan lebih dari satu pasangan dengan perjanjian yang jelas karena persamaan misi dan visi serta ada kesepakatan bahwa suara terbanyak calon tersebutlah yang berhak mewakili menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden apabila dalam gabungan tersebut sudah memperoleh suara 50% lebih. Dengan cara tersebut kemungkinan besar akan terjadi dua sampai tiga koalisi besar saja dan apabila hanya terdapat dua koalisi besar saja berarti hanya akan ada satu putaran pemilihan umum saja, sehingga dapat mempercepat proses demokrasi dan reformasi dalam pemilu serta dapat menghemat dana trilyunan rupiah dan yang lebih berharga dapat memperkecil terjadinya ketegangan dan konplik sosial di masyarakat, atau kalau di level yang lebih tinggi dapat menghancurkan mimpi para politikus pedagang sapi yang biasa menghalalkan segala cara demi kepentingan diri pribadi atau kelompoknya sendiri;

Bahwa uraian tersebut di atas kiranya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan nanti;

4. Bahwa Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tersebut belumlah lengkap dan tidak sesuai dengan Pasal 6 A ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang semestinya ada perubahan kalimat yang berbunyi : “Dan pemenangnya langsung dilantik sebagai Presiden dan wakil Presiden”. Karena pasal tersebut juga harus dibatalkan atau dilengkapi sebab dalam Pasal tersebut belum disebutkan siapa pemenangnya;
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan tersebut di atas, kami memohon kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan

memutuskan:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon;
2. Menyatakan bahwa :
a. Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 A ayat (2) dan Pasal 22 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 6 A ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tidak berlaku;
4. Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang dilampirkan dalam permohonannya sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ;
2. Bukti P-2 : fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
3. Bukti P-3 : fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama para Pemohon;
4. Bukti P-4 : fotokopi Tanda Bukti Sudah Didaftar di P4B atas nama Para Pemohon ;

Menimbang, bahwa pada pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 3 Februari 2004, hadir Pemohon : Fathul Hadie (F. Hadie Ustman), Dra. Mursyidah Thohir, MA, dan Dra. Hamdanah, M. Hum.;

Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan perbaikan permohonannya bertanggal 9 Februari 2004 yang diserahkan di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Februari 2004;

Menimbang bahwa pada pemeriksaan persidangan yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 31 Maret 2004, hadir Pemohon: Fathul Hadi (F.Hadie Ustman) yang bertindak untuk diri sendiri dan selaku kuasa dari : Dra. Mursyidah Thohir, MA, Swandoko Soewono, Dra. Hamdanah, M.Hum, Drs. Thohir Afandi, MPA, dan Drs. Abdul Halim Soebahar, MA, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Februari 2004;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang tercantum dalam berita acara persidangan dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini; 

PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang bahwa sebelum memasuki substansi atau pokok perkara Mahkamah Konstitusi harus terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini, karena Undang-Undang yang dimohon untuk diuji diundangkan pada tahun 2003, maka sesuai dengan Pasal 50 Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 yang menentukan bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan pengujiannya adalah Undang-undang yang telah diundangkan setelah adanya perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1999;
2. Apakah para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 101, Pasal 1 butir 5 dan Pasal 26 ayat (3) serta Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sehingga menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mereka memiliki kedudukan hukum (legal standing ) guna mengajukan permohonan pengujian (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; Terhadap kedua masalah dimaksud, Mahkamah Konstitusi berpendapat
sebagai berikut:

1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa, Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;

Bahwa, selanjutnya ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi antara lain berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003;

Bahwa dengan berdasar pada ketentuan-ketentuan di atas, termasuk ketentuan Pasal 50 Undang-undang a quo, maka terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para Hakim Konstitusi mengenai Pasal 50 tersebut, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undangundang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
Bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undangundang, yaitu dapat berupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara;

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai para Pemohon untuk mengajukan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 karena tidak terbukti bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 4 , Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden danWakil Presiden. Para Pemohon secara tegas telah menyatakan dalam permohonannya bahwa mereka adalah calon pemilih dan bukan pimpinan partai politik ataupun calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum tahun 2004. Dengan demikian, kerugian hak konstitusional para Pemohon tidak terbukti, sehingga para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan; 

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para Pemohon a quoharus dinyatakan tidak dapat diterima. Bahwa oleh karena itu, pokok permohonan para Pemohon a quo tidak perlu dipertimbangkan lebih jauh;

Memperhatikan Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juncto Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 45 juncto Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003;

M E N G A D I L I

Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;

Demikian diputuskan dalam rapat pleno permusyawaratan 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari: Selasa, tanggal 20 April 2004 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Kamis, tanggal 22 April 2004 oleh kami: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. , selaku Ketua merangkap anggota, didampingi oleh: Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Dr. Harjono, S.H., MCL, Prof. H.A.Mukthie Fadjar, S.H. MS., Maruarar Siahaan, S.H., Soedarsono, S.H., I Dewa Gede Palguna,S.H.,M.H., dan H. Achmad Roestandi, S.H., masingmasing sebagai Anggota dan dibantu oleh Rustiani, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya.

KETUA,
ttd.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
Prof.Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. Prof. H.A.S. Natabaya, S.H.,LLM.
ttd. ttd.
Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H.,MS. Dr. Harjono, S.H. ,MCL.
ttd. ttd.
Maruarar Siahaan, S.H. Soedarsono, S.H.
ttd. ttd.
H. Achmad Roestandi, S.H. I Dewa Gede Palguna, S.H.,MH.


PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Rustiani, S.H.

http://www.legalitas.org/database/putusan/2004/putmk001-2004.pdf

Yayasan Jurnal Perempuan Tersandung Sengketa Ketenagakerjaan

[27/11/08]

Berawal dari tidak lagi menjabat sebagai Direktur Eksekutif, seorang aktivis perempuan ‘terdepak’ dari kantornya. Lepas jabatan berarti lepas status ketenagakerjaan?

Jika dicermati, ada pemandangan tak biasa di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta beberapa pekan ini. Seorang aktivis perempuan terlihat wara-wiri di sana. Orang itu adalah Adriana Venny. Bagi pemerhati isu perempuan, nama Venny –demikian ia disapa- tidak asing di telinga. Selain itu, ia juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, sebuah LSM yang bergerak di bidang publikasi jurnal, buku dan informasi seputar kesetaraan gender.

Namun kedatangan Venny di PHI Jakarta tidak sedang memberikan materi pelatihan tentang keseteraan gender bagi warga pengadilan. Kehadiran Venny tak lain sebagai pihak yang bersengketa. Ia bertindak sebagai penggugat. Pihak yang digugat tak lain adalah Yayasan Jurnal Perempuan.

Perselisihan Venny dengan Yayasan Jurnal Perempuan mencuat sejak Agustus 2007. Pada satu kesempatan rapat, pendiri Yayasan mengutarakan niatnya untuk pergantian manajemen. Salah satu posisi yang ikut dirombak adalah Direktur Eksekutif. “Sesuai SK Pengangkatan, seharusnya masa jabatan saya sebagai Direktur Eksekutif baru berakhir pada Juni 2009,” kata Venny, Selasa (25/11).

Venny lantas menanggapi dingin rencana pendiri Yayasan. “Saya tidak mau berkonflik. Jadi saya hanya diam saja. Tidak mengiyakan atau menolak rencana itu.”

Keputusan pendiri untuk merombak manajemen sudah bulat. Pada pertengahan Januari 2008, pendiri kembali mengadakan pertemuan dengan Venny dan beberapa staf manajemen. Dalam kesempatan itu, pendiri menjanjikan posisi baru bagi Venny. “Waktu itu, katanya saya akan diangkat sebagai Board of Director (BoD). Tugasnya seperti komisaris yang mengawasi kerja Direktur Eksekutif,” ungkap Venny.

Sehari setelah pertemuan itu, tepatnya pada 16 Januari 2008, pendiri Yayasan melantik Mariana Amiruddin sebagai Direktur Eksekutif yang baru dengan periode kepengurusan 2008-2011.

Hari setelah pelantikan Mariana, menjadi hari yang berat bagi Venny. Ia menunggu janji pendiri yang akan mengangkatnya sebagai BoD. Ia mencoba menagihnya dengan menghubungi pendiri lewat email mapun pesan pendek melalui telepon. Hasilnya tetap nihil.

Alih-alih menunggu jabatan baru, Venny malah dilarang masuk kantor. Melalui surat peringatan tertanggal 14 Februari 2008, manejemen menilai Venny menyebarkan informasi bohong dan merugikan nama baik seorang manager program. Ia pun dilarang masuk kantor hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Kontan Venny meradang. Ia lantas berkirim surat meminta klarifikasi dari manajemen. Karena tak berbalas, Venny lalu mencatatkan perselisihan ini ke Sudinakertrans Jakarta Selatan. Mediator instansi ini mengeluarkan anjuran yang meminta agar Yayasan mempekerjakan kembali Venny dalam jabatan semula.

Masih tak menggubris anjuran mediator, Venny menggulirkan perselisihan ke PHI pada September 2008. Dalam gugatannya, ia menuntut agar PHI menyatakan putusnya hubungan kerja Venny dengan Yayasan. Tentunya dengan pembayaran kompensasi pesangon dan upah selama proses.

Gara-gara 'berulah'

N. Farid Adhikoro, kuasa hukum Yayasan membantah semua tuduhan Venny. Menurutnya, Venny secara sadar dan tanpa tekanan mengundurkan diri dari jabatannya.

Lebih jauh Farid menyebutkan Venny salah alamat mengajukan gugatan ke PHI. Awal masalah perkara ini, kata Farid, adalah tak kunjung diangkatnya Venny sebagai BoD sesuai janji pendiri Yayasan. “Kalau mau dipermasalahkan, ini wanprestasi.”

Mengenai pelarangan Venny ke kantor, Yayasan mempunyai alasan sendiri. Seperti dikatakan Farid, tindakan penyebaran informasi bohong oleh Venny menyebabkan suasana kantor menjadi tidak nyaman. Penuh kecurigaan dan menimbulkan perpecahan sesama staf.

Sebelum surat pelarangan terbit, masih menurut Farid, pada awal Februari sebenarnya Yayasan sudah mengeluarkan surat yang mengangkat Venny sebagai tenaga ahli. Hal ini langsung dibantah Venny. “Sampai saya dilarang masuk kantor, saya tidak pernah menerima surat itu.”

'Jenjang Karir' di LSM

Pada bagian lain, Farid menyebutkan masalah ‘jenjang karir’ sebagai salah satu masalah dalam perkara ini. Menurutnya, sudah menjadi ‘kebiasaan’ di tiap LSM dimana mantan Direktur Eksekutif pada akhirnya mengundurkan diri dari LSM itu. Tak jarang mantan direktur itu kemudian membentuk LSM baru.

Ketua Pusat Kajian Hukum Ketenagakerjaan Universitas Pasundan, Bandung, Wirawan angkat bicara. Awalnya ia menerangkan bahwa secara normatif, LSM yang memiliki pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain dapat dikategorikan sebagai perusahaan. “Itu disebut dalam Pasal 1 angka 6 huruf (d) UU Ketenagakerjaan,” jelas Wirawan lewat gagang telepon, Rabu (26/11).

Karena tunduk dengan UU Ketenagakerjaan, lanjut Wirawan, semua aturan main yang berlaku di LSM juga harus tunduk dengan UU Ketenagakerjaan. Mengenai mundurnya seorang Direktur Eksekutif dari jabatan, menurutnya tidak lantas menghilangkan status ‘kepegawaian’ seorang pekerja LSM.

Sekedar informasi, Venny meniti karir sebagai staf redaksi di Yayasan Jurnal Perempuan sejak 1999. Beberapa tahun setelah itu, ia diangkat menjadi pekerja tetap sebelum akhirnya dipercaya sebagai Direktur Eksekutif pada 2004.

Lebih lanjut Wirawan berpendapat, LSM tidak bisa seenaknya ‘mendepak’ mantan direkturnya. Jika mau diberhentikan, LSM harus membayar kompensasi PHK. “Beda hal kalau si mantan direktur yang mengundurkan diri.”

Nah, dalam perkara ini Farid juga menuding Venny melakukan hal yang sama. “Pertengahan Januari dia mundur dari Direktur Eksekutif, pertengahan Februari dia dilarang masuk kantor, kemudian pertengahan Maret 2008 dia mendirikan LSM baru yang juga concern dengan isu perempuan,” tuturnya. Bagi Farid, Venny secara sukarela sudah mengundurkan diri dari Yayasan.

Mengenai hal ini Venny kembali menyanggah. “Saya tidak pernah mengundurkan diri. Kalau dibilang saya beraktifitas di LSM lain itu tidak benar. Saya memang tercatat menjadi Dewan Penasihat suatu LSM. Tapi itu tidak digaji. Malah saya yang mengeluarkan uang.”

(IHW)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20582&cl=Berita

Mahasiswa ITB Hilang Misterius

Hari Ini Polisi Akan Panggil Teman Inoel
Erna Mardiana - detikBandung
Kamis, 27/11/2008 11:15 WIB
Bandung - Hingga hari kedelapan, jejak mahasiswa Planologi ITB Mizan Bustanul Fuady atau akrab dipanggil Inoel (21) tak juga terendus. Kepolisian hingga kini belum mengetahui keberadaan maupun motif hilangnya Inoel. Rencananya Kamis (27/11/2008), Polres Bandung Timur akan memanggil dua teman kampus Inoel.

Kapolres Bandung Timur AKBP Martinus Sitompul saat dihubungi melalui telepon, mengatakan kasus hilangnya Inoel masih dalam penyelidikan. "Mohon bersabar, kami masih menyelidiki. Hingga saat ini belum ada titik terang keberadaan Inoel," ujarnya.

Menurutnya, tak hanya keberadaan Inoel yang masih gelap. Motif hilangnya Inoel pun masih belum diketahui. "Semua masih spekulasi. Kami hari ini akan memanggil dua temannya lagi untuk dimintai keterangan," katanya.

Inoel tidak kembali lagi ke rumahnya sejak Kamis 20 November 2008. Sebelum berangkat ke kampus ITB, Jalan Ganesha, Inoel meminta uang untuk membetulkan kacamata. Ibunya memberikan uang Rp 150 ribu. Namun sebelum berangkat kuliah, Inoel meminta izin untuk pergi ke swalayan dekat rumahnya. Pada saat pergi, Inoel hanya mengenakan celana pendek dan tidak membawa apa-apa. Setelah dia pamit pergi ke swalayan, Inoel tak pernah kembali.

http://bandung.detik.com/read/2008/11/27/111509/1043805/486/hari-ini-polisi-akan-panggil-teman-inoel

Rabu, 26 November 2008

LSM Waspadai Calon Pesanan Pemerintah

LSM Waspadai Calon Pesanan Pemerintah
Komisi Informasi 
[25/11/08]

Komposisi wakil pemerintah yang mencapai 50% dikhawatirkan akan mengganggu independensi KI secara kelembagaan. Pansel bantah ada pesanan.

Jika sebelumnya Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi Pusat (Pansel) mengeluhkan minimnya jumlah serta kualitas pendaftar, kalangan LSM justru mempersoalkan komposisi. Koalisi LSM Kebebasan Memperoleh Informasi mencium gelagat pemerintah yang hendak “mematok” porsi 50% wakil pemerintah dalam formasi Komisi Informasi Pusat (KI).

“Upaya pemerintah "memesan" 50 % wakilnya jelas merupakan wujud intervensi kepada Pansel, sekaligus merusak obyektifitas seluruh instrumen seleksi, mulai tahap administrasi hingga fit and proper test,” ujar anggota Koalisi dari ICW Agus Sunaryanto.

Agus menyadari pangkal masalahnya memang terletak di UU Kebebasan Informasi Publik. Pasal 25 ayat (1) menyatakan formasi anggota KI berjumlah tujuh orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan masyarakat. Sayang, pasal tersebut tidak memperinci berapa proporsi antar wakil pemerintah dan masyarakat yang dimaksud. Namun begitu, Agus berpendapat proporsi keterwakilan tetap harus ditentukan melalui proses seleksi yang kompetitif, obyektif, transparan dan akuntabel.

Indikasi yang muncul justru sebaliknya. Pemerintah mengisyaratkan berniat menguasai setengah dari formasi KI. Kondisi ini, menurut Agus, bisa menyulitkan upaya mencari sosok calon anggota KI yang ideal. Padahal, untuk memperjuangkan kepentingan publik dalam memperoleh informasi, dibutuhkan anggota KI yang memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi. Selain itu, 50% wakil pemerintah dikhawatirkan juga mengganggu independensi KI secara kelembagaan.

”Waspadai upaya pembajakan oleh Partai Politik maupun kelompok kepentingan lain yang tidak memiliki kompentensi dalam memperjuangkan akses publik terhadap informasi,” papar Agus ketika membacakan himbauan Koalisi terhadap Pansel.

Anggota Koalisi dari Imparsial Rusdi Marpaung mempersoalkan proses di Pansel yang dinilai tidak memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Sejauh ini, Rusdi melihat akses publik terhadap informasi para calon anggota KI sangat minim. Pengumuman 243 calon yang telah lolos seleksi administrasi 14 November 2008 lalu pun hanya menampilkan nama calon.

Kondisi ini, menurut Rusdi, bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UU KIP yang memberi ruang bagi masyarakat untuk mengajukan pendapat dan penilaian. Ayat yang sama bahkan menegaskan bahwa pengumuman harus disertai dengan alasan kenapa calon tersebut lolos seleksi. Anehnya, Pansel justru “berkreasi” membuka pintu masukan masyarakat ketika calon tersisa 63 orang.

Sesuai tahapan yang ditetapkan, setelah seleksi administrasi, Pansel selanjutnya akan menjaring 63 orang. Kemudian melalui ujian pembuatan karya ilmiah dan wawancara akan tersaring 21 orang nama yang selanjutnya akan diserahkan ke DPR untuk mengikuti fit and proper test di DPR.

“Seharusnya, Sekretariat Kementerian Komunikasi dan Informatika maupun Panitia Seleksi memberikan masyarakat akses informasi (mempublikasikan), minimal biodata para calon yang telah lolos seleksi administrasi,” ujar Rusdi.

Penentuan di DPR

Dikonfirmasi, Ketua Pansel Paulus Wirutomo tegas membantah ada pesanan ataupun campur tangan pemerintah, termasuk dalam hal komposisi. Paulus menyatakan Pansel menjalankan tugas secara independen dan hanya mengacu pada undang-undang. Menurutnya, komposisi wakil pemerintah yang lebih banyak dari masyarakat belum tentu akan memunculkan masalah. Sebaliknya, komposisi wakil masyarakat yang lebih dominan juga tidak menjamin KI lebih independen.

“Komposisi enam masyarakat satu pemerintah juga bukan berarti tidak akan ada masalah,” tukasnya. Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI ini mengatakan Pansel hanya menjalankan seleksi awal, sedangkan babak penentuan justru ada di DPR.

Soal pengumuman yang tidak mencantumkan biodata, Paulus mengemukakan alasan teknis. “Bagaimana mungkin mengumumkan 243 nama plus biodatanya di media, siapa yang mau bayar?” ungkapnya. Kalau akses publik yang dipersoalkan, Paulus mempersilahkan datang ke Pansel bagi siapapun yang ingin melihat data lengkap para calon anggota KI.

Anggota Komisi I DPR Dedy Djamaluddin Malik mengatakan seyogyanya komposisi KI lebih banyak wakil masyarakat. Sebagai perbandingan, Dedy menyebut komposisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga dibidani oleh Komisi I DPR. Komposisi KPI memang didominasi oleh unsur non pemerintahan. "Harusnya 60-40," usulnya. Menurut Dedy, Komisi I berencana meminta keterangan Pansel seputar proses seleksi serta kriteria penilaian, sebelum 21 calon diserahkan ke DPR.

(Rzk/Fat)

http://hukumonline.com/detail.asp?id=20567&cl=Berita

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2008
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 14 ayat (4), Pasal 15 ayat (4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 61, dan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Nama Yayasan adalah nama diri dari Yayasan yang bersangkutan.
2. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Yayasan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Yayasan lain yang mengakibatkan beralihnya karena hukum semua aktiva dan pasiva dari Yayasan yang menggabungkan diri kepada Yayasan yang menerima penggabungan dan Yayasan yang menggabungkan diri bubar karena hukum tanpa diperlukan likuidasi.
3. Daftar Yayasan adalah daftar yang diadakan oleh Menteri yang memuat catatan resmi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Yayasan.
4. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
5. Orang Indonesia adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
6. Orang Asing adalah orang perseorangan asing atau badan hukum asing.
7. Menteri adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

BAB II
PEMAKAIAN NAMA YAYASAN

Pasal 2
(1) Setiap Yayasan harus mempunyai nama diri.
(2) Nama Yayasan yang telah didaftar dalam Daftar Yayasan tidak boleh dipakai oleh Yayasan lain.
(3) Nama Yayasan dari Yayasan yang telah berakhir status badan hukumnya harus diberitahukan kepada Menteri untuk dihapus dari Daftar Yayasan oleh likuidator, kurator, atau Pengurus Yayasan.

Pasal 3
(1) Kata "Yayasan" hanya dapat dipakai oleh:
a. Yayasan yang diakui sebagai badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang; dan
b. Yayasan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang.
(2) Kata "Yayasan" sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan di depan Nama Yayasan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, kata "wakaf" dapat ditambahkan setelah kata "Yayasan".
(4) Kata "wakaf" tidak dapat ditambahkan setelah kata "Yayasan" jika Yayasan bukan sebagai Nazhir.

Pasal 4
(1) Pemakaian Nama Yayasan ditolak jika:
a. sama dengan Nama Yayasan lain yang telah terdaftar lebih dahulu dalam Daftar Yayasan; atau
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
(2) Ketentuan mengenai alasan penolakan pemakaian Nama Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang yang memberitahukan kepada Menteri mengenai penyesuaian Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal pemakaian Nama Yayasan ditolak berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Yayasan dapat mengajukan pemakaian nama lain.

Pasal 5
(1) Nama Yayasan dicatat dalam Daftar Yayasan apabila:
a. akta pendirian Yayasan telah disahkan oleh Menteri;
b. Anggaran Dasar Yayasan telah disesuaikan dengan Undang-Undang dan penyesuaian tersebut telah diberitahukan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang; atau
c. akta perubahan Anggaran Dasar yang memuat perubahan Nama Yayasan telah disetujui oleh Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Daftar Yayasan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB III
KEKAYAAN AWAL YAYASAN

Pasal 6
(1) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 7
Pemisahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan Yayasan.

BAB IV
PENDIRIAN YAYASAN BERDASARKAN SURAT WASIAT

Pasal 8
Pendirian Yayasan berdasarkan surat wasiat harus dilakukan dengan surat wasiat terbuka.

Pasal 9
Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan sebagai berikut:
a. pendirian Yayasan langsung dimuat dalam surat wasiat yang bersangkutan dengan mencantumkan ketentuan Anggaran Dasar Yayasan yang akan didirikan; atau
b. pendirian Yayasan dilaksanakan oleh pelaksana wasiat sebagaimana diperintahkan dalam surat wasiat oleh pemberi wasiat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini.

BAB V
SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN YAYASAN OLEH ORANG ASING

Pasal 10
(1) Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia dapat mendirikan Yayasan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia selain berlaku Peraturan Pemerintah ini berlaku juga ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

Pasal 11
(1) Yayasan yang didirikan oleh orang perseorangan asing harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a. identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang sah;
b. pemisahan sebagian harta kekayaan pribadi pendiri yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang dibuktikan dengan surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan
c. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan Yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
(2) Yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a. identitas badan hukum asing pendiri Yayasan yang dibuktikan dengan keabsahan badan hukum pendiri Yayasan tersebut;
b. pemisahan sebagian harta kekayaan pendiri yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang dibuktikan dengan surat pernyataan pengurus badan hukum pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan
c. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang bersangkutan bahwa kegiatan Yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Pasal 12
(1) Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, salah satu anggota Pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara wajib dijabat oleh warga negara Indonesia.
(2) Anggota Pengurus Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia wajib bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan asing harus pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(4) Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan asing yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), karena hukum berhenti dari jabatannya.
(5) Dalam hal terjadi kekosongan anggota Pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal terjadinya lowongan jabatan tersebut harus sudah diangkat penggantinya.

Pasal 13
(1) Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(2) Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang berkewarganegaraan asing yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum harus meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 14
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat korps diplomatik beserta keluarganya yang ditempatkan di Indonesia.

BAB VI
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERSETUJUAN AKTA
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN

Pasal 15
(1) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan untuk memperoleh status badan hukum Yayasan diajukan kepada Menteri oleh pendiri atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta pendirian Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
a. salinan akta pendirian Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
c. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
d. bukti penyetoran atau keterangan bank atas Nama Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
e. surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan kekayaan awal tersebut;
f. bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.
(3) Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan untuk memperoleh status badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.

Pasal 16
(1) Permohonan persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan mengenai nama dan kegiatan Yayasan diajukan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris; dan
c. bukti penyetoran biaya persetujuan perubahan Anggaran Dasar dan pengumumannya.

Pasal 17
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, mulai berlaku sejak tanggal persetujuan Menteri.

BAB VII
TATA CARA PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
DAN PERUBAHAN DATA YAYASAN

Pasal 18
(1) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan selain perubahan nama dan kegiatan Yayasan disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan untuk dicatat dalam Daftar Yayasan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
c. bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar dan pengumumannya.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Yayasan yang:
a. mengubah tempat kedudukan harus melampirkan surat pernyataan tempat kedudukan Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
b. memperoleh bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun buku atau mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih harus melampirkan pengumuman surat kabar yang memuat ikhtisar laporan tahunan dan tembusan hasil audit laporan tahunan.

Pasal 19
(1) Pemberitahuan perubahan data Yayasan disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya dengan melampirkan dokumen yang memuat perubahan tersebut.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal perubahan data dicatat dalam Daftar Yayasan.

BAB VIII
SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN NEGARA KEPADA YAYASAN

Pasal 20
(1) Bantuan negara adalah bantuan dari negara kepada Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(2) Bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 21
(1) Bantuan negara hanya dapat diberikan kepada Yayasan jika Yayasan memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Bantuan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan alokasi dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat dalam bentuk:
a. uang; dan/atau
b. jasa dan/atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan dengan cara hibah atau dengan cara lain.
(3) Pelaksanaan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22
(1) Bantuan negara kepada Yayasan dapat diberikan tanpa adanya permohonan atau atas dasar permohonan dari Yayasan.
(2) Bantuan negara kepada Yayasan yang diberikan tanpa adanya permohonan dari Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Bantuan negara yang diberikan kepada Yayasan atas dasar permohonan, diajukan secara tertulis oleh Pengurus Yayasan kepada:
a. menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan Yayasan; atau
b. gubernur, bupati, atau walikota di tempat kedudukan Yayasan dan/atau di tempat Yayasan melakukan kegiatannya.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dokumen:
a. fotokopi Keputusan Menteri mengenai status badan hukum Yayasan;
b. fotokopi Keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, surat penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, dan/atau surat penerimaan pemberitahuan perubahan data Yayasan, jika ada;
c. fotokopi Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat Anggaran Dasar Yayasan;
d. keterangan mengenai nama lengkap dan alamat Pengurus Yayasan;
e. fotokopi laporan keuangan Yayasan selama 2 (dua) tahun terakhir secara berturut-turut sesuai dengan Undang-Undang;
f. keterangan mengenai program kerja Yayasan yang sedang dan akan dilaksanakan; dan
g. pernyataan tertulis dari instansi teknis yang berwenang di bidang kegiatan Yayasan.
(5) Menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota meneliti kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan mencari fakta atau keterangan tentang keadaan Yayasan yang bersangkutan dari pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
(6) Selain fakta atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), masyarakat dapat pula menyampaikan data atau keterangan secara tertulis kepada menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota mengenai Yayasan yang akan menerima bantuan negara dengan cara mengemukakan fakta yang diketahuinya.

Pasal 23
Menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota dilarang memberikan bantuan negara kepada Yayasan jika bantuan tersebut akan memberikan keuntungan kepada:
a. perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung dimiliki atau dikendalikan oleh Pembina, Pengurus, Pengawas, atau pelaksana harian Yayasan; atau
b. orang atau badan usaha mitra kerja Yayasan atau pihak lain yang menerima penyertaan dari Yayasan.

Pasal 24
(1) Yayasan yang menerima bantuan negara wajib membuat dan menyampaikan laporan tahunan Yayasan setiap 1 (satu) tahun sekali kepada menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota yang memberikan bantuan tersebut.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi laporan kegiatan dan laporan keuangan.

Pasal 25
(1) Bantuan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat digunakan oleh Yayasan sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar dan sesuai dengan program kerja Yayasan.
(2) Penggunaan bantuan negara yang telah diterima oleh Yayasan tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab anggota Pengurus Yayasan secara tanggung renteng.
(3) Bantuan negara yang diterima oleh Yayasan dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, atau pihak lain.
(4) Tanggung jawab perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapus tanggung jawab pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
SYARAT DAN TATA CARA YAYASAN ASING MELAKUKAN KEGIATAN
DI INDONESIA

Pasal 26
(1) Yayasan asing dapat melakukan kegiatan di Indonesia hanya di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
(2) Yayasan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melakukan kegiatannya di Indonesia harus bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan asing tersebut.
(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus aman dari aspek politis, yuridis, teknis, dan sekuriti.
(4) Kemitraan antara yayasan asing dan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X
TATA CARA PENGGABUNGAN YAYASAN

Pasal 27
(1) Penggabungan Yayasan dilakukan dengan cara penyusunan usul rencana Penggabungan oleh Pengurus masing-masing Yayasan.
(2) Usul rencana Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. keterangan mengenai Nama Yayasan dan tempat kedudukan Yayasan yang akan melakukan Penggabungan;
b. penjelasan dari masing-masing Yayasan mengenai alasan dilakukannya Penggabungan;
c. ikhtisar laporan keuangan Yayasan yang akan melakukan Penggabungan;
d. keterangan mengenai kegiatan utama Yayasan dan perubahan selama tahun buku yang sedang berjalan;
e. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan;
f. cara penyelesaian status pelaksana harian, pelaksana kegiatan, dan karyawan Yayasan yang akan menggabungkan diri;
g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
h. keterangan mengenai nama anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; dan
i. rancangan perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang menerima Penggabungan, jika ada.

Pasal 28
(1) Rencana Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 merupakan bahan penyusunan rancangan akta Penggabungan oleh Pengurus Yayasan yang akan melakukan Penggabungan.
(2) Rancangan akta Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Pembina masing-masing Yayasan.
(3) Rancangan akta Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam akta Penggabungan yang dibuat di hadapan notaris, dalam bahasa Indonesia.

Pasal 29
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan tidak diikuti dengan perubahan Anggaran Dasar maka Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan wajib menyampaikan akta Penggabungan kepada Menteri.
(2) Penggabungan mulai berlaku terhitung sejak tanggal penandatanganan akta Penggabungan atau tanggal yang ditentukan dalam akta Penggabungan.
(3) Tanggal yang ditentukan dalam akta Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih akhir dari tanggal akta Penggabungan.

Pasal 30
Dalam hal Penggabungan Yayasan diikuti dengan perubahan Anggaran Dasar, akta perubahan Anggaran Dasar disusun oleh Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan dan harus mendapat persetujuan dari Pembina yang menerima Penggabungan.

Pasal 31
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan diikuti dengan perubahan Anggaran Dasar yang tidak memerlukan persetujuan Menteri, Pengurus Yayasan wajib memberitahukan perubahan Anggaran Dasar kepada Menteri dengan dilampiri salinan akta perubahan Anggaran Dasar dan salinan akta Penggabungan.
(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar diterima Menteri atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan.

Pasal 32
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan disertai perubahan Anggaran Dasar yang mencakup ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang, Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan wajib menyampaikan akta perubahan Anggaran Dasar kepada Menteri untuk mendapat persetujuan, dengan dilampiri salinan akta perubahan Anggaran Dasar dan salinan akta Penggabungan.
(2) Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal perubahan Anggaran Dasar disetujui oleh Menteri atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri.

Pasal 33
Hasil Penggabungan Yayasan wajib diumumkan oleh Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia, paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Penggabungan berlaku.

BAB XI
B I A Y A

Pasal 34
Biaya pembuatan akta pendirian dan/atau akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan ditetapkan berdasarkan nilai ekonomis dan sosiologis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris.

Pasal 35
Biaya pengesahan akta pendirian, biaya persetujuan perubahan Anggaran Dasar, biaya penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar, dan pengumumannya dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 36
(1) Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang dan tidak diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang, harus mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Akta pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam premise aktanya disebutkan asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan.
(3) Perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi anggota organ Yayasan secara tanggung renteng.

Pasal 37
(1) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang diakui sebagai badan hukum menurut ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang dilakukan oleh organ Yayasan sesuai dengan Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan.
(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan:
a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian yang dibuktikan dengan:
1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan; atau
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan yang laporan tahunannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang;
b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat penyesuaian.
(3) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
(4) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri:
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
d. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
e. neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian;
f. pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang; dan
g. bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.

Pasal 38
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 mulai berlaku sejak tanggal dicatatnya perubahan Anggaran Dasar tersebut dalam Daftar Yayasan.

Pasal 39
Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata "Yayasan" di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.

Pasal 40
(1) Yayasan asing yang telah melakukan kegiatan di Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.
(2) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dapat dihentikan kegiatannya oleh instansi yang berwenang atau kejaksaan untuk kepentingan umum.

Pasal 41
Yayasan yang kekayaannya berasal dari bantuan negara yang diberikan sebagai hibah, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat yang diterima sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku menjadi kekayaan Yayasan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 134.



PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2008
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN

I. UMUM

Keberadaan Yayasan dalam masyarakat untuk mencapai berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan telah berkembang pesat dan makin beragam coraknya. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai kegiatan, maksud, dan tujuannya, telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut bahwa beberapa ketentuan perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan tersebut sebagaimana dimaksud dalam:
1. Pasal 9 ayat (4) mengenai biaya pembuatan akta notaris pendirian Yayasan.
2. Pasal 9 ayat (5) mengenai pendirian Yayasan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing serta mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan.
3. Pasal 14 ayat (4) mengenai jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri Yayasan.
4. Pasal 15 ayat (4) mengenai pemakaian nama Yayasan.
5. Pasal 27 ayat (2) mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan Negara kepada Yayasan.
6. Pasal 61 mengenai tata cara penggabungan Yayasan.
7. Pasal 69 ayat (2) mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing melakukan kegiatan di Indonesia.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas maka penyusunan pengaturan pelaksanaannya diatur dalam satu Peraturan Pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan. Hal tersebut dimaksudkan, agar Peraturan Pemerintah ini dengan mudah dipahami oleh masyarakat khususnya pengguna.
Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan, meliputi:
1. Ketentuan Umum;
2. Pemakaian Nama Yayasan;
3. Kekayaan Awal Yayasan;
4. Pendirian Yayasan Berdasarkan Surat Wasiat;
5. Syarat dan Tata Cara Pendirian Yayasan oleh Orang Asing;
6. Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
7. Tata Cara Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Yayasan;
8. Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Negara Kepada Yayasan;
9. Syarat dan Tata Cara Yayasan Asing Melakukan Kegiatan di Indonesia;
10. Tata Cara Penggabungan Yayasan;
11. Biaya;
12. Ketentuan Peralihan; dan
13. Ketentuan Penutup.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "nama diri" adalah nama dari Yayasan yang bersangkutan.
Contoh nama Yayasan, antara lain: Yayasan Jhonson and Jhonson, Yayasan Al-Muttaqin, Yayasan Matahari, dan Yayasan Rumah Abu Oei.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yayasan yang telah selesai likuidasinya, diberitahukan kepada Menteri oleh likuidator.
Yayasan yang dinyatakan pailit dan telah selesai likuidasinya, diberitahukan kepada Menteri oleh kurator.
Yayasan yang menggabungkan diri, pembubarannya diberitahukan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "sama", adalah sama dalam pengucapan atau tulisan. Dalam hal demikian maka nama tersebut dapat ditambah dengan nama desa, dan/atau nama kabupaten/kota atau ditambah nama lain sebagai ciri pembeda dengan nama yang sama dengan nama Yayasan tersebut, misalnya, "Yayasan Diponegoro Semarang" berbeda dengan "Yayasan Diponegoro Buba’an Semarang".
Huruf b
Contoh:
- Nama Yayasan yang bertentangan dengan ketertiban umum, misalnya Yayasan Togel.
- Nama Yayasan yang bertentangan dengan kesusilaan, misalnya Yayasan Pekerja Seks Komersial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Yayasan" pada ayat ini termasuk Yayasan yang oleh ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang tidak diakui sebagai badan hukum.
Yang dimaksud dengan "nama lain" adalah nama yang berbeda dengan nama semula atau dengan menambahkan nama desa/kelurahan, kecamatan, atau kata lainnya pada Nama Yayasan yang ditolak tersebut sehingga tampak perbedaannya.

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "senilai" adalah apabila harta kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah, nilai harta kekayaan tersebut sama dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "senilai" adalah apabila harta kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah, nilai harta kekayaan tersebut sama dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 7
Yang dimaksud dengan "keabsahan harta kekayaan" adalah harta kekayaan yang diperoleh tidak dengan cara melawan hukum, misalnya, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang.

Pasal 8
Yang dimaksud dengan "surat wasiat terbuka" adalah surat wasiat yang dibuat di hadapan notaris sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan lain", misalnya, peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian atau ketenagakerjaan.

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "izin melakukan kegiatan atau usaha", misalnya:
- izin kerja;
- izin melakukan penelitian;
- izin belajar;
- izin melakukan kegiatan keagamaan;
- izin usaha sesuai dengan Undang-Undang tentang Penanaman Modal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Yang dimaksud dengan "keluarganya" adalah suami atau istri beserta anaknya.

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perubahan data Yayasan" adalah perubahan yang bukan merupakan perubahan Anggaran Dasar.
Contoh:
- Perubahan nama Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan.
- Perubahan alamat lengkap Yayasan yang diberitahukan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
- Yang dimaksud dengan "bantuan negara dalam bentuk jasa", antara lain, berupa pelatihan, beasiswa atau pemberian bantuan konsultasi yang dinilai dengan uang.
- Yang dimaksud dengan "bantuan negara dalam bentuk lain" dapat berupa tanah, gedung, atau aset lain yang dimiliki negara dan/atau daerah termasuk fasilitas yang diberikan oleh negara dan/atau daerah.
- Yang dimaksud dengan "cara lain", antara lain sewa.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan atau badan hukum.

Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) tahun sekali" adalah pada akhir tahun buku selama pemberian bantuan atau penggunaan bantuan berlangsung.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Kegiatan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "aspek politis" adalah kegiatan yayasan harus sesuai dengan politik luar negeri dalam bingkai dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Yang dimaksud dengan "aspek yuridis" adalah kegiatan yayasan asing tidak bertentangan dengan semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan "aspek teknis" adalah kegiatan yayasan tesebut dapat terlaksana dengan baik di lapangan.
Yang dimaksud dengan "aspek sekuriti" adalah kegiatan yayasan tidak ditujukan untuk kegiatan intelejen asing yang dapat merugikan keamanan bangsa dan negara.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan" adalah Anggaran Dasar Yayasan yang diakui sebagai badan hukum dan belum disesuaikan dengan Undang-Undang.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "seluruh kekayaan Yayasan" adalah baik berupa kekayaan awal Yayasan maupun kekayaan yang diperoleh setelah Yayasan didirikan sebagaimana tercantum dalam laporan keuangan Yayasan pada saat penyesuaian, sehingga pada saat penyesuaian dapat terjadi nilai seluruh kekayaan Yayasan kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Yang dimaksud dengan "ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang" adalah pemberitahuannya 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian, dengan batas akhir penyesuaiannya 6 Oktober 2008.

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" adalah baik instansi yang memberikan izin untuk melakukan kegiatan di Indonesia maupun instansi yang memberikan izin orang asing masuk ke Indonesia.

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4894.

http://legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm

Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan

Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan

Email: admin@legalitas.org

Selasa, 25 November 2008

DPR Minta Pemerintah Terbitkan Kebijakan Blanket Guarantee

DPR Minta Pemerintah Terbitkan Kebijakan Blanket Guarantee
Krisis Finansial Global 
[25/11/08]

Blanket guarantee diyakini tidak hanya mampu mencegah uang nasabah ke luar negeri, tetapi juga menarik kembali uang yang sudah terlanjur “diparkir” di bank luar. 

Krisis finansial global terus menggerogoti perekonomian Indonesia. Beberapa sektor industri nasional mulai tampak kewalahan menghadang dampak krisis. Meskipun sejumlah kebijakan pemulihan telah diterbitkan pemerintah, namun tetap saja tidak membawa perubahan yang cukup signifikan. Kondisi ini menjadi isu sentral pidato Ketua DPR dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang II Tahun 2008-2009, Senin (24/11).

Dalam pidatonya, Agung mengidentifikasi sejumlah ekses dari krisis finansial global. Sektor industri padat karya, misalnya, lumpuh karena hasil poduksinya tidak dapat dipasarkan. Di bidang properti, para pengusaha mulai mengalami kesulitan karena tingginya bunga bank. Sementara, masyarakat menengah ke bawah sulit memperoleh kredit perumahan.

Agung memprediksi 2009 akan menjadi tahun yang kritis bagi perekonomian Indonesia. Untuk itu, Agung menyatakan DPR menyambut positif himbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Indonesia bertumpu kepada kekuatan sendiri. “Bagi Dewan, semua langkah tersebut dapat berdampak positif apabila berbagai program dapat berjalan dengan baik dengan dukungan semua pihak termasuk dunia usaha, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Khusus untuk sektor perbankan, Agung menghimbau agar pemerintah melalui Bank Indonesia mengambil langkah-langkah berani dalam rangka menjamin dana nasabah. Salah satunya blanket guarantee atau sistem jaminan penuh. Dengan sistem ini, maka akan tercipta rasa aman bagi nasabah. Solusi ini, menurut Agung, telah terbukti ampuh diterapkan oleh –negara-negara tetangga Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia.

Blanket guarantee diyakini Agung tidak hanya mampu mencegah uang nasabah ke luar negeri, tetapi juga menarik kembali uang yang sudah terlanjur “diparkir” di bank luar. “Dengan kebijakan blanket guarantee, maka dana yang diparkir di luar negeri dapat kembali ke Indonesia,” kata politisi dari Partai Golkar ini.

Bank Indover

Pembekuan operasi Bank Indover oleh Bank Sentral Belanda (DNB) pada awal Oktober 2008 menjadi sorotan tersendiri bagi pengusaha di Indonesia. Karena, bank ini mengalami kesulitan likuiditas akibat penurunan secara drastis money market line, sebagai dampak gejolak pasar keuangan global.

Menanggapi permasalahan tersebut, Agung berpendapat DPR pada dasarnya tidak keberatan jika Bank Indonesia selaku pemegang saham Indover mengambil langkah-langkah antisipatif, selama itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga sistem keuangan nasional dan menghindari potensi ancaman sistemik terhadap stabilitas perbankan dan perekonomian nasional, untuk itu permasalahan Bank Indover harus dibahas secara mendalam di DPR,” katanya.

Permintaan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk dapat dilakukannya tindakan hukum yang tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam permasalah Indover ini, disambut baik oleh DPR. Agung justru memandang perlu diadakan investigasi agar masalah Bank Indover tidak mengganggu perekonomian nasional.

“Sebenarnya Bank Indonesia tidak boleh memiliki badan usaha, DPR memahami keputusan Bank Indonesia untuk tidak menyelamatkan Bank Indover, agar BI tidak menanggung resiko hukum di kemudian hari, sebagaimana kasus BLBI yang belum tuntas,” pungkasnya.

(Fat)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20565&cl=Berita

BESARAN NILAI SIMPANAN YANG DIJAMIN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 66 TAHUN 2008
TENTANG
BESARAN NILAI SIMPANAN YANG DIJAMIN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan telah terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan, dipandang perlu untuk menaikkan besaran nilai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
b. ebahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4902);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BESARAN NILAI SIMPANAN YANG DIJAMIN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN.

Pasal 1
Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank yang semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan ditetapkan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diubah menjadi paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 2
Ketentuan mengenai nilai simpanan yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku untuk simpanan nasabah bank yang dicabut izin usahanya sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.

Pasal 3
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 144.




PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 66 TAHUN 2008
TENTANG
BESARAN NILAI SIMPANAN YANG DIJAMIN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

I. UMUM

Adanya ancaman krisis keuangan global yang dapat mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diantisipasi agar tidak terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran. Untuk itu, besaran nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan perlu dinaikkan sehingga meningkatkan rasa aman masyarakat terhadap simpanannya di perbankan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai perubahan besaran nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan untuk mengantisipasi dampak dari krisis keuangan global.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4903.
http://legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp66-2008.htm

PUTUSAN PILKADA CIREBON. MK NYATAKAN PERMOHONAN DITOLAK


Senin , 24 Nopember 2008 16:34:03 

PUTUSAN PILKADA CIREBON. MK NYATAKAN PERMOHONAN DITOLAK 


Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, permohonan Djakaria Machmud dan Arief Natadiningrat, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Cirebon Periode 2008-2013 dengan nomor urut 3, ditolak untuk seluruhnya. Hal tersebut disampaikan MK dalam sidang pengucapan putusan perkara 30/PHPU.D-VI/2008, Senin (24/11), di Ruang Sidang MK.

KPU Kabupaten Cirebon telah menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara masing-masing pasangan, yakni pasangan nomor urut 1 Sunjaya Poerwadi S. dan K. Abdul Hayyi, sejumlah 102.669 suara, pasangan nomor urut 2 Dedi Supardi dan H. Ason Sukasa sejumlah 477.143 suara dan pasangan nomor urut 3 Djakaria Machmud, dan Arief Natadiningrat sejumlah 365.554 suara. Akan tetapi, Pemohon menyatakan, penghitungan tersebut tidak benar, salah satu akibatnya, karena banyak pendukung Pemohon yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak mendapat kartu pemilih dan/atau tidak dicantumkan dalam Daftar Pemilih Tetap, sehingga keseluruhan pendukung Pemohon yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya menggembos sejumlah 114.230 suara. 

Selain itu, Pemohon berpendapat, telah terjadi kesalahan penghitungan suara, intimidasi, tindak kekerasan, politik uang (money politic), pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, serta adanya orang-orang yang tidak berhak melakukan pencoblosan ternyata mencoblos pada pemungutan suara tanggal 26 Oktober 2008.

Menjawab hal tersebut, menurut MK, ternyata tidak terdapat bukti-bukti dari Pemohon yang cukup meyakinkan sebagaimana yang ditentukan undang-undang, terutama karena ternyata tidak ada saksi-saksi Pemohon sebagai peserta Pemilukada yang menyaksikan penyelenggaraan penghitungan suara di setiap TPS.

”Ketiadaan saksi-saksi dan catatan-catatan, baik pada KPPS, PPK, mapun pada KPU Kabupaten Cirebon untuk segera menyampaikan keberatan atas adanya kesalahan penghitungan atau kecurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, dan Pasal 105 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pemerintahan Daerah memberi makna bahwa Pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalil keberatannya,” ucap Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.

Lebih lanjut, MK menyatakan seandainya pun ada kecurangan, penggembosan, tindak kekerasan, kesalahan administrasi, intimidasi, dan politik uang (money politic) yang dilakukan pihak-pihak tertentu termasuk sesama pasangan calon bupati dan wakil bupati lain, maupun oleh pihak penyelenggara Pemilukada di Kabupaten Cirebon, Pemohon dapat melaporkan kepada Panwaslu Kabupaten Cirebon sesuai kewenangan Panwaslu kabupaten/kota, sedangkan pelanggaran yang berunsur pidana diteruskan kepada Kepolisian dan yang bersifat administratif diteruskan kepada KPU. 

“Karena dalil-dalil Pemohon tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan, maka permohonan Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK, Moh. Mahfud MD. (Luthfi Widagdo Eddyono)

Foto: Dok. Humas MK/Ardli N

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2012