Majelis hakim menilai pokok permasalahan gugatan adalah wanprestasi bukan lisensi merek. Sinde Budi Sentosa menggugat balik Wen Ken di Pengadilan Negeri Bekasi.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20586&cl=Berita
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20586&cl=Berita
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2027
Berawal dari tidak lagi menjabat sebagai Direktur Eksekutif, seorang aktivis perempuan ‘terdepak’ dari kantornya. Lepas jabatan berarti lepas status ketenagakerjaan?
Jika dicermati, ada pemandangan tak biasa di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta beberapa pekan ini. Seorang aktivis perempuan terlihat wara-wiri di sana. Orang itu adalah Adriana Venny. Bagi pemerhati isu perempuan, nama Venny –demikian ia disapa- tidak asing di telinga. Selain itu, ia juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, sebuah LSM yang bergerak di bidang publikasi jurnal, buku dan informasi seputar kesetaraan gender.
Namun kedatangan Venny di PHI Jakarta tidak sedang memberikan materi pelatihan tentang keseteraan gender bagi warga pengadilan. Kehadiran Venny tak lain sebagai pihak yang bersengketa. Ia bertindak sebagai penggugat. Pihak yang digugat tak lain adalah Yayasan Jurnal Perempuan.
Perselisihan Venny dengan Yayasan Jurnal Perempuan mencuat sejak Agustus 2007. Pada satu kesempatan rapat, pendiri Yayasan mengutarakan niatnya untuk pergantian manajemen. Salah satu posisi yang ikut dirombak adalah Direktur Eksekutif. “Sesuai SK Pengangkatan, seharusnya masa jabatan saya sebagai Direktur Eksekutif baru berakhir pada Juni 2009,” kata Venny, Selasa (25/11).
Venny lantas menanggapi dingin rencana pendiri Yayasan. “Saya tidak mau berkonflik. Jadi saya hanya diam saja. Tidak mengiyakan atau menolak rencana itu.”
Keputusan pendiri untuk merombak manajemen sudah bulat. Pada pertengahan Januari 2008, pendiri kembali mengadakan pertemuan dengan Venny dan beberapa staf manajemen. Dalam kesempatan itu, pendiri menjanjikan posisi baru bagi Venny. “Waktu itu, katanya saya akan diangkat sebagai Board of Director (BoD). Tugasnya seperti komisaris yang mengawasi kerja Direktur Eksekutif,” ungkap Venny.
Sehari setelah pertemuan itu, tepatnya pada 16 Januari 2008, pendiri Yayasan melantik Mariana Amiruddin sebagai Direktur Eksekutif yang baru dengan periode kepengurusan 2008-2011.
Hari setelah pelantikan Mariana, menjadi hari yang berat bagi Venny. Ia menunggu janji pendiri yang akan mengangkatnya sebagai BoD. Ia mencoba menagihnya dengan menghubungi pendiri lewat email mapun pesan pendek melalui telepon. Hasilnya tetap nihil.
Alih-alih menunggu jabatan baru, Venny malah dilarang masuk kantor. Melalui surat peringatan tertanggal 14 Februari 2008, manejemen menilai Venny menyebarkan informasi bohong dan merugikan nama baik seorang manager program. Ia pun dilarang masuk kantor hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Kontan Venny meradang. Ia lantas berkirim surat meminta klarifikasi dari manajemen. Karena tak berbalas, Venny lalu mencatatkan perselisihan ini ke Sudinakertrans Jakarta Selatan. Mediator instansi ini mengeluarkan anjuran yang meminta agar Yayasan mempekerjakan kembali Venny dalam jabatan semula.
Masih tak menggubris anjuran mediator, Venny menggulirkan perselisihan ke PHI pada September 2008. Dalam gugatannya, ia menuntut agar PHI menyatakan putusnya hubungan kerja Venny dengan Yayasan. Tentunya dengan pembayaran kompensasi pesangon dan upah selama proses.
Gara-gara 'berulah'
N. Farid Adhikoro, kuasa hukum Yayasan membantah semua tuduhan Venny. Menurutnya, Venny secara sadar dan tanpa tekanan mengundurkan diri dari jabatannya.
Lebih jauh Farid menyebutkan Venny salah alamat mengajukan gugatan ke PHI. Awal masalah perkara ini, kata Farid, adalah tak kunjung diangkatnya Venny sebagai BoD sesuai janji pendiri Yayasan. “Kalau mau dipermasalahkan, ini wanprestasi.”
Mengenai pelarangan Venny ke kantor, Yayasan mempunyai alasan sendiri. Seperti dikatakan Farid, tindakan penyebaran informasi bohong oleh Venny menyebabkan suasana kantor menjadi tidak nyaman. Penuh kecurigaan dan menimbulkan perpecahan sesama staf.
Sebelum surat pelarangan terbit, masih menurut Farid, pada awal Februari sebenarnya Yayasan sudah mengeluarkan surat yang mengangkat Venny sebagai tenaga ahli. Hal ini langsung dibantah Venny. “Sampai saya dilarang masuk kantor, saya tidak pernah menerima surat itu.”
'Jenjang Karir' di LSM
Pada bagian lain, Farid menyebutkan masalah ‘jenjang karir’ sebagai salah satu masalah dalam perkara ini. Menurutnya, sudah menjadi ‘kebiasaan’ di tiap LSM dimana mantan Direktur Eksekutif pada akhirnya mengundurkan diri dari LSM itu. Tak jarang mantan direktur itu kemudian membentuk LSM baru.
Ketua Pusat Kajian Hukum Ketenagakerjaan Universitas Pasundan, Bandung, Wirawan angkat bicara. Awalnya ia menerangkan bahwa secara normatif, LSM yang memiliki pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain dapat dikategorikan sebagai perusahaan. “Itu disebut dalam Pasal 1 angka 6 huruf (d) UU Ketenagakerjaan,” jelas Wirawan lewat gagang telepon, Rabu (26/11).
Karena tunduk dengan UU Ketenagakerjaan, lanjut Wirawan, semua aturan main yang berlaku di LSM juga harus tunduk dengan UU Ketenagakerjaan. Mengenai mundurnya seorang Direktur Eksekutif dari jabatan, menurutnya tidak lantas menghilangkan status ‘kepegawaian’ seorang pekerja LSM.
Sekedar informasi, Venny meniti karir sebagai staf redaksi di Yayasan Jurnal Perempuan sejak 1999. Beberapa tahun setelah itu, ia diangkat menjadi pekerja tetap sebelum akhirnya dipercaya sebagai Direktur Eksekutif pada 2004.
Lebih lanjut Wirawan berpendapat, LSM tidak bisa seenaknya ‘mendepak’ mantan direkturnya. Jika mau diberhentikan, LSM harus membayar kompensasi PHK. “Beda hal kalau si mantan direktur yang mengundurkan diri.”
Nah, dalam perkara ini Farid juga menuding Venny melakukan hal yang sama. “Pertengahan Januari dia mundur dari Direktur Eksekutif, pertengahan Februari dia dilarang masuk kantor, kemudian pertengahan Maret 2008 dia mendirikan LSM baru yang juga concern dengan isu perempuan,” tuturnya. Bagi Farid, Venny secara sukarela sudah mengundurkan diri dari Yayasan.
Mengenai hal ini Venny kembali menyanggah. “Saya tidak pernah mengundurkan diri. Kalau dibilang saya beraktifitas di LSM lain itu tidak benar. Saya memang tercatat menjadi Dewan Penasihat suatu LSM. Tapi itu tidak digaji. Malah saya yang mengeluarkan uang.”
(IHW)
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20582&cl=Berita
Komposisi wakil pemerintah yang mencapai 50% dikhawatirkan akan mengganggu independensi KI secara kelembagaan. Pansel bantah ada pesanan.
Jika sebelumnya Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi Pusat (Pansel) mengeluhkan minimnya jumlah serta kualitas pendaftar, kalangan LSM justru mempersoalkan komposisi. Koalisi LSM Kebebasan Memperoleh Informasi mencium gelagat pemerintah yang hendak “mematok” porsi 50% wakil pemerintah dalam formasi Komisi Informasi Pusat (KI).
“Upaya pemerintah "memesan" 50 % wakilnya jelas merupakan wujud intervensi kepada Pansel, sekaligus merusak obyektifitas seluruh instrumen seleksi, mulai tahap administrasi hingga fit and proper test,” ujar anggota Koalisi dari ICW Agus Sunaryanto.
Agus menyadari pangkal masalahnya memang terletak di UU Kebebasan Informasi Publik. Pasal 25 ayat (1) menyatakan formasi anggota KI berjumlah tujuh orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan masyarakat. Sayang, pasal tersebut tidak memperinci berapa proporsi antar wakil pemerintah dan masyarakat yang dimaksud. Namun begitu, Agus berpendapat proporsi keterwakilan tetap harus ditentukan melalui proses seleksi yang kompetitif, obyektif, transparan dan akuntabel.
Indikasi yang muncul justru sebaliknya. Pemerintah mengisyaratkan berniat menguasai setengah dari formasi KI. Kondisi ini, menurut Agus, bisa menyulitkan upaya mencari sosok calon anggota KI yang ideal. Padahal, untuk memperjuangkan kepentingan publik dalam memperoleh informasi, dibutuhkan anggota KI yang memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi. Selain itu, 50% wakil pemerintah dikhawatirkan juga mengganggu independensi KI secara kelembagaan.
”Waspadai upaya pembajakan oleh Partai Politik maupun kelompok kepentingan lain yang tidak memiliki kompentensi dalam memperjuangkan akses publik terhadap informasi,” papar Agus ketika membacakan himbauan Koalisi terhadap Pansel.
Anggota Koalisi dari Imparsial Rusdi Marpaung mempersoalkan proses di Pansel yang dinilai tidak memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Sejauh ini, Rusdi melihat akses publik terhadap informasi para calon anggota KI sangat minim. Pengumuman 243 calon yang telah lolos seleksi administrasi 14 November 2008 lalu pun hanya menampilkan nama calon.
Kondisi ini, menurut Rusdi, bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UU KIP yang memberi ruang bagi masyarakat untuk mengajukan pendapat dan penilaian. Ayat yang sama bahkan menegaskan bahwa pengumuman harus disertai dengan alasan kenapa calon tersebut lolos seleksi. Anehnya, Pansel justru “berkreasi” membuka pintu masukan masyarakat ketika calon tersisa 63 orang.
Sesuai tahapan yang ditetapkan, setelah seleksi administrasi, Pansel selanjutnya akan menjaring 63 orang. Kemudian melalui ujian pembuatan karya ilmiah dan wawancara akan tersaring 21 orang nama yang selanjutnya akan diserahkan ke DPR untuk mengikuti fit and proper test di DPR.
“Seharusnya, Sekretariat Kementerian Komunikasi dan Informatika maupun Panitia Seleksi memberikan masyarakat akses informasi (mempublikasikan), minimal biodata para calon yang telah lolos seleksi administrasi,” ujar Rusdi.
Penentuan di DPR
Dikonfirmasi, Ketua Pansel Paulus Wirutomo tegas membantah ada pesanan ataupun campur tangan pemerintah, termasuk dalam hal komposisi. Paulus menyatakan Pansel menjalankan tugas secara independen dan hanya mengacu pada undang-undang. Menurutnya, komposisi wakil pemerintah yang lebih banyak dari masyarakat belum tentu akan memunculkan masalah. Sebaliknya, komposisi wakil masyarakat yang lebih dominan juga tidak menjamin KI lebih independen.
“Komposisi enam masyarakat satu pemerintah juga bukan berarti tidak akan ada masalah,” tukasnya. Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI ini mengatakan Pansel hanya menjalankan seleksi awal, sedangkan babak penentuan justru ada di DPR.
Soal pengumuman yang tidak mencantumkan biodata, Paulus mengemukakan alasan teknis. “Bagaimana mungkin mengumumkan 243 nama plus biodatanya di media, siapa yang mau bayar?” ungkapnya. Kalau akses publik yang dipersoalkan, Paulus mempersilahkan datang ke Pansel bagi siapapun yang ingin melihat data lengkap para calon anggota KI.
Anggota Komisi I DPR Dedy Djamaluddin Malik mengatakan seyogyanya komposisi KI lebih banyak wakil masyarakat. Sebagai perbandingan, Dedy menyebut komposisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga dibidani oleh Komisi I DPR. Komposisi KPI memang didominasi oleh unsur non pemerintahan. "Harusnya 60-40," usulnya. Menurut Dedy, Komisi I berencana meminta keterangan Pansel seputar proses seleksi serta kriteria penilaian, sebelum 21 calon diserahkan ke DPR.
(Rzk/Fat)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20567&cl=Berita
http://legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm
Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan
Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan
Krisis finansial global terus menggerogoti perekonomian Indonesia. Beberapa sektor industri nasional mulai tampak kewalahan menghadang dampak krisis. Meskipun sejumlah kebijakan pemulihan telah diterbitkan pemerintah, namun tetap saja tidak membawa perubahan yang cukup signifikan. Kondisi ini menjadi isu sentral pidato Ketua DPR dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang II Tahun 2008-2009, Senin (24/11).
Dalam pidatonya, Agung mengidentifikasi sejumlah ekses dari krisis finansial global. Sektor industri padat karya, misalnya, lumpuh karena hasil poduksinya tidak dapat dipasarkan. Di bidang properti, para pengusaha mulai mengalami kesulitan karena tingginya bunga bank. Sementara, masyarakat menengah ke bawah sulit memperoleh kredit perumahan.
Agung memprediksi 2009 akan menjadi tahun yang kritis bagi perekonomian Indonesia. Untuk itu, Agung menyatakan DPR menyambut positif himbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Indonesia bertumpu kepada kekuatan sendiri. “Bagi Dewan, semua langkah tersebut dapat berdampak positif apabila berbagai program dapat berjalan dengan baik dengan dukungan semua pihak termasuk dunia usaha, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Khusus untuk sektor perbankan, Agung menghimbau agar pemerintah melalui Bank Indonesia mengambil langkah-langkah berani dalam rangka menjamin dana nasabah. Salah satunya blanket guarantee atau sistem jaminan penuh. Dengan sistem ini, maka akan tercipta rasa aman bagi nasabah. Solusi ini, menurut Agung, telah terbukti ampuh diterapkan oleh –negara-negara tetangga Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia.
Blanket guarantee diyakini Agung tidak hanya mampu mencegah uang nasabah ke luar negeri, tetapi juga menarik kembali uang yang sudah terlanjur “diparkir” di bank luar. “Dengan kebijakan blanket guarantee, maka dana yang diparkir di luar negeri dapat kembali ke Indonesia,” kata politisi dari Partai Golkar ini.
Bank Indover
Pembekuan operasi Bank Indover oleh Bank Sentral Belanda (DNB) pada awal Oktober 2008 menjadi sorotan tersendiri bagi pengusaha di Indonesia. Karena, bank ini mengalami kesulitan likuiditas akibat penurunan secara drastis money market line, sebagai dampak gejolak pasar keuangan global.
Menanggapi permasalahan tersebut, Agung berpendapat DPR pada dasarnya tidak keberatan jika Bank Indonesia selaku pemegang saham Indover mengambil langkah-langkah antisipatif, selama itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga sistem keuangan nasional dan menghindari potensi ancaman sistemik terhadap stabilitas perbankan dan perekonomian nasional, untuk itu permasalahan Bank Indover harus dibahas secara mendalam di DPR,” katanya.
Permintaan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk dapat dilakukannya tindakan hukum yang tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam permasalah Indover ini, disambut baik oleh DPR. Agung justru memandang perlu diadakan investigasi agar masalah Bank Indover tidak mengganggu perekonomian nasional.
“Sebenarnya Bank Indonesia tidak boleh memiliki badan usaha, DPR memahami keputusan Bank Indonesia untuk tidak menyelamatkan Bank Indover, agar BI tidak menanggung resiko hukum di kemudian hari, sebagaimana kasus BLBI yang belum tuntas,” pungkasnya.
Senin , 24 Nopember 2008 16:34:03
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2012