Minggu, 03 Agustus 2008

Undangan Diskusi KEBIJAKAN PUBLIK

Jakarta, 03 Agustus 2008

No : ISTIMEWA

Hal : Undangan

Kepada Yth

Para Aktifis Penggiat Advokasi

Justice For The Poor

Di Tempat

Dengan Hormat;

Bersamaan dengan ini kami mengundang rekan-rekan sekalian dalam diskusi Kebijakan Publik Pusat Advokasi Hukum dan Ham (P A H A M) Jakarta, yang rencananya akan dilaksanakan pada :

Hari : Jumat, 08 Agustus 2008

Pukul : 13.00 s/d selesai

Tema : “RUU Pengadilan Tripikor dalam dilematika”

Pembicara : Bapak Ikhwan (KHN)

Tempat : Sekretariat PAHAM Jakarta

Jl. Potlot III No.19, Duren Tiga, Pancoran

Jakarta Selatan.

Demikianlah undangan ini kami sampaikan besar harapan kami rekan-rekan sekalian dapat hadir dan meluangkan waktunya untuk bersama-sama berdiskusi mencari solusi dalam penegakan hukum di bumi Indonesia.

Hortmat Kami

Div. Kebijakan Publik PAHAM Jakarta

Nb:

Untuk rekan-rekan yang berkenan hadir dapat sesegera mungkin untuk mengkonfirmasi kehadirannya melalaui tlp. 021-79197354 atau e-mail: paham_jakartaers@yahoo.com

Tangkal Politisi Busuk Dengan Rekrutmen Ketat

[1/8/08]

Saat ini dipandang sebagai momen yang tepat untuk mereview sistem rekrutmen politik karena bersamaan dengan pembenahan undang-undang di bidang politik.

Perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 sudah di depan mata. 34 partai politik (parpol) yang telah resmi ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengambil ancang-ancang menyambut pesta demokrasi tersebut. Salah satu yang mulai dipersiapkan adalah individu-individu yang akan dijagokan sebagai calon legislatif (Caleg). Ajang rekrutmen caleg kali ini pastinya akan tidak semudah Pemilu sebelumnya. Pasalnya, masyarakat cenderung apatis terhadap politisi.

Sikap ini tidak terlepas dari ulah para politisi sendiri. Sejumlah politisi khususnya anggota dewan satu per satu berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian anggota dewan lainnya diekspos media massa gara-gara perbuatan tak bermoral. Kondisi inilah yang kemudian mendorong terbentuknya Gerakan Nasional Tidak Pilih Politikus Busuk (Ganti Polbus). Digawangi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Ganti Polbus secara tegas menolak pencalonan kembali politisi yang terlibat skandal publik.

Agar politisi yang maju di Pemilu 2009 lebih berkualitas, Ganti Polbus menyerukan perbaikan pada segi rekrutmen politik. Melalui pernyataan persnya, Ganti Polbus menyatakan elit parpol seharusnya belajar dari kejadian buruk yang menimpa para politisi demi memperbaiki sistem rekrutmen. Tanpa perbaikan rekrutmen politik, menurut Ganti Polbus, lembaga wakil rakyat akan semakin tidak efektif, terpuruk dan menjadi sarang skandal kejahatan publik.

Menyambut Pemilu 2009, Ganti Polbus mendesak parpol segera mengevaluasi secara serius kader-kadernya yang saat ini berkiprah di parlemen. Sekarang dipandang sebagai momen yang tepat untuk mereview sistem rekrutmen politik karena bersamaan dengan pembenahan undang-undang di bidang politik. “Maka dari itu, parpol harus melaksanakan rekrutmen yang terbuka, bersih dan demokratis,” demikian bunyi seruan Ganti Polbus.

Spesifik, Ganti Polbus menetapkan sejumlah kriteria politisi yang sangat tidak layak untuk dipilih lagi. Kriteria tersebut antara lain boros, tamak, korup, pencemar lingkungan, pelaku pelanggar HAM, pelaku kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan pengguna narkoba.

Dalam acara diskusi “Mendorong Sistem Rekrutmen Politik yang Transparan dan Demokratis” (31/7), Tomy Legowo mengatakan banyak faktor yang bisa menjadikan rekrutmen politik menjadi lebih baik. Di antaranya, melalui rekrutmen yang dijalankan secara demokratis sehingga kepercayaan rakyat terhadap rekrutmen tersebut menjadi bertambah. Dalam mengadakan rekrutmen, parpol harus menegaskan kepada para kadernya agar mengedepankan program yang pro kepentingan rakyat saja.

Direktur FORMAPPI ini berpendapat rekrutmen politik seharusnya didasarkan pada kompetensi. Rekrutmen politik juga harus melibatkan partisipasi publik secara optimal. Dengan begitu, caleg yang terpilih berkualitas sehingga tidak akan bernasib sama dengan anggota legislatif yang sudah tersandung kasus. Ia menambahkan, “semua faktor ini akan menepis banyaknya golput di Pemilu 2009 nanti.”

Aristokrat, saudagar, jawara

Sementara, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Sydicate Sukardi Rinakit memaparkan bahwa selama ini rekrutmen politik bersinggungan tiga kelompok politik. Pertama, Aristokrat yakni kelompok dimana kekuasaan menjadi faktor untuk mempengaruhi sistem politik yang ada. Biasanya, kelompok ini termasuk orang-orang yang sekarang sudah mempunyai kekuasaan di parlemen. Dengan adanya pemilu, Aristokrat akan mencalonkan kembali dirinya melalui parpol yang dilihatnya memiliki jatah kursi lebih banyak di DPR.

Kelompok kedua adalah saudagar, dimana kekayaan menjadi ukuran penting demi mencapai kursi panas. Kelompok ini biasanya para pengusaha yang memang telah menyumbang dana kepada parpol yang akan bertarung di pemilu. Setelah sumbangan diberikan, selanjutnya pihak parpol memberikan imbalan kepada pengusaha atau orang yang dipilihnya untuk “memesan tempat” di DPR. Lalu saudagar tersebut dapat mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain yang menurut mereka bisa diandalkan demi memenuhi kepentingannya sendiri.

Jawara adalah kelompok yang ketiga. Jawara yang dimaksud adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dalam suatu lingkungan. Mereka biasanya memiliki kenalan yang luas serta anak buah yang banyak. Posisi jawara di lingkungan parlemen memang mempunyai pengaruh yang besar.

Soal rekrutmen yang baik, usulan Sukardi dimulai dengan perlu dibentuknya departemen khusus rekrutmen di struktur organisasi parpol. Menurut Sukardi, rekrutmen politik yang buruk dapat berujung pada perilaku koruptif. “Korupsi akan selalu terjadi jika partai belum mandiri dan memiliki rekrutmen yang buruk,” pungkasnya.

(CRF)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19835&cl=Berita

Disfungsi Parpol Berbuah Masyarakat Apatis

[1/8/08]

Tidak maksimalnya fungsi Parpol juga terjadi terkait dengan maraknya konflik internal yang mengarah pada disintegrasi Parpol.

Transisi politik dari rezim Orde Baru yang represif ke era baru yang lebih demokratis memang merupakan salah satu produk Gerakan Reformasi 1998. Momen satu dasawarsa gerakan reformasi ini kemudian menjadi momen penting untuk merefleksikan hasil reformasi yang ternyata hanya berhasil di bidang politik.

Pemikiran-pemikiran tersebut lahir berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan oleh The Habibie Center (THC). Uji coba “Indeks” Demokrasi THC ini dipaparkan oleh Direktur Eksekutif THC Ahmad Watik dalam Seminar “Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009,” Jakarta, Kamis (31/7).

Reformasi di bidang politik ini ditandai dengan adanya perubahan sistem kepartaian di Indonesia. Sejak Pemilu 1999, Indonesia kembali menganut sistem multipartai, ungkap Research Manager THC Siti Zuhro. Ia menjelaskan jumlah tiga partai di bawah pemerintahan Orde Baru meningkat menjadi 48 Partai dalam Pemilu 1999. Meski pada Pemilu 2004 jumlah tersebut menurun setengahnya menjadi 24 partai, pada Pemilu 2009 terjadi peningkatan lagi menjadi 34 Partai Politik.

Lebih lanjut, Siti memaparkan tentang tidak berjalannya fungsi Parpol secara maksimal. Parpol tidak menjalankan fungsi pendidikannya dengan maksimal. Kinerja edukasi parpol hanya terbatas pada urusan internal partai seperti pengkaderan dan pelatihan. Hal ini menjadikan masyarakat ibarat belajar politik secara otodidak.

Fungsi komunikasi Parpol pun belum maksimal, ujar Siti, yang akrab dipanggil Wiwiq. Berdasarkan dokumen yang diterbitkan Parpol, acara reses lebih banyak digunakan sebagai sarana menarik suara masyarakat dan aktivitas kaderisasi. Wiwiq menjelaskan aspirasi dan kepentingan rakyat belum ditampung dan dijembatani secara konkret. “Fungsi agregasi Parpol belum maksimal,” tambahnya.

Tidak maksimalnya fungsi Parpol juga terjadi terkait dengan maraknya konflik internal yang mengarah pada disintegrasi Parpol. Wiwiq menambahkan Parpol belum maksimal dan belum fokus. “Fokus parpol hanya pada ajang perebutan kekuasaan,” tambahnya. Hal ini pun mempengaruhi kerja representasi mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ujar Wiwiq. “Hak angket, misalnya, terpolarisasi berdasarkan kekuatan partai oposisi dan bukan partai pendukung pemerintah,” ucapnya memberi contoh. Hal ini pun mengurangi akuntabilitas dan kredibilitas Parpol di DPR.

Tidak maksimalnya fungsi Parpol dan DPR ini membawa masyarakat kita ke suatu fenomena baru. “Ada pergeseran pemikiran dari pemikiran yang tradisional menjadi pemikiran yang rasional,” ujar Wiwiq. Pergeseran ini ditandai dengan tidak dipilihnya partai-partai besar dan maraknya kemenangan partai-partai kecil pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), seperti di Jawa Timur.

Fenomena lainnya adalah gerakan apatisme, ujar Wiwiq. “Kondisi ini menyebabkan menurunnya legitimasi parpol yang disertai dengan meningkatnya apatisme masyarakat terhadap Parpol,” ujarnya. Legitimasi parpol yang rendah juga diamini oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI) Saiful Mujani.

Sementara, Anggota DPR Ferry Mursyidan Baldan mengemukakan fenomena munculnya calon-calon independen. “Calon-calon ini umumnya muncul dari kalangan yang tidak mau berpartai, tetapi tetap mau berkuasa,” jelasnya. Menanggapi kurangnya kredibilitas dan akuntabilitas Parpol serta DPR, Ferry mengemukakan akan adanya usaha pendidikan politik selama massa kampanye. Selain itu, Parpol juga akan mengatur keuangan Parpol. “Keuangan Parpol sekarang sudah didesentralisir dan tidak lagi tersentralisir,” ujar Ferry.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolkam) Widodo AS. mengharapkan hasil penelitian THC ini dapat menghimpun pandangan, pendapat, dan pemikiran yang kontributif bagi pengelolaan permasalahan bangsa ke depan, khususnya menyangkut suskses Pemilu 2009. Ia juga mengharapkan Pemilu mampu menjadi pilar konsolidasi demokrasi bangsa. Sementara Ferry menyatakan, “Hal ini bagus agar Pemilu tidak menjadi sekedar penggantian pemimpin, tapi merupakan proses berkelanjutan.”

Saiful Mujani menambahkan keinginan publik terhadap kesejahteraan rakyat harus menjadi perhatian substansi kampanye dan Pemilu 2009. Bila tidak ada yang mampu memberikan harapan secara masuk akal bagi perbaikan kesejahteraan publik, maka publik potensial akan menjadi apatis terhadap demokrasi dan terhadap Pemilu itu sendiri, ujar Saiful.

(M-3)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19837&cl=Berita

Majelis Kasasi Vonis Adelin Lis 10 Tahun Penjara

Majelis Kasasi Vonis Adelin Lis 10 Tahun Penjara
[2/8/08]

Salah satu anggota majelis kasasi Djoko Sarwoko mengatakan hakim PN Medan telah salah menerapkan hukum. Ada sekitar 23 saksi maupun ahli penting yang keterangannya tak dipertimbangkan oleh majelis hakim tingkat pertama.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga mungkin sudah bisa tersenyum kali ini. Pasalnya, usaha Ritonga memburu Adelin Lis, pelaku illegal logging di kawasan Mandailing-Natal, dengan mengajukan kasasi telah berhasil. Majelis Kasasi akhirnya memvonis Adelin Lis bersalah. “Adelin divonis 10 tahun penjara,” ujar salah satu anggota majelis Djoko Sarwoko kepada hukumonline, Jumat (1/8). Selain itu, Adelin harus membayar uang pengganti sebesar Rp119,802 miliar subsider enam bulan penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.

Selain Djoko, anggota majelis hakim kasasi yang memvonis Adelin adalah Harifin A. Tumpa, Artidjo Alkostar, dan Mansyur Kartayasa. Sedangkan Ketua MA Bagir Manan bertindak sebagai ketua majelis kasasi ini.

Djoko menjelaskan pertimbangan majelis hakim kasasi memutus Adelin bersalah. “Pengadilan Negeri Medan (yang memvonis bebas Adelin Lis,-red) telah salah menerapkan hukum,” ujarnya. Di antaranya, terkait keterangan saksi dan ahli. Djoko mengatakan ada sekitar 23 saksi maupun ahli yang keterangannya tak menjadi dasar pertimbangan majelis hakim tingkat pertama itu. Padahal, menurut Djoko, keterangan saksi maupun ahli tersebut sangat penting.

Djoko menjelaskan saksi maupun ahli tersebut terdiri dari berbagai bidang. Mereka adalah dari pihak departemen kehutanan, kepolisian dan ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Juru Bicara MA ini mengatakan majelis hakim PN justru mendengarkan keterangan saksi yang sudah mencabut keterangannya, sedangkan keterangan saksi dan ahli yang penting tak dipertimbangkan.

Sebagai catatan, memori kasasi jaksa memang mempersoalkan keterangan saksi. Yaitu, terkait adanya perbedaan keterangan saksi hingga kesalahan menghitung jumlah kayu yang legal. Ritonga pernah menjelaskan, ada bukti bahwa jumlah kayu yang memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) berbeda dengan jumlah kayu yang diangkut ke kapal. Ia mencontohkan ada 10 kayu yang memiliki SKSHH, tetapi menurut catatan nakhoda kapal ada 15 kayu. “Penghitungan nakhoda dikesampingkan oleh hakim. Hakim beralasan penghitungan nakhoda tidak lazim dipakai sebagai bukti pengangkutan kayu,” ujar Ritonga kala itu.

Sedangkan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi, menambahkan Adelin juga dijerat karena persoalan hak penguasaan hutan (HPH). Nurhadi mengatakan pengelolaan HPH ada hak dan kewajibannya. “Untuk hak terkait pengelolaan hutan dan kewajiban menerima HPH itu harus melakukan tebang pilih setelah itu melakukan penanaman kembali,” katanya kepada wartawan di MA, Jumat (1/8). Ia mengatakan kewajiban itu bersifat konstitutif atau harus dilaksanakan.

Dalam kasus ini, lanjut Nurhadi, kewajiban konstitutif itu tidak dilaksanakan, sehingga izin HPH-nya menjadi bias. Hal ini menimbulkan akibat pada kerusakan hutan, lalu menyebabkan kerugian negara. Akibatnya, tambah Nurhadi, negara harus membayar penanaman kembali.

Kuasa Hukum Adelin Lis, Sakti Hasibuan mengkritik pertimbangan majelis kasasi ini. Menurutnya bila dianggap melanggar ketentuan harus ditanam kembali, tentunya harus ada pencabutan izin terlebih dahulu. Ia pun menganggap tindakan Adelin tersebut tak ada unsur tindak pidananya. “Itu kewenangan Menhut, dimana pidananya?” tuturnya melalui gagang telepon.

Apa yang diungkapkan oleh Sakti memang mirip dengan pertimbangan majelis hakim PN Medan. Salah satu pertimbangannya adalah perbuatan Adelin tidak masuk klasifikasi tindak pidana melainkan kelalaian administrasi. Artinya, kewenangan penindakannya ada di tangan Menteri Kehutanan bukan pengadilan.

Sayangnya, Sakti belum mau mengatakan upaya hukum apa yang akan dilakukan untuk membela kliennya. Ia mengaku masih menunggu salinan putusan untuk melihat pertimbangan hukum secara jelas. Setelah melihat pertimbangan hukum, Sakti akan mempelajarinya apa upaya hukum yang pas. “Apa yang bisa kita lakukan kalau pertimbangan hukumnya saja belum baca,” tambahnya.

Sulit Dieksekusi

Vonis berat untuk Adelin ini sontak mendapat sambutan hangat dari aktivis pemerhati lingkungan. Direktur Eksekutif The Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Rino Subagyo ikut angkat bicara. Rino menyambut baik putusan yang dikeluarkan para hakim agung ini. “Keberanian majelis kasasi memutus ini patut diacungi jempol ,” ujarnya.

Rino mengatakan meski secara normatif putusan ini sudah cukup baik, tapi ada persoalan selanjutnya. “Apakah ini bisa menghasilkan efek jera atau tidak, ini patut dipertanyakan,” tutunya. Masalah, lanjut Rino, si terpidana sudah terlanjur melarikan diri ke luar negari. Rino mengatakan secara yuridis, putusan ini sulit untuk dieksekusi. “Persoalannya apakah ini executable atau tidak,” tambahnya lagi.

Kasus ini memang bukan yang pertama kali. “Ini sama dengan kasus kebakaran hutan di Riau,” ujar Rino. Ia menceritakan kala itu terdakwa telah divonis bersalah oleh majelis hakim. Namun, karena terpidana berkewarganegaraan Malaysia ketika eksekusi akan dilakukan, si terpidana sudah telanjur pulang ke negaranya. Alhasil, eksekusi pun tak terjadi.

Hal serupa dikhawatirkan akan kembali terulang dalam kasus Adelin ini. Pasalnya, sejak diputus tak bersalah oleh PN Medan, Adelin bak hilang ditelan bumi. Kabarnya, Adelin pergi ke luar negeri. Bahkan, pengacaranya sekalipun tak mengetahui dimana kliennya berada. “Tanya saja dia, dimana kau sekarang. Kita tak pernah jumpa sejak dia berangkat,” ujar Sakti dengan logat Batak yang khas.

Posisi Sakti sebagai kuasa Adelin saat ini memang sedikit membingungkan. Di bilang sebagai kuasa hukum tapi tak tahu dimana kliennya berada, tapi dibilang bukan kuasa hukum namanya tetap tercantum di perkara kasasi di MA sebagai kuasa hukum Adelin. Namun, Sakti menjelaskan, dalam perkara pidana, seorang pengacara tak harus berhubungan dengan si terpidana. “Kan keluarganya berhak juga memberikan kuasa,” ujarnya. Artinya, selama ini, Sakti mengaku hanya berhubungan dengan pihak keluarga, termasuk istri Adelin.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19839&cl=Berita