Jumat, 11 Juli 2008

Jumat, 11 Juli 2008 13:50:00
SKB Peralihan Waktu Kerja Berlaku 21 Juli

Jakarta-RoL -- Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri tentang peralihan waktu kerja mulai berlaku 21 Juli 2008.

"Rencananya akan dimulai tanggal 21 Juli ini," ujar Fahmi seusai membuka Indonesia Internasional Motor Show (IIMS) 2008, di Jakarta, Jumat (11/7).

Dia mengatakan justru dengan pengalihan penggunaan hari Sabtu dan Minggu setiap bulan maka tidak ada giliran listrik padam bagi industri. Maka akan ditentukan blok-blok industri mana saja yang bekerja Sabtu dan Minggu.

Menurut dia, sekarang pilihan bagi industri adalah listrik padam atau tetap bekerja. Ini hanya sementara sampai pasokan listrik kembali mencukupi.

Fahmi mengatakan memang ada ketidaknyamanan dalam kebijakan ini, yang biasanya libur tapi harus bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Tapi peralihan waktu kerja lebih baik dari pada pemadaman listrik terjadi untuk industri.

Masalah insentif maupun sanksi, dia mengatakan, hal tersebut akan diatur oleh PT PLN (Persero). Untuk sosialisasi pada pengusaha akan dilakukan di Departemen Perindustrian Jumat siang. "Seluruh industri akan hadir," ujar dia.

Dia mengatakan pemindahan waktu kerja ini akan dikenakan bagi seluruh industri yang menggunakan listrik. Pemindahan waktu kerja bagi industri hanya diutamakan di Pulau Jawa mengingat di luar pulau Jawa tidak terlalu terkena dampak dari pemadaman listrik.

Lebih lanjut, dia mengatakan, masalah peningkatan biaya lembur karyawan akan diatur sendiri antara pihak manajemen perusahaan dengan serikat pekerjanya masing-masing.

Pemindahan waktu keja ini, menurut Fahmi, untuk memaksimalkan kinerja dan menberdayakan kapasitas yang tersisa di hari Sabtu yang 1.000 Mega Watt (MW) dan hari Minggu yang 2.000 MW.

Selama ini, dia mengatakan, yang dikeluhkan oleh industri adalah adanya pemadaman listrik mendadak maupun bergilir. Masalah pergantian waktu kerja sama sekali tidak menjadi masalah bagi industri. antara/is

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=340968&kat_id=21

Jumat, 11 Juli 2008 14:07:00
RI Penuhi 34 dari 49 Rekomendasi Soal Pemberantasan Pencucian Uang dan Terorisme

Nusa Dua-RoL- Indonesia telah memenuhi 34 dari 49 rekomendasi pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme, demikian penilaian "Financial Action Task Force (FATF) dan "counter financing of terrorism (AML/CFT)", Jumat.

Penilaian tersebut diumumkan saat sidang tahunan mengenai pemberantasan kejahatan terorganisir transnasional Kelompok Asia Pasifik (APG) ke-11 di Nusa Dua, Bali.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Yunus Husein menilai, meskipun rating Indonesia telah lebih baik, namun masih banyak kekurangan yang harus segera dibenahi.

"Indonesia sebagian besar telah memenuhi 49 rekomendasi, namun ya belum sempurna," kata Yunus Husein.
Dari total 49 rekomendasi di bidang pencucian uang dan pendanaan terorisme, Indonesia dinilai positif pada 34 rekomendasi.

Rekomendasi yang belum terpenuhi sesuai standar rekomendasi FATF khususnya pada kerangka hukum dan pengawasan, yang terkait dengan sektor lembaga keuangan dan sistem hukum.

Yunus Husein juga mengatakan dibandingkan Kamboja dan Thailand, posisi Indonesia dalam hal ini lebih baik.
Selain Indonesia, pada pertemuan di Nusa Dua, APG juga mengevaluasi beberapa negara lainnya seperti Kanada, Hongkong, China, Singapura, Myanmar dan Palau.
Pertemuan tahunan ke-11 APG itu berlangsung selama lima hari, sejak tanggal 7-11 Juli 2008.

Pertemuan dihadiri lebih dari 290 pejabat tinggi di bidang intelijen keuangan dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik.ant//fa


http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=340971&kat_id=248

Penyidikan Pembunuhan Mantan PM Pakistan

Jumat, 11 Juli 2008 | 14:00 WIB

NEW YORK, JUMAT - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon setuju membentuk komisi independen untuk menyelidiki pembunuhan mantan PM Pakistan Benazir Bhutto

Kantor Ban membenarkan pembentukan komisi itu setelah sebelumnya diumumkan oleh Menlu Pakistan Shah Mahmood Qureshi. "Tujuannya adalah mengidentifikasi pelaku dan kelompok yang mengorganisasi serta mendanai pembunuhan itu," kata Qureshi kepada wartawan setelah bertemu secara pribadi dengan Ban, Kamis (10/7) atau Jumat waktu Indonesia.

Kepastian siapa yang berada di belakang itu bisa membantu menstabilkan kondisi negara sekutu AS dalam memerangi terorisme. Namun, saat ini Pakistan terus digoyang kelompok-kelompok militan seperti Al Qaeda yang masih bercokol di wilayahnya.

Pemerintah sebelumnya menuduh Taliban di Pakistan sebagai pembunuh Bhutto, namun kecurigaan di seputar kematian Benazir lebih luas dari itu, bahkan salah satu tuduhan dialamatkan ke pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah ingin mendapatkan kepastian soal itu. Qureshi memastikan Ban akan menunjuk orang-orang tepercaya untuk duduk di komisi itu.

"Kami mencapai kesepakatan dan ada keputusan konkret soal itu. Yang kami diskusikan dan konsultasi selanjutnya yang dibutuhkan dilakukan sesuatu," kata Qureshi.

Kantor Ban, dalam pernyataannya, menyebutkan, kesepahaman yang luas telah dicapai soal pembentukan komisi itu, termasuk bagaimana membiayainya, siapa saja yang harus menjadi anggota, bagaimana melindungi independensi dan ketidakberpihakannya, serta tidak ada yang boleh menghalangi akses komisi ini untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Namun, Ban juga masih harus membicarkan itu dengan Pakistan dan pejabat PBB lainnya untuk menyusun detail komisi itu.

Qureshi yakin Ban punya otoritas tanpa persetujuan DK PBB untuk membentuk komisi itu. Qureshi juga mengatakan, telah berbicara dengan sejumlah pemimpin dewan dan mereka mendukung pembentukan komisi itu. "Ada kesepakatan bahwa tugas itu harus diselesaikan secepatnya, jadi kami tidak ingin ini menjadi berpanjang-panjang sampai bertahun-tahun," katanya.

Benazir tewas ditembak pada 27 Desember 2007 dan diikuti ledakan bom saat ia meninggalkan lokasi kampanye di Rawalpindi. Kematiannya mengejutkan dunia dan Pakistan, memicu aksi kekerasan berikutnya dan memunculkan dugaan bahwa agen-agen intelijen Pakistan terlibat dalam pembunuhan itu.

Namun, pembunuhan itu diduga mendukung kemenangan Partai Rakyat Pakistan dalam pemilihan umum bulan Februari. Buntutnya, partai ini membangun pemerintahan koalisi yang memungkinkan terbentuknya komisi PBB untuk menyelidiki kematian Benazir. Sebelumnya, pemerintahan Presiden Pervez Musharraf minta bantuan penyelidik federal Inggris, Scotland Yard, untuk menyelidiki pembunuhan itu.


SAS
Sumber : AP
http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/11/14001218/pbb.selidiki.pembunuhan.benazir

Mafia Peradilan

umat, 11 Juli 2008 14:15:00
Ketua PN Jakbar Dicopot dari Jabatannya

Jakarta-Rol- Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Khaidir, dicopot dari jabatannya karena terbukti melakukan pelanggaran disiplin berat dengan menelepon Artalyta Suryani alias Ayin.

Hal itu merupakan hasil rapat pimpinan (rapim) Mahkamah Agung (MA) yang disampaikan Ketua Muda Pengawasan MA, Djoko Sarwoko, di Jakarta, Jumat.

"Manjatuhkan pembebasan jabatan Ketua PN Jakbar terhitung 10 Juli 2008," katanya.

Sebelumnya dilaporkan, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, telah bertelepon dengan Ayin, hal itu terungkap lewat transkrip rekaman percakapan telepon antara Khaidir dengan Artalyta yang dibacakan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 30 Juni lalu.

Dalam perbincangannya itu, terungkap bahwa Ketua PN Jakbar meminta hakim agung untuk diberangkatkan ke Cina.ant//fa

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=340983&kat_id=23

PARADOKS HAM DAN KEBEBASAN BERAGAMA

PARADOKS

HAM DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Beberapa minggu terakhir ini, kita disuguhi oleh pemberitaan intensif seputar Jemaat Ahmadiyah. Setidaknya ada dua arus pendapat yang kuat mengemuka, yang pertama, pihak yang menginginkan tetap eksisnya Jemaat Ahmadiyah, sedangkan yang kedua adalah pihak yang menghendaki pembubaran jemaat tersebut. Mereka yang membela, berargumen bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah sesuatu yang absolut. Kebebasan beragama adalah sesuatu yang fundamental, sehingga tidak ada satu orang atau bahkan institusi seperti Negara yang berwenang mencampuri dan mencerabutnya. Negara bahkan harus menjadi pihak yang melindungi penganut agama. Sedangkan pihak yang lain menganggap bahwa Jemaat Ahmadiyah telah menistai agama islam, sehingga layak untuk dibubarkan. Kebebasan beragama, bagi kalangan ini, harus pula dimaknai kesanggupan untuk tidak mencederai pihak lain. Oleh karena itu, apabila kewajiban tersebut tidak terpenuhi, maka pembubaran Jemaat ahmadiyah tersebut adalah solusi yang paling tepat.

Arus pemikiran pertama adalah mereka yang menganut paham HAM yang bersifat universal. Kaum universalis menganggap bahwa HAM, seperti kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan lain-lain adalah harus sama dimanapun kita berada. Pada prinsipnya HAM sangat erat kaitannya dengan hak alamiah (natural right) yang melekat pada diri manusia, melampaui budaya, maupun aturan yang tertulis. Paham ini mengalami dialektika yang cukup panjang, bermula dari ide bahwa hak tersebut merupakan pemberian Tuhan hingga gagasan para pemikir abad pencerahan, bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia. Artinya, HAM bukan merupakan pemberian siapa pun, termasuk Tuhan. Sekularisasi gagasan mengenai HAM mencapai puncaknya ketika konsep pemisahan agama dan negara dikuatkan dalam instrumen hukum positif. Di Perancis, misalnya konsepsi itu teraplikasikan melalui undang-undang pemisahan agama dan negara tahun 1905. Bentuk alienasi HAM terhadap agama terwujud, misalnya, kebebasan hubungan seksual diluar nikah, yang secara revolusioner menjamur dinegara-negara Barat tiga dekade terakhir ini. Padahal, agama kriten maupun katolik yang merupakan agama mayoritas di daratan itu “mengharamkan” praktik demikian. Selain hubungan seksual diluar nikah tersebut, hak sipil lain yang dilegitimasi secara hukum disebagian negara Eropa, seperti Belanda dan Spanyol, adalah pernikahan sejenis (homoseksualitas) . Penganut paham universalis berpendapat, kecuali memberikan perlindungan, penegakan hak sipil mensyaratkan keterlibatan negara yang sangat minim dalam ruang privat. Dalam konteks Ahmadiyah, penganut universalis mendasarkan argumennya bahwa urusan keagamaan merupakan urusan antara seseorang dengan Penciptanya, oleh karena itu hak tersebut tidak dapat diusik oleh siapapun dan tidak dapat diusik dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Inkonsistensi Paham HAM yang Universal

Saya menilai, ada inkonsistensi gagasan ataupun praktik kaum universalis dalam memperjuangkan kemutlakan (absolutisme) penerapan HAM. Setidaknya melalui dua contoh yang akan saya paparkan berikut ini. Contoh pertama, kisah Profesor saya (seorang guru besar di bidang sejarah dan politik) dalam sebuah seminar besar di Yunani. Dua tahun lalu, saya dan Profesor saya berbincang-bincang tentang sesuatu yang hingga saat ini masih saya ingat dengan baik. Profesor saya tersebut menceritakan pengalamannya sebagai pembicara dalam sebuah seminar internasional di Yunani yang membahas tentang kompatibilitas islam dan demokrasi. Sebagian besar pembicara berpendapat konsepsi islam sering “bertabrakan” dengan demokrasi, mengingat praktik yang cenderung tidak demokratis disebagian negara muslim. Profesor saya ternyata memiliki pendapat yang tidak sama dengan suara mayoritas.

Sebagai hal yang menguatkan argumennya tersebut, dia melontarkan fakta yang terjadi di Yunani, negara tempat kelahiran paham demokrasi.. Dia mendasarkan argumennya dengan merujuk Konstitusi Yunani. Pasal 13 ayat (2) Konstitusi Yunani yang menyatakan bahwa “setiap (pemeluk) agama yang diakui, dan peribadatan yang dilakukan harus dilindungi oleh hukum. Praktik peribadatan yang mengancam ketertiban umum tidak diijinkan. Perbuatan proselytisme dilarang”. Proselytisme dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengajak orang lain memeluk agama tertentu, dalam bahasa islam dan konteks yang lebih spesifik, proselytisme dapat berarti berdakwah atau syiar agar orang tertarik secara langsung atau tidak langsung dengan islam. Pada saat itu profesor saya mencontohkan, kalau saya mengajak orang lain untuk memeluk islam, saya bisa dipenjara. Ketentuan ini, menurutnya, sebagai upaya untuk “tetap memurnikan” Yunani sebagai negara Kristen Ortodoks, mengingat 98 % pemeluknya adalah penganut agama tersebut. Sepertinya Profesor saya ingin mengatakan bahwa barat tidak boleh terus-menerus mencari kesalahan islam dan mengatakan islam tidak sejalan dengan demokrasi. Karena baginya setiap peradaban memiliki nilai yang khas yang berbeda dengan yang lain. Dalam konteks inilah, kita tidak dapat “menyerang” ketentuan Konstitusi Yunani meskipun tidak sejalan dengan prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Pada saat yang bersamaan, saya juga teringat kembali apa yang dikatakan Profesor Mahfud (hakim konstitusi) dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Konstitusi bukanlah sesuatu yang yang diangap benar atau pantas tetapi apa yang dianggap paling cocok bagi suatu negara.

Contoh kedua adalah Kasus Bruno GOLLNISCH, anggota parlemen Eropa, sekaligus Dosen Universitas Lyon III yang sempat “menghebohkan” Eropa tahun 2004 lalu. Kasus ini mencuat setelah dalam perkuliahannya dia menyatakan tidak menafikan keberadaan Kamp Konsentrasi, tetapi menurutnya para sejarahwan dapat mendiskusikan kembali jumlah yang meninggal didalam Kamp tersebut. Sebagaimana juga keberadaan Kamar Gas yang dianggap menjadi tempat pembunuhan massal bagi orang Yahudi, dia meragukan apakah telah terjadi pembunuhan massal sejumlah 5 juta orang Yahudi di Eropa. Karena perkataannya tersebut, dia dianggap sebagai negasioniste (orang yang “mengingkari”) terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan terhadap orang Yahudi di Eropa. Akibatnya, dia dihukum dengan diskors untuk tidak mengajar selama lima tahun. Seseorang yang meragukan atau menafikan telah terjadinya pelanggaran terhadap kamanusiaan terhadap orang Yahudi di Eropa dapat di “hukum” karena mengingkari “kebenaran” yang sudah disepakati dan diterima secara luas. Padahal, mengemukakan pendapat adalah suatu hak yang sangat mendasar. Hal ini mengungkapkan subjektivitas Eropa dalam membuat standarisasi. Atau mungkin, tetapi menunjukan bahwa HAM dibalik universalitasnya, memiliki keterbatasan dalam implementasinya.

Kelemahan Paham Relativisme Budaya

Dilain pihak, saya juga menyoroti kelemahan Paham relativisme yang absolut, yang tercermin dari gagasan pembubaran Ahmadiyah. Adapun arus pemikiran yang kedua, yang menginginkan pembubaran Jemaah Ahmadiyah, berdasar pada argumen bahwa HAM maupun aplikasinya bersifat relatif, yang sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, moralitas, agama dan yang lainnya. Setiap budaya, agama, suku bangsa, etnis, memiliki standar moral yang tidak sama satu sama lainnya. Olehkarenanya, satu hal yang dianggap baik oleh satu golongan, belum tentu baik bagi yang lainnya. Pandangan partikularis juga mengharuskan setiap orang yang menjadi bagian dari anggota masyarakat bisa menerima standar moral dimana dia berada. Pada saat yang bersamaan, masyarakat pada suatu wilayah tidak dapat pula memaksakan standar moralnya pada wilayah lain. Dengan kata lain, tidak ada standar moral universal yang menjadi acuan bersama. Kelemahan yang nyata dari Paham ini adalah kewenangan suatu negara atau bangsa untuk menentukan sendiri standar moralnya seringkali diterjemahkan sebagai otoritas suatu negara atau bangsa untuk berbuat sesuatu yang “melanggar” hak-hak yang dinilai fundamental, seperti pembatasan pemenuhan hak-hak sipil dan politik di Malaysia dan singapura (atas nama keamanan).

Apabila Paham universalis diusung oleh negara-negara Barat, maka paham relativis diperjuangkan oleh negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang menginginkan negara-negara Barat tidak ikut campur atas urusan dalam negerinya, terutama dalam menegakkan HAM di negaranya. Contoh yang terjadi di Mynmar sangat relevan dengan konteks ini. Dalam prespektif lain, Paham Universalis (Barat) dapat juga “dibenturkan” dengan Paham Partikularis atau relativis (Islam).Terlepas dari kerancuan penilaian Barat antara praktik negara islam dan ajaran islam itu sendiri, Barat menilai sebagian ajaran islam dinilai tidak kompatibel dengan HAM. Hal ini dilihat misalnya melalui berbagai fenomena yang terjadi di negara-negara muslim seperti pemerintahan yang korup, praktik poligami, kekerasan dalam rumah tangga, tingkat pendidikan yang rendah (terutama perempuan), dan lain-lain.

Jalan Tengah = Jalan Kompromi?

Dua kutub pemikiran yang ekstrem diatas, saya nilai bukan merupakan solusi terbaik dalam memecahkan masalah Jemaah ahmadiyah. Ada hal yang sangat substansial yang sama-sama “dilanggar’ oleh kedua arus pemikiran ini.

Dengan mempertahankan keberadaan Ahmadiyah dan sekaligus membiarkan penafsiran yang bertentangan dengan ajaran pokok islam, pada hakekatnya telah “menodai” ajaran islam. Kalangan ini juga telah “mengabaikan” pendapat sebagian besar organisasi masyarakat (ormas) islam, baik di tingkat nasional maupun internasional, dengan berpendapat bahwa perbedaan yang ada hanya dalam konteks penafsiran agama, bukan penyimpangan terhadap agama. Arus pemikir ini mungkin tidak memperhatikan, bahwa isu agama adalah isu yang sangat sensitif di negara ini, sebagaimana sensitifnya isu pernyataan tentang Pembataian masal Yahudi di Eropa. Apabila di Eropa, mengeluarkan pernyataan yang menentang ‘mainstream’, yaitu yang meragukan angka korban tewas di kamp gas adalah suatu pelanggaran, mengapa pada saat yang bersamaan, menganut dan mensyiarkan ajaran yang menyimpang dianggap sebagai bagian dari HAM? Melarangnya justru melanggar HAM?

Namun dilain pihak, keinginan sebagian kalangan untuk mendukung pembubaran Ahmadiyah juga pada hakekatnya telah menimbulkan potensi pelanggaran hak beragama. Apakah yang dimaksud dengan pembubaran jemaah ahmadiyah? Apakah pembubaran ini berarti membubarkan organisasi semata atau lebih dari itu, membubarkan dan melarang seorang penganut ajaran ahmadiyah untuk tetap menganut ajaran dan mensyiarkan tersebut? Apabila “pembubaran” yang dimaksud diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan eksistensi jemaah ini, melarang penganutnya untuk mensyiarkan, lalu “memaksakan” pengikut Ahmadiyah untuk “kembali” kepada ajaran islam, maka telah terjadi pelanggaran terhadap kebebasan setiap orang untuk memilih agamanya dan hidup dengan keyakinan agamanya tersebut.

Jalan tengah, sebagai salah satu prinsip yang dipopularkan Aristoteles (bahkan Rasulullah dengan mengatakan, bahwa umat islam adalah umat pertengahan) mungkin dapat menjadi solusi atas kasus yang sangat pelik ini. Lalu, apakah “kompromi” Pemerintah dengan membiarkan Jemaah Ahmadiyah tetap hidup dan dilindungi, tetapi melarang kegiatan syiar yang menafsiran ajaran agama islam berbeda dari pokok-pokok ajaran islam merupakan keputusan yang tepat? Saya berpendapat SKB hanya merupakan jalan keluar darurat, tetapi bukan merupakan jalan keluar permanen. Akan ada permasalahan yang dapat muncul seiring dengan pemberlakuan SKB ini. Siapakah yang dapat memantau praktik setiap pengikut ahmadiyah yang menjalankan ajaran Ahmadiyah dan memastikan bahwa praktik itu tidak menyimpang dari dari pokok-pokok ajaran islam? Apakah mungkin seseorang itu beragama tanpa melakukan syiar sekaligus? Dengan membiarkan pengikut ahmadiyah menjalankan agama islam yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam dan melarang syiar sesorang terhadap sesuatu yang diyakininya adalah dua hal yang kontradiktif dan memunculkan potensi pelanggaran hak asasi. Saya berpendapat, cara yang terbaik menghadapi polemik itu adalah, Pemerintah, atas dasar putusan pengadilan, menetapkan Ahmadiyah sebagai ajaran yang terpisah dari agama islam, sehingga membiarkan pihak ahmadiyah untuk tetap memeluk ajaran dan mensyiarkan ajarannya. Sehingga tidak ada kekhawatiran penistaan agama dan pelarangan hak yang paling fundamental, yaitu untuk memilih, menjalankan dan mensyiarkan “agama”nya itu. Dibalik ajaran HAM yang Universal itu ada sisi relativitasnya, pada saat yang bersamaan, Relativitas HAM harus mengandung dimensi universalitas. Oleh karenanya, Indonesia harus berani untuk mengambil keputusan dengan keluar dari pertentangan kedua pemikiran itu, dan yakin bahwa inilah cara Indonesia dalam menyelesaikan masalah ini dengan tetap memperhatikan hak kebebasan beragama, yang tidak hanya dilindungi oleh HAM, tetapi oleh agama yang ada di Indonesia ini, khususnya islam.

Pia, SH, MR (Aktifis PAHAM INDONESIA)

Kamis, 10 Juli 2008

Syarat Belum Pernah Dipidana’ Kembali Dinyatakan Konstitusional Bersyarat

‘Syarat Belum Pernah Dipidana’ Kembali Dinyatakan Konstitusional Bersyarat
[10/7/08]

Mahkamah menyatakan substansi permohonan sama dengan permohonan terdahulu. Argumentasi pemohon yang menyatakan pembatasan seharusnya melalui putusan pengadilan yang inkracht dinilai mengingkari logika berpikir pemohon sendiri.

Habis sudah semua perkara pengujian terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif di Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya untuk bulan ini. MK telah memutus tiga permohonan berbeda terkait UU Pemilu Legisltatif. Pertama, permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua, permohonan yang diajukan oleh tujuh partai politik (parpol) non-parlemen.

Terakhir, MK memutus permohonan uji materi UU Pemilu Legislatif yang diajukan oleh Ketua DPC PKB Alor NTT Julius Daniel Elias Kaat. MK menolak permohoan Julius, tetapi secara conditionally constitusional atau konstitusional bersyarat.

Sekedar mengingatkan, Julius mempersoalkan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu Legislatif yang memuat persyaratan tak pernah dijatuhi pidana penjara dengan ancaman lima tahun, sebagai syarat untuk menjadi bakal calon anggota legislatif. Julius menilai ketentuan ini telah menghambatnya untuk menjadi anggota parlemen.

Pasalnya, Julius pernah dituntut hukuman lima tahun penjara karena kasus penganiayaan berat. Meski hanya diputus menjalani hukuman tiga tahun, tetap saja tuntutan lima tahun itu melekat dalam curriculum vitae Julius. Karenanya, ia mencoba membawa permasalahan ini ke MK.

Di MK, persoalan ini bukanlah hal yang baru. Henry Yosodiningrat dan Budiman Sudjatmiko pernah mengajukan permohonan serupa. Mereka mempersoalkan lima undang-undang sekaligus yang mencatumkan persyaratan itu. Baik Henry maupun Budiman pernah di penjara dengan tuntutan lima tahun.

Meski begitu, riwayat “kejahatan” mereka berbeda. Henry pernah menabrak seseorang akibat unsur kekuranghati-hatian atau kealpaan ringan (culpa levis). Sedangkan Budiman, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) pernah dipidana lantaran perbedaan pandangan politik dengan penguasa.

Kala itu, MK memang menolak permohonan Henry dan Budiman. Tapi, Mereka bisa tersenyum puas. Pasalnya, MK tak lupa mencantumkan conditionally constitutional dalam putusan tersebut. Artinya, syarat belum pernah dipidana dengan ancaman tuntutan lima tahun itu tetap konstitusional asal tak menyangkut kejahatan politik dan kealpaan ringan.

Di putusan Julius Daniel Elias Kaat ini, MK pun kembali menegaskan pendiriannya itu. “Dikecualikannya seseorang yang pernah melakukan kealpaan ringan (culpa levis) dan mereka yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana politik dalam pengertian politieke overtuiging sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik bukanlah dikarenakannya pertimbangan ancaman pidananya, yaitu di bawah lima tahun, melainkan karena tidak terdapatnya sifat jahat atau moralitas kriminal dalam kedua perbuatan tersebut,” ucap Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membaca pertimbangan mahkamah, di ruang sidang MK, Kamis (10/7).

Kedudukan UU

Selanjutnya, majelis juga sempat “mengkritik” argumentasi pemohon yang menyatakan pembatasan tersebut seharusnya melalui putusan pengadilan yang inkracht, bukan berdasarkan undang-undang (UU). “Disadari atau tidak, dengan argumentasinya bahwa pengadilanlah yang berwenang mencabut hak pilih seseorang, pemohon sesungguhnya telah mengingkari logika berpikirnya sendiri,” ujarnya.

Palguna mengatakan dalam tradisi civil law, tradisi hukum yang juga berlaku di Indonesia, UU justru memiliki kedudukan hukum lebih tinggi sebagai sumber hukum, yaitu sebagai salah satu sumber hukum utama (primary sources of law). Sedangkan putusan pengadilan hanyalah sebagai salah satu sumber sekunder (secondary sources of law).

“Lagi pula, dalam hal-hal tertentu, putusan-putusan pengadilan di negara-negara yang penganut tradisi civil law lebih merupakan konkretisasi dari sesuatu yang telah diatur dalam undang-undang,” jelas Palguna.

Sementara itu, kuasa hukum pemohon Hendra K Hentas mengaku menerima putusan ini dengan legowo.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19687&cl=Berita

Proses Lolosnya Tujuh Anggota LPSK
[10/7/08]

Tujuh nama terpilih dari empat belas calon anggota LPSK akan “diboyong” ke Bamus. Setelah itu, ketua DPR dapat mengajukannya ke presiden untuk segera disahkan dan dilantik.

Sempat tertunda setahun, akhirnya uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) tereksekusi. Empat belas nama yang muncul, mengerucut menjadi tujuh dalam waktu tiga hari saja. Komisi III DPR menguji keempat belas calon tersebut mulai Senin (07/7) hingga Rabu (09/7). Hari pertama enam calon, hari kedua empat, dan terakhir juga empat.

Berbagai materi pertanyaan dilontarkan. Seringkali anggota dewan menghubung-hubungkan pertanyaan dengan latar belakang si calon. Seperti Teguh Sudarsono –salah satu calon dari unsur Polri- yang ditanyai berulangkali mengenai stigma polisi sebagai penegak hukum yang buruk, padahal ia mau menjadi anggota LPSK.

Atas pertanyaan-pertanyaan yang sedikit nyelekit itu, Teguh dengan getir mengatakan bahwa tidak adil mencap semua polisi buruk karena menurutnya masih banyak juga polisi yang baik. “Mohon dalam fit and proper test ini saya tidak digeneralisir dengan polisi-polisi berstigma buruk seperti itu,” katanya.

Contoh lain, Yoostha Silalahi. Ia ditanyai seputar kontribusi apa yang dapat diberikan imigrasi untuk membantu kerja LPSK, mengingat latar belakang Yoostha yang sudah cukup lama bergelut di bidang keimigrasian Depkumham. “Nantinya perwakilan imigrasi Indonesia di luar negeri dapat menampung dan meneruskan klaim-klaim Warga Negara Indonesia (WNI) di sana,” gagas Yoostha.

Dua orang ini adalah kontestan hari terakhir bersama RM Sindhu Krishno yang juga pensiunan PNS dan Sugiyanto Andreas (pensiunan Polri). Sebenarnya, masih ada beberapa unsur lainnya, seperti advokat, LSM, jurnalis, akademisi, dan kejaksaan. Namun, mereka kebagian menjalani fit and proper test dua hari sebelumnya. Setelah berlangsung empat sesi selama tujuh setengah jam dipotong rehat, akhirnya tiba pemungutan suara. Dari 48 anggota dewan, enam orang tidak bisa hadir. “Jadi, hanya 42 orang yang memberikan suaranya,” kata Trimedya Panjaitan selaku pimpinan sidang.

Satu per satu anggota dewan dipanggil dan memasukan kertas suara ke dalam kotak. Di tengah-tengah pemungutan, dua orang anggota dewan, Benny K Harman dan Aulia Rachman datang. Tapi, mereka tidak diberi kertas suara. Trimedya hanya sekedar menginformasikan kedatangan kedua anggota dewan.

Usai pemungutan, penghitungan kertas suara disaksikan oleh wakil tujuh fraksi. Ada 42 kertas suara yang masing-masing berisi empat belas nama calon anggota LPSK. Anggota dewan yang memberikan suara harus memilih tujuh kandidat, tidak boleh kurang atau lebih. Isi kertas suara dibacakan satu per satu diiringi ketukan palu Trimedya, sebagai penanda sahnya kertas suara tersebut.

Berdebat Gara-Gara Telat

Ketika ingin diakumulasikan, tiba-tiba Trimedya menanyakan kepada seluruh anggota dewan yang hadir, apakah Benny dan Aulia dapat berkontribusi memberikan suara berhubung keduanya ngotot ingin gunakan hak suaranya. “Saya datang sebelum acara usai dan pak ketua tau itu. Jadi, saya menuntut hak saya untuk memberikan suara,” kata Benny.

Sempat terjadi perdebatan lama karena sebagian anggota dewan tidak setuju kedua orang yang terlambat itu memberikan suara di tengah-tengah penghitungan suara. Di tengah perdebatan itu, Trimedya mengatakan karena hal ini tidak diatur dalam tata tertib pleno, maka sebaiknya dilakukan voting. Panda Nababan tetap tidak setuju. Ia bersikeras Benny dan Aulia tidak bisa menggunakan hak suaranya, kecuali pemungutan suara ini benar-benar diulang dari awal. “Ketua, kalau ada yang terlambat pemilihan harus diulang lagi,” katanya.

Tapi, Trimedya mengambil jalan tengah dengan tetap melakukan voting untuk menentukan apakah dua anggota dewan yang terlambat ini boleh memberikan suara atau tidak. Ternyata sebagian besar mereka menyetujui, sehingga dua orang ini langsung diberi kertas suara untuk memilih. Alhasil, jumlah pemilih yang semula 42 orang bertambah menjadi 44 orang. Sebenarnya sama sekali tidak merubah substansi, karena tetap saja tujuh orang terpilih tidak berubah kedudukannya. Tujuh calon terpilih, dua berasal dari unsur Polri, dua dari LSM, satu advokat, akademisi, dan PNS.

Calon Terpilih

Latar Belakang

Jumlah Suara

Teguh Soedarsono

Pensiunan Polri

44

Abdul Haris Semendawai

LSM

43

Myra Diarsi

LSM

42

I Ktut Sudiharsa

Pensiunan Polri

26

Lies Sulistiani

Dosen

26

Lili Pantauli

Advokat

22

RM Sindhu Krishno

Pensiunan PNS

21

Dengan ini, Trimedya menutup perhelatan dan mengatakan bahwa nama-nama yang terpilih akan dilaporkan ke Badan Musyawarah (Bamus). Ia berharap agenda akan berjalan sesuai rencana, dan pada Selasa (15/7) mendatang sudah disetujui di Rapat Paripurna DPR. Selanjutnya DPR mengirimkan ketujuh nama tersebut kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai anggota LPSK.

Trimedya mengatakan akan berkolaborasi dengan Menhukham untuk memantau kerja tujuh anggota LPSK ini karena seleksi awal dilakukan oleh Dephukham. Selain itu, politisi PDI Perjuangan ini berharap agar tujuh orang yang ditetapkan DPR ini tidak begitu mengecewakan nantinya. “Karena konfigurasi yang disyaratkan UU No.13 Tahun 2006 tidak bisa terpenuhi. Harus ada unsur Depkumham, kepolisian, kejaksaan, LSM, advokat, dan akademisi”.

Tapi, walau semua unsur tidak terpenuhi, Koalisi Perlindungan Saksi yang sedari awal memantau proses pemilihan calon anggota LPSK ini cukup senang dengan terpilihnya empat calon rekomendasi mereka. Abdul Haris Semendawai, Myra Diarsi, I Ktut Sudiharsa, dan Lies Sulistiani.

Tiga orang sisanya, menurut Emerson Yuntho yang ditemui bersama kolega-koleganya usai penghitungan suara, memang sama sekali tidak ada dalam prediksi mereka. Namun, bukan berarti tidak layak. Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW ini mengatakan mereka memiliki tiga kategori, sangat rekomendasi, rekomendasi, dan tidak rekomendasi. “Empat orang itu berada dalam kategori sangat rekomendasi koalisi,” katanya.

Pokoknya siapapun yang sudah terpilih, menurut Indria Fernida, harus menjalankan tugasnya dengan baik karena ekspektasi korban pelanggaran HAM, korupsi, dan pidana khusus lainnya begitu besar terhadap lembaga ini. Selain itu, LPSK ini adalah lembaga pertama dan cukup strategis. Makanya, ada satu prioritas yang menurut koalisi harus ditekankan. “Untuk bekerja sama, berhadapan, langsung dengan korban, bahkan mulai mengenal korban sejak awal,” pungkas Kepala Bidang Operasional Kontras ini.

(Nov)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19684&cl=Berita

Warga AS Tolak Perang dengan Iran

Kamis, 10 Jul 08 17:22 WIB


Sekitar seratus orang aktivis anti-perang AS melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Kongres negara bagian Minnesota. Mereka menyatakan menentang rancangan undang-undang tentang seruan agar angkatan laut AS melakukan blokade terhadap Iran. Para pengunjuk rasa itu khawatir, tindakan tersebut akan memicu perang antara AS dan Negara Republik Islam Iran.

"Saat ini ada indikasi bahwa pemerintah ingin memulai perang dengan Iran. Dan mereka sedang merancang alasan untuk memulai perang serta membentuk opini publik agar siap menghadapi perang itu, " kata Omeid Mohsseini-juru bicara aksi unjuk rasa-warga negara AS keturunan Iran.

Ia melanjutkan, "Dengan resolusi-resolusi baru ini, mereka akan memblokade kapal-kapal Iran, perdagangan, semuanya. Dan hal itu bisa memicu perang."

Para aktivis anti-perang itu mendesak Senator Amy Klobuchar dan Norm Coleman, serta anggota Kongres Jim Ramstad menarik dukungan atas draft undang-undang yang saat ini sedang ditunda pembahasannya di Kongres AS. Draft tersebut diajukan oleh anggota DPR dan Senat AS, berisi seruan agar pemerintah AS menerapkan sanksi yang lebih berat pada Iran.
Salah butir draft bernomer H. Res 362, berisi desakan agar Presiden AS memperketat inspeksi pada semua orang, kendaraan, kapal-kapal, pesawat, kereta dan kargo yang menuju atau dari Iran.

Dalam aksi damai yang dikordinir oleh organisasi perdamaian lokal serta organisasi Woman Against Military Madness, putera Keith Ellison-Muslim AS pertama yang terpilih menjadi anggota Kongres-membacakan pernyataan dukungan dari ayahnya.

Sementara Mohssenini mengatakan, ia menentang konfrontasi AS dengan Iran baik sebagai orang Iran sekaligus warga negara Amerika. "Pertama, saya adalah orang Iran dan keluarga, sahabat serta kerabat saya masih tinggal di Iran dan saya sangat peduli dengan keselamatan mereka, " tukas Mohsseini.

"Kedua, saya warga negara Amerika dan saya prihatin dengan kejahatan-kejahatan yang bisa dilakukan atas nama saya, seperti AS telah melakukannya di Irak, Afghanistan dan wilayah-wilayah lainnya, " sambung Mohsseini.

Wakil dari para veteran perang dari Minneapolis, Andy Burman juga menentang perang dengan Iran. "Perang dengan Iran akan menjadi tragedi bagi rakyat AS dan bagi rakyat Iran. Perang itu juga akan memperburuk stabilitas perdamaian tidak hanya di Timur Tengah tapi juga seluruh dunia, " kata Burman setelah memberikan orasinya.

Burman menuding Kongres dan pemerintahan Bush sedang berusaha membayar kekalahan mereka dalam perang di Irak, dengan mengobarkan perang lainnya dengan Iran.

Burman juga mengecam lembaga American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang ikut berperan dalam upaya mengobarkan perang dengan Iran. "Mereka (AIPAC) tidak mewakili keinginan kalangan Yahudi Amerika yang sangat menginginkan perdamaian, " tukas Burman yang juga keturunan Yahudi. (ln/iol)

http://www.eramuslim.com/berita/int/8710172051-warga-as-tolak-perang-dengan-iran.htm

Buruh Hanya Menang di Atas Kertas
Putusan PHI:

[9/6/08]

Jika Anda adalah kaum buruh yang menang di meja hijau, jangan senang dulu. Amar putusan hakim yang tidak tegas mengakibatkan buruh harus kembali berkutat dengan formalitas dan prosedural hukum acara perdata.

Sebuah pesan singkat nyelonong, pekan silam (4/6). Isinya, “Keputusan PHI telah dibacakan tanggal 6 Mei 2008. Para penggugat menang, 62 pekerja RSPP wajib diangkat jadi karyawan tetap. Tapi pihak perusahaan hingga detik ini belum menyikapi putusan PHI tersebut.” Pengirimnya adalah Wesday Istiadi, Wakil Ketua Forum Aliansi Pekerja Independen (FAPI). Forum itu merupakan serikat pekerja rumah sakit tempat para presiden dan pejabat teras lainnya langganan itu.

Wesday nampaknya hendak mencurahkan keluh kesahnya. Ini buntut dari kisah sebulan lalu. Gedung Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Kamis, 6 Mei 2008 menjadi saksi bisu atas kemenangan Imron Hakim dan ke-61 temannya. Hari itu, majelis hakim baru saja memenangkan sebagian gugatan Imron dkk. Dalam putusannya, hakim menghukum Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) untuk mengangkat Imron Hakim cs menjadi karyawan tetapnya.

Imron Hakim dkk adalah karyawan outsourcing yang bekerja di RSPP sebagai petugas Laboratorium, asisten perawat dan tenaga administrasi. Mereka dipekerjakan oleh Koperasi RSPP yang bertindak sebagai penyedia tenaga kerja (agen).

Sebulan berlalu sejak putusan hakim dibacakan. Bagaimana kelanjutan nasib mereka? Sudahkah mereka dipekerjakan dan diangkat sebagai karyawan tetap di rumah sakit yang terletak di bilangan Bulungan, Jakarta Selatan itu?

Pertemuan hukumonline dengan Imron pada akhir pekan lalu menjawab pertanyaan di atas. Ternyata hingga kini, nasib mereka masih terkatung-katung. Pihak RSPP belum bersedia menjalankan putusan. “Kami hanya menang di atas kertas. Selebihnya tidak,” keluh Imron Hakim yang juga Ketua FAPI RSPP itu.

Rama Hendrata Adam, kuasa hukum Imron dkk, kepada hukumonline mengatakan bahwa RSPP terlihat tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan putusan. Suatu kondisi yang ironis. Padahal, putusan hakim dalam perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Purbadi Hardjoprajitno, kuasa hukum RSPP membantah tudingan yang menyatakan bahwa RSPP mengulur-ulur atau bahkan tidak menggubris putusan hakim. “Kami sedang mencoba upaya-upaya yang terbaik bagi kedua pihak,” jelas Purbadi via telepon, Sabtu (7/5). Sayang, ia enggan menjelaskan lebih jauh upaya apa yang dimaksud.

Setengah hati?

Pengajar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, Yogo Pamungkas, memiliki analisis tersendiri mengenai sulitnya putusan perkara ini untuk dieksekusi. Menurutnya, bunyi amar putusan hakim adalah sumber kesulitan itu.

Hakim dalam amar putusannya antara lain menyebutkan, menghukum para tergugat untuk mengangkat para tergugat sebagai karyawan tetap RSPP (tergugat II). Menurut Yogo, amar putusan hakim ini mengakibatkan buruh harus mengeluarkan energi tambahan untuk bisa mencicipi hasil kemenangannya. “Karena buruh harus menunggu surat pengangkatan dari RSPP terlebih dulu.”

Yogo lantas membandingkan dengan ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di dalam UU Ketenegakerjaan (UU 13/2003). Jika ada buruh PKWT yang terikat kontrak untuk ketiga kalinya tanpa ada jeda waktu, maka demi hukum statusnya berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Dalam perkara ini, masih menurut Yogo, seharusnya hakim mengeluarkan amar putusan yang tegas. “Lebih tepat jika hakim dalam amar putusannya langsung menyatakan status para buruh sebagai pegawai tetap. Sedang dalam amar yang lain memerintahkan RSPP untuk mempekerjakan kembali,” tandasnya.

Yoni A Setyono memiliki pendapat lain. Pengajar Hukum Acara Perdata Universitas Indonesia ini menyoroti ketiadaan uang paksa (dwangsom) dalam amar putusan sebagai penyebab berlarutnya eksekusi terhadap putusan. Menurutnya, dwangsom adalah hal lazim yang dikenal di hukum acara perdata untuk memaksa pihak yang dihukum melaksanakan putusan sesegera mungkin.

Ketiadaan dwangsom di dalam amar putusan hakim ini tidak lain karena penggugat tidak mencantumkannya di dalam petitum gugatan. “Karena tuntutan kami bukan mempermasalahkan mengenai materi,” terang Rama.

Kuras tenaga

Pendapat Yogo mengenai perlunya buruh mengeluarkan energi ekstra, tampaknya benar. Para buruh harus kembali menguras energi, waktu dan bahkan biaya untuk memperjuangkan haknya.

Yoni mengutarakan, secara formal, ada beberapa tahapan di dalam hukum acara perdata yang harus dilalui pihak yang menang berperkara. Jika semua persyaratan administratif terpenuhi, pengadilan membuat penetapan memerintahkan juru sita untuk melakukan panggilan (aanmaning) dalam 8 hari secara suka rela. “Aanmaning dilakukan dua sampai tiga kali. Walau kadang bisa hanya sekali,” ungkapnya.

Bila pihak terhukum masih mengacuhkan aanmaning, lanjut Yoni, maka pihak yang menang berperkara bisa mengajukan permohonan eksekusi.

Meski menguras energi, upaya yang disebutkan Yoni di atas sepertinya mau tidak mau harus dilakoni Imron Hakim cs. “Kami sudah mengajukan permohonan aanmaning. Mudah-mudahan saja ditanggapi. Kasihan teman-teman (Imron cs) ini,” Rama berharap.

(IHW/Ycb)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19441&cl=Berita

Perjuangan Tiada Henti

PHI Tolak Praktik ’Outsourcing’ di RS Pusat Pertamina
[7/5/08]

Ketiadaan perjanjian pemborongan pekerjaan mengakibatkan hakim tidak mengkualifisir telah terjadi praktik outsourcing di RSPP. Namun hakim memerintahkan agar RSPP segera mengangkat status pekerja menjadi pekerja tetap karena para pekerja sudah menjalani pekerjaan secara terus menerus.

Puluhan perempuan itu tidak bisa menahan tangis. Serempak mereka menyeka air mata yang tumpah sedikit demi sedikit. Untunglah, tangis mereka tidak meledak di ruang sidang. Malah kemudian ada yang tersenyum. Ini adalah tangis bahagia.

Begitulah ekspresi sebagian mantan pekerja di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta usai mendengar putusan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pada Selasa (7/5). Para pekerja perempuan tak bisa menahan haru, sedang yang pria tak kuasa meluapkan kegembiraannya dengan mengucap takbir.

Pemandangan itu terjadi setelah majelis hakim yang diketuai Lexsi Mamonto beranggotakan Junaedi dan Sri Razziaty Ischaya, mengabulkan sebagian gugatan para mantan pekerja RSPP ini. Dalam putusannya, majelis hakim PHI memerintahkan agar RSPP segera mengangkat para mantan pekerjanya ini sebagai karyawan tetap.

Perkara ini bermula ketika pada 1992, RSPP yang kini status badan hukumnya sebagai PT Pertamina Bina Medika (Pertamika) menggandeng Koperasi Pegawai RSPP (Koperasi) untuk menyediakan jasa tenaga kerja. Pada akhirnya Koperasi RSPP bertindak sebagai agen penyalur tenaga kerja yang jumlahnya mencapai 150 orang dengan posisi sebagai administrasi, kurir ambulan dan asisten perawat (nurse aid).

Ketika UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) diberlakukan, para pekerja itu mulai sadar ada yang salah dalam proses kerja mereka. Praktik hubungan kerja yang mereka alami saat itu tidak lain adalah bentuk outsourcing. Bergegaslah mereka membentuk serikat pekerja yang dinamai Serikat Pekerja Forum Aliansi Pekerja Independen RSPP (FAPI).

Dalam perjalanannya, FAPI memperjuangkan agar anggotanya segera diangkat menjadi pegawai tetap RSPP. Sebelumnya mereka merasa status ketenagakerjaan mereka tidak jelas. “Tidak pernah ada perjanjian atau kesepakatan mengenai hubungan kerja kami, baik dengan RSPP maupun koperasi,” kata Wesday Istiadi, Wakil Ketua FAPI kepada hukumonline sebelum persidangan.

Nyatanya, hingga kini pihak RSPP enggan mengangkat status para pekerja itu. Di sisi lain, Koperasi hanya berani memberikan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk periode Januari hingga Desember 2006. Sebelum dan sesudah periode itu, para pekerja itu tidak dilindungi dengan perjanjian kerja. “Keadaan ini sangat berbahaya ketika RSPP tidak lagi memakai jasa Koperasi,” imbuh Wesday.

Benar saja. Setelah berulang kali menggelar unjuk rasa, perundingan secara bipartit hingga mediasi ke Disnaker DKI Jakarta, pihak RSPP dan Koperasi bergeming atas tuntutan pekerja. Ketika perselisihan mereka bergulir ke PHI Jakarta, RSPP ternyata sudah menjajaki kesepakatan baru dengan agen penyedia jasa pekerja lainnya. “Resmi terhitung 1 Mei lalu kami menganggur karena kontrak RSPP dengan Koperasi berakhir. RSPP bekerja sama dengan PT SSS. Kami hanya dikasih uang tiga bulan gaji. Padahal rata-rata usia kerja kami adalah enam sampai delapan tahun. Bahkan ada yang 16 tahun,” tutur Wesday.

Tidak Ada Outsourcing

Sebelum disidangkan PHI, perkara ini diperiksa oleh mediator di Disnakertrans DKI Jakarta. Saat itu Disnakertrans menganjurkan agar RSPP maupun Pertamedika mengangkat status hubungan kerja menjadi pegawai tetap dengan pertimbangan jenis pekerjaan yang dijalani para pekerja itu adalah bersifat tetap dan terus menerus.

Jika mediator Disnakertrans Jakarta sudah melihat adanya praktik outsourcing di RSPP, tidak demikian dengan hakim PHI. Hal itu terjadi karena, “Tidak adanya bukti tentang perjanjian pemborongan pekerjaan sehingga pengalihan pekerjaan itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Junaedi, anggota majelis hakim. Padahal pasal 65 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan tegas mengatur mengenai dibutuhkannya perjanjian tertulis ketika ada pengalihan pekerjaan.

Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan ketentuan pasal 66 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan pekerja outsourcing tidak boleh dipekerjakan dalam kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Pekerja outsourcing hanya boleh ditempatkan di kegiatan penunjang.

Lebih jauh pasal 6 Ayat (3) Kepmenakertrans No. 220 Tahun 2004 mengatur tentang kewajiban perusahaan pemberi kerja untuk melaporkan ke instansi ketenagakerjaan terkait perihal alur proses pelaksanaan pekerjaan dan pembedaan jenis pekerjaan yang pokok dengan yang penunjang. “Sementara terungkap bahwa RSPP dan atau Pertamina Bina Medika tidak pernah melapor ke Disnakertrans untuk membedakan mana yang pekerjaan pokok, mana yang penunjang,” sambung Junaedi.

Lantaran tidak memiliki perjanjian pemborongan kerja, Koperasi tidak mengantongi izin sebagai penyedia jasa pekerja dan juga tidak mendeklarasikan mengenai pembedaan pekerjaan pokok dan penunjang itu, maka hakim berpendapat tidak ada praktik outsourcing dalam perkara ini. “Berdasarkan Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan, demi hukum status hubungan kerja berlaih dari koperasi ke RSPP,” simpul hakim.

Terus-menerus

Meski tidak menyatakan adanya outsourcing, hakim melihat adanya praktek janggal dalam hubungan kerja di RSPP ini. Mengenai lamanya para pekerja 'mengabdi' di RSPP misalnya. Majelis hakim menilai para pekerja sudah bekerja lebih dari masa kerja yang dibolehkan dalam PKWT, yakni tiga tahun.

Mengacu pada pasal 56 UU Ketenagakerjaan, majelis hakim juga menilai jenis pekerjaan para penggugat, yakni adminstrasi, kurir ambulance dan asisten perawat, tidak termasuk salah satu dari empat jenis pekerjaan yang boleh di-PKWT-kan. “Sehingga dengan sendirinya dan demi hukum, status perjanjian kerja para penggugat berubah dari PKWT menjadi PKWTT.”

Sejauh ini baik pihak RSPP maupun Koperasi enggan berkomentar banyak. Penanggung jawab Koperasi, dr Widya Sarkawi malah mengaku belum mengetahui putusan PHI. Namun ia membenarkan kabar perihal tidak adanya lagi kerja sama pemborongan pekerjaan antara Koperasi dengan RSPP.

Purbadi Hardjoprajitno, kuasa hukum RSPP mengaku sudah melihat beberapa kesalahan majelis hakim dalam membikin putusan. “Tapi saya belum bisa ungkapkan kepada publik karena saya harus konsultasikan dulu dengan klien saya,” ujar Purbadi melalui telepon pada Rabu (7/5). Demikian pula dengan PJS Dirut RSPP, dr Djoko Sanyoto yang belum bersedia menanggapi putusan hakim.

Berdasarkan catatan hukumonline, perkara serupa juga pernah diputus oleh PHI Jakarta. Suatu saat, hakim memerintahkan agar PT Jakarta International Container (JICT) mengangkat 20 karyawan yang di-outsource dari PT Philia Mandiri Sejahtera (PMS) sebagai pekerja tetap. Pertimbangan hakimnya pun hampir mirip, yaitu ketiadaan izin bagi PMS sebagai penyedia jasa tenaga kerja dan jenis pekerjaan yang di-outsource ternyata adalah pekerjaan tetap dan terus menerus.

Ahli Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono pernah menuturkan kepada hukumonline mengenai tidak sinkronnya beberapa rumusan di dalam UU Ketenagakerjaan, Mengenai outsourcing misalnya. Definisi hubungan kerja di dalam outsourcing maupun definisi hubungan kerja secara umum ternyata tidak nyambung.

Hubungan kerja dalam outsourcing hanya didefinisikan sebagai hubungan antara buruh dengan perusahaan penyedia jasa buruh (agen), bukan antara buruh dengan pemberi kerja (user). Ketentuan itu tidak sinkron dengan definisi hubungan kerja secara umum yang mensyaratkan adanya upah, perintah dan pekerjaan.

Lebih jauh Aloysius berpendapat, dalam outsourcing hubungan kerja secara otomatis berpindah ke user. Hal itu karena unsur perintah dan pekerjaan berasal dari user. Sementara unsur upah, meski yang membayarkan kepada buruh adalah agen, namun uangnya berasal dari user.

(IHW)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19179&cl=Berita