Minggu, 03 Agustus 2008

Disfungsi Parpol Berbuah Masyarakat Apatis

[1/8/08]

Tidak maksimalnya fungsi Parpol juga terjadi terkait dengan maraknya konflik internal yang mengarah pada disintegrasi Parpol.

Transisi politik dari rezim Orde Baru yang represif ke era baru yang lebih demokratis memang merupakan salah satu produk Gerakan Reformasi 1998. Momen satu dasawarsa gerakan reformasi ini kemudian menjadi momen penting untuk merefleksikan hasil reformasi yang ternyata hanya berhasil di bidang politik.

Pemikiran-pemikiran tersebut lahir berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan oleh The Habibie Center (THC). Uji coba “Indeks” Demokrasi THC ini dipaparkan oleh Direktur Eksekutif THC Ahmad Watik dalam Seminar “Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009,” Jakarta, Kamis (31/7).

Reformasi di bidang politik ini ditandai dengan adanya perubahan sistem kepartaian di Indonesia. Sejak Pemilu 1999, Indonesia kembali menganut sistem multipartai, ungkap Research Manager THC Siti Zuhro. Ia menjelaskan jumlah tiga partai di bawah pemerintahan Orde Baru meningkat menjadi 48 Partai dalam Pemilu 1999. Meski pada Pemilu 2004 jumlah tersebut menurun setengahnya menjadi 24 partai, pada Pemilu 2009 terjadi peningkatan lagi menjadi 34 Partai Politik.

Lebih lanjut, Siti memaparkan tentang tidak berjalannya fungsi Parpol secara maksimal. Parpol tidak menjalankan fungsi pendidikannya dengan maksimal. Kinerja edukasi parpol hanya terbatas pada urusan internal partai seperti pengkaderan dan pelatihan. Hal ini menjadikan masyarakat ibarat belajar politik secara otodidak.

Fungsi komunikasi Parpol pun belum maksimal, ujar Siti, yang akrab dipanggil Wiwiq. Berdasarkan dokumen yang diterbitkan Parpol, acara reses lebih banyak digunakan sebagai sarana menarik suara masyarakat dan aktivitas kaderisasi. Wiwiq menjelaskan aspirasi dan kepentingan rakyat belum ditampung dan dijembatani secara konkret. “Fungsi agregasi Parpol belum maksimal,” tambahnya.

Tidak maksimalnya fungsi Parpol juga terjadi terkait dengan maraknya konflik internal yang mengarah pada disintegrasi Parpol. Wiwiq menambahkan Parpol belum maksimal dan belum fokus. “Fokus parpol hanya pada ajang perebutan kekuasaan,” tambahnya. Hal ini pun mempengaruhi kerja representasi mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ujar Wiwiq. “Hak angket, misalnya, terpolarisasi berdasarkan kekuatan partai oposisi dan bukan partai pendukung pemerintah,” ucapnya memberi contoh. Hal ini pun mengurangi akuntabilitas dan kredibilitas Parpol di DPR.

Tidak maksimalnya fungsi Parpol dan DPR ini membawa masyarakat kita ke suatu fenomena baru. “Ada pergeseran pemikiran dari pemikiran yang tradisional menjadi pemikiran yang rasional,” ujar Wiwiq. Pergeseran ini ditandai dengan tidak dipilihnya partai-partai besar dan maraknya kemenangan partai-partai kecil pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), seperti di Jawa Timur.

Fenomena lainnya adalah gerakan apatisme, ujar Wiwiq. “Kondisi ini menyebabkan menurunnya legitimasi parpol yang disertai dengan meningkatnya apatisme masyarakat terhadap Parpol,” ujarnya. Legitimasi parpol yang rendah juga diamini oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI) Saiful Mujani.

Sementara, Anggota DPR Ferry Mursyidan Baldan mengemukakan fenomena munculnya calon-calon independen. “Calon-calon ini umumnya muncul dari kalangan yang tidak mau berpartai, tetapi tetap mau berkuasa,” jelasnya. Menanggapi kurangnya kredibilitas dan akuntabilitas Parpol serta DPR, Ferry mengemukakan akan adanya usaha pendidikan politik selama massa kampanye. Selain itu, Parpol juga akan mengatur keuangan Parpol. “Keuangan Parpol sekarang sudah didesentralisir dan tidak lagi tersentralisir,” ujar Ferry.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolkam) Widodo AS. mengharapkan hasil penelitian THC ini dapat menghimpun pandangan, pendapat, dan pemikiran yang kontributif bagi pengelolaan permasalahan bangsa ke depan, khususnya menyangkut suskses Pemilu 2009. Ia juga mengharapkan Pemilu mampu menjadi pilar konsolidasi demokrasi bangsa. Sementara Ferry menyatakan, “Hal ini bagus agar Pemilu tidak menjadi sekedar penggantian pemimpin, tapi merupakan proses berkelanjutan.”

Saiful Mujani menambahkan keinginan publik terhadap kesejahteraan rakyat harus menjadi perhatian substansi kampanye dan Pemilu 2009. Bila tidak ada yang mampu memberikan harapan secara masuk akal bagi perbaikan kesejahteraan publik, maka publik potensial akan menjadi apatis terhadap demokrasi dan terhadap Pemilu itu sendiri, ujar Saiful.

(M-3)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19837&cl=Berita

Tidak ada komentar: