Minggu, 03 Agustus 2008

Majelis Kasasi Vonis Adelin Lis 10 Tahun Penjara

Majelis Kasasi Vonis Adelin Lis 10 Tahun Penjara
[2/8/08]

Salah satu anggota majelis kasasi Djoko Sarwoko mengatakan hakim PN Medan telah salah menerapkan hukum. Ada sekitar 23 saksi maupun ahli penting yang keterangannya tak dipertimbangkan oleh majelis hakim tingkat pertama.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga mungkin sudah bisa tersenyum kali ini. Pasalnya, usaha Ritonga memburu Adelin Lis, pelaku illegal logging di kawasan Mandailing-Natal, dengan mengajukan kasasi telah berhasil. Majelis Kasasi akhirnya memvonis Adelin Lis bersalah. “Adelin divonis 10 tahun penjara,” ujar salah satu anggota majelis Djoko Sarwoko kepada hukumonline, Jumat (1/8). Selain itu, Adelin harus membayar uang pengganti sebesar Rp119,802 miliar subsider enam bulan penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.

Selain Djoko, anggota majelis hakim kasasi yang memvonis Adelin adalah Harifin A. Tumpa, Artidjo Alkostar, dan Mansyur Kartayasa. Sedangkan Ketua MA Bagir Manan bertindak sebagai ketua majelis kasasi ini.

Djoko menjelaskan pertimbangan majelis hakim kasasi memutus Adelin bersalah. “Pengadilan Negeri Medan (yang memvonis bebas Adelin Lis,-red) telah salah menerapkan hukum,” ujarnya. Di antaranya, terkait keterangan saksi dan ahli. Djoko mengatakan ada sekitar 23 saksi maupun ahli yang keterangannya tak menjadi dasar pertimbangan majelis hakim tingkat pertama itu. Padahal, menurut Djoko, keterangan saksi maupun ahli tersebut sangat penting.

Djoko menjelaskan saksi maupun ahli tersebut terdiri dari berbagai bidang. Mereka adalah dari pihak departemen kehutanan, kepolisian dan ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Juru Bicara MA ini mengatakan majelis hakim PN justru mendengarkan keterangan saksi yang sudah mencabut keterangannya, sedangkan keterangan saksi dan ahli yang penting tak dipertimbangkan.

Sebagai catatan, memori kasasi jaksa memang mempersoalkan keterangan saksi. Yaitu, terkait adanya perbedaan keterangan saksi hingga kesalahan menghitung jumlah kayu yang legal. Ritonga pernah menjelaskan, ada bukti bahwa jumlah kayu yang memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) berbeda dengan jumlah kayu yang diangkut ke kapal. Ia mencontohkan ada 10 kayu yang memiliki SKSHH, tetapi menurut catatan nakhoda kapal ada 15 kayu. “Penghitungan nakhoda dikesampingkan oleh hakim. Hakim beralasan penghitungan nakhoda tidak lazim dipakai sebagai bukti pengangkutan kayu,” ujar Ritonga kala itu.

Sedangkan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi, menambahkan Adelin juga dijerat karena persoalan hak penguasaan hutan (HPH). Nurhadi mengatakan pengelolaan HPH ada hak dan kewajibannya. “Untuk hak terkait pengelolaan hutan dan kewajiban menerima HPH itu harus melakukan tebang pilih setelah itu melakukan penanaman kembali,” katanya kepada wartawan di MA, Jumat (1/8). Ia mengatakan kewajiban itu bersifat konstitutif atau harus dilaksanakan.

Dalam kasus ini, lanjut Nurhadi, kewajiban konstitutif itu tidak dilaksanakan, sehingga izin HPH-nya menjadi bias. Hal ini menimbulkan akibat pada kerusakan hutan, lalu menyebabkan kerugian negara. Akibatnya, tambah Nurhadi, negara harus membayar penanaman kembali.

Kuasa Hukum Adelin Lis, Sakti Hasibuan mengkritik pertimbangan majelis kasasi ini. Menurutnya bila dianggap melanggar ketentuan harus ditanam kembali, tentunya harus ada pencabutan izin terlebih dahulu. Ia pun menganggap tindakan Adelin tersebut tak ada unsur tindak pidananya. “Itu kewenangan Menhut, dimana pidananya?” tuturnya melalui gagang telepon.

Apa yang diungkapkan oleh Sakti memang mirip dengan pertimbangan majelis hakim PN Medan. Salah satu pertimbangannya adalah perbuatan Adelin tidak masuk klasifikasi tindak pidana melainkan kelalaian administrasi. Artinya, kewenangan penindakannya ada di tangan Menteri Kehutanan bukan pengadilan.

Sayangnya, Sakti belum mau mengatakan upaya hukum apa yang akan dilakukan untuk membela kliennya. Ia mengaku masih menunggu salinan putusan untuk melihat pertimbangan hukum secara jelas. Setelah melihat pertimbangan hukum, Sakti akan mempelajarinya apa upaya hukum yang pas. “Apa yang bisa kita lakukan kalau pertimbangan hukumnya saja belum baca,” tambahnya.

Sulit Dieksekusi

Vonis berat untuk Adelin ini sontak mendapat sambutan hangat dari aktivis pemerhati lingkungan. Direktur Eksekutif The Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Rino Subagyo ikut angkat bicara. Rino menyambut baik putusan yang dikeluarkan para hakim agung ini. “Keberanian majelis kasasi memutus ini patut diacungi jempol ,” ujarnya.

Rino mengatakan meski secara normatif putusan ini sudah cukup baik, tapi ada persoalan selanjutnya. “Apakah ini bisa menghasilkan efek jera atau tidak, ini patut dipertanyakan,” tutunya. Masalah, lanjut Rino, si terpidana sudah terlanjur melarikan diri ke luar negari. Rino mengatakan secara yuridis, putusan ini sulit untuk dieksekusi. “Persoalannya apakah ini executable atau tidak,” tambahnya lagi.

Kasus ini memang bukan yang pertama kali. “Ini sama dengan kasus kebakaran hutan di Riau,” ujar Rino. Ia menceritakan kala itu terdakwa telah divonis bersalah oleh majelis hakim. Namun, karena terpidana berkewarganegaraan Malaysia ketika eksekusi akan dilakukan, si terpidana sudah telanjur pulang ke negaranya. Alhasil, eksekusi pun tak terjadi.

Hal serupa dikhawatirkan akan kembali terulang dalam kasus Adelin ini. Pasalnya, sejak diputus tak bersalah oleh PN Medan, Adelin bak hilang ditelan bumi. Kabarnya, Adelin pergi ke luar negeri. Bahkan, pengacaranya sekalipun tak mengetahui dimana kliennya berada. “Tanya saja dia, dimana kau sekarang. Kita tak pernah jumpa sejak dia berangkat,” ujar Sakti dengan logat Batak yang khas.

Posisi Sakti sebagai kuasa Adelin saat ini memang sedikit membingungkan. Di bilang sebagai kuasa hukum tapi tak tahu dimana kliennya berada, tapi dibilang bukan kuasa hukum namanya tetap tercantum di perkara kasasi di MA sebagai kuasa hukum Adelin. Namun, Sakti menjelaskan, dalam perkara pidana, seorang pengacara tak harus berhubungan dengan si terpidana. “Kan keluarganya berhak juga memberikan kuasa,” ujarnya. Artinya, selama ini, Sakti mengaku hanya berhubungan dengan pihak keluarga, termasuk istri Adelin.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19839&cl=Berita

Tidak ada komentar: