Jumat, 11 Juli 2008

PARADOKS HAM DAN KEBEBASAN BERAGAMA

PARADOKS

HAM DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Beberapa minggu terakhir ini, kita disuguhi oleh pemberitaan intensif seputar Jemaat Ahmadiyah. Setidaknya ada dua arus pendapat yang kuat mengemuka, yang pertama, pihak yang menginginkan tetap eksisnya Jemaat Ahmadiyah, sedangkan yang kedua adalah pihak yang menghendaki pembubaran jemaat tersebut. Mereka yang membela, berargumen bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah sesuatu yang absolut. Kebebasan beragama adalah sesuatu yang fundamental, sehingga tidak ada satu orang atau bahkan institusi seperti Negara yang berwenang mencampuri dan mencerabutnya. Negara bahkan harus menjadi pihak yang melindungi penganut agama. Sedangkan pihak yang lain menganggap bahwa Jemaat Ahmadiyah telah menistai agama islam, sehingga layak untuk dibubarkan. Kebebasan beragama, bagi kalangan ini, harus pula dimaknai kesanggupan untuk tidak mencederai pihak lain. Oleh karena itu, apabila kewajiban tersebut tidak terpenuhi, maka pembubaran Jemaat ahmadiyah tersebut adalah solusi yang paling tepat.

Arus pemikiran pertama adalah mereka yang menganut paham HAM yang bersifat universal. Kaum universalis menganggap bahwa HAM, seperti kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan lain-lain adalah harus sama dimanapun kita berada. Pada prinsipnya HAM sangat erat kaitannya dengan hak alamiah (natural right) yang melekat pada diri manusia, melampaui budaya, maupun aturan yang tertulis. Paham ini mengalami dialektika yang cukup panjang, bermula dari ide bahwa hak tersebut merupakan pemberian Tuhan hingga gagasan para pemikir abad pencerahan, bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia. Artinya, HAM bukan merupakan pemberian siapa pun, termasuk Tuhan. Sekularisasi gagasan mengenai HAM mencapai puncaknya ketika konsep pemisahan agama dan negara dikuatkan dalam instrumen hukum positif. Di Perancis, misalnya konsepsi itu teraplikasikan melalui undang-undang pemisahan agama dan negara tahun 1905. Bentuk alienasi HAM terhadap agama terwujud, misalnya, kebebasan hubungan seksual diluar nikah, yang secara revolusioner menjamur dinegara-negara Barat tiga dekade terakhir ini. Padahal, agama kriten maupun katolik yang merupakan agama mayoritas di daratan itu “mengharamkan” praktik demikian. Selain hubungan seksual diluar nikah tersebut, hak sipil lain yang dilegitimasi secara hukum disebagian negara Eropa, seperti Belanda dan Spanyol, adalah pernikahan sejenis (homoseksualitas) . Penganut paham universalis berpendapat, kecuali memberikan perlindungan, penegakan hak sipil mensyaratkan keterlibatan negara yang sangat minim dalam ruang privat. Dalam konteks Ahmadiyah, penganut universalis mendasarkan argumennya bahwa urusan keagamaan merupakan urusan antara seseorang dengan Penciptanya, oleh karena itu hak tersebut tidak dapat diusik oleh siapapun dan tidak dapat diusik dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Inkonsistensi Paham HAM yang Universal

Saya menilai, ada inkonsistensi gagasan ataupun praktik kaum universalis dalam memperjuangkan kemutlakan (absolutisme) penerapan HAM. Setidaknya melalui dua contoh yang akan saya paparkan berikut ini. Contoh pertama, kisah Profesor saya (seorang guru besar di bidang sejarah dan politik) dalam sebuah seminar besar di Yunani. Dua tahun lalu, saya dan Profesor saya berbincang-bincang tentang sesuatu yang hingga saat ini masih saya ingat dengan baik. Profesor saya tersebut menceritakan pengalamannya sebagai pembicara dalam sebuah seminar internasional di Yunani yang membahas tentang kompatibilitas islam dan demokrasi. Sebagian besar pembicara berpendapat konsepsi islam sering “bertabrakan” dengan demokrasi, mengingat praktik yang cenderung tidak demokratis disebagian negara muslim. Profesor saya ternyata memiliki pendapat yang tidak sama dengan suara mayoritas.

Sebagai hal yang menguatkan argumennya tersebut, dia melontarkan fakta yang terjadi di Yunani, negara tempat kelahiran paham demokrasi.. Dia mendasarkan argumennya dengan merujuk Konstitusi Yunani. Pasal 13 ayat (2) Konstitusi Yunani yang menyatakan bahwa “setiap (pemeluk) agama yang diakui, dan peribadatan yang dilakukan harus dilindungi oleh hukum. Praktik peribadatan yang mengancam ketertiban umum tidak diijinkan. Perbuatan proselytisme dilarang”. Proselytisme dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengajak orang lain memeluk agama tertentu, dalam bahasa islam dan konteks yang lebih spesifik, proselytisme dapat berarti berdakwah atau syiar agar orang tertarik secara langsung atau tidak langsung dengan islam. Pada saat itu profesor saya mencontohkan, kalau saya mengajak orang lain untuk memeluk islam, saya bisa dipenjara. Ketentuan ini, menurutnya, sebagai upaya untuk “tetap memurnikan” Yunani sebagai negara Kristen Ortodoks, mengingat 98 % pemeluknya adalah penganut agama tersebut. Sepertinya Profesor saya ingin mengatakan bahwa barat tidak boleh terus-menerus mencari kesalahan islam dan mengatakan islam tidak sejalan dengan demokrasi. Karena baginya setiap peradaban memiliki nilai yang khas yang berbeda dengan yang lain. Dalam konteks inilah, kita tidak dapat “menyerang” ketentuan Konstitusi Yunani meskipun tidak sejalan dengan prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Pada saat yang bersamaan, saya juga teringat kembali apa yang dikatakan Profesor Mahfud (hakim konstitusi) dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Konstitusi bukanlah sesuatu yang yang diangap benar atau pantas tetapi apa yang dianggap paling cocok bagi suatu negara.

Contoh kedua adalah Kasus Bruno GOLLNISCH, anggota parlemen Eropa, sekaligus Dosen Universitas Lyon III yang sempat “menghebohkan” Eropa tahun 2004 lalu. Kasus ini mencuat setelah dalam perkuliahannya dia menyatakan tidak menafikan keberadaan Kamp Konsentrasi, tetapi menurutnya para sejarahwan dapat mendiskusikan kembali jumlah yang meninggal didalam Kamp tersebut. Sebagaimana juga keberadaan Kamar Gas yang dianggap menjadi tempat pembunuhan massal bagi orang Yahudi, dia meragukan apakah telah terjadi pembunuhan massal sejumlah 5 juta orang Yahudi di Eropa. Karena perkataannya tersebut, dia dianggap sebagai negasioniste (orang yang “mengingkari”) terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan terhadap orang Yahudi di Eropa. Akibatnya, dia dihukum dengan diskors untuk tidak mengajar selama lima tahun. Seseorang yang meragukan atau menafikan telah terjadinya pelanggaran terhadap kamanusiaan terhadap orang Yahudi di Eropa dapat di “hukum” karena mengingkari “kebenaran” yang sudah disepakati dan diterima secara luas. Padahal, mengemukakan pendapat adalah suatu hak yang sangat mendasar. Hal ini mengungkapkan subjektivitas Eropa dalam membuat standarisasi. Atau mungkin, tetapi menunjukan bahwa HAM dibalik universalitasnya, memiliki keterbatasan dalam implementasinya.

Kelemahan Paham Relativisme Budaya

Dilain pihak, saya juga menyoroti kelemahan Paham relativisme yang absolut, yang tercermin dari gagasan pembubaran Ahmadiyah. Adapun arus pemikiran yang kedua, yang menginginkan pembubaran Jemaah Ahmadiyah, berdasar pada argumen bahwa HAM maupun aplikasinya bersifat relatif, yang sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, moralitas, agama dan yang lainnya. Setiap budaya, agama, suku bangsa, etnis, memiliki standar moral yang tidak sama satu sama lainnya. Olehkarenanya, satu hal yang dianggap baik oleh satu golongan, belum tentu baik bagi yang lainnya. Pandangan partikularis juga mengharuskan setiap orang yang menjadi bagian dari anggota masyarakat bisa menerima standar moral dimana dia berada. Pada saat yang bersamaan, masyarakat pada suatu wilayah tidak dapat pula memaksakan standar moralnya pada wilayah lain. Dengan kata lain, tidak ada standar moral universal yang menjadi acuan bersama. Kelemahan yang nyata dari Paham ini adalah kewenangan suatu negara atau bangsa untuk menentukan sendiri standar moralnya seringkali diterjemahkan sebagai otoritas suatu negara atau bangsa untuk berbuat sesuatu yang “melanggar” hak-hak yang dinilai fundamental, seperti pembatasan pemenuhan hak-hak sipil dan politik di Malaysia dan singapura (atas nama keamanan).

Apabila Paham universalis diusung oleh negara-negara Barat, maka paham relativis diperjuangkan oleh negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang menginginkan negara-negara Barat tidak ikut campur atas urusan dalam negerinya, terutama dalam menegakkan HAM di negaranya. Contoh yang terjadi di Mynmar sangat relevan dengan konteks ini. Dalam prespektif lain, Paham Universalis (Barat) dapat juga “dibenturkan” dengan Paham Partikularis atau relativis (Islam).Terlepas dari kerancuan penilaian Barat antara praktik negara islam dan ajaran islam itu sendiri, Barat menilai sebagian ajaran islam dinilai tidak kompatibel dengan HAM. Hal ini dilihat misalnya melalui berbagai fenomena yang terjadi di negara-negara muslim seperti pemerintahan yang korup, praktik poligami, kekerasan dalam rumah tangga, tingkat pendidikan yang rendah (terutama perempuan), dan lain-lain.

Jalan Tengah = Jalan Kompromi?

Dua kutub pemikiran yang ekstrem diatas, saya nilai bukan merupakan solusi terbaik dalam memecahkan masalah Jemaah ahmadiyah. Ada hal yang sangat substansial yang sama-sama “dilanggar’ oleh kedua arus pemikiran ini.

Dengan mempertahankan keberadaan Ahmadiyah dan sekaligus membiarkan penafsiran yang bertentangan dengan ajaran pokok islam, pada hakekatnya telah “menodai” ajaran islam. Kalangan ini juga telah “mengabaikan” pendapat sebagian besar organisasi masyarakat (ormas) islam, baik di tingkat nasional maupun internasional, dengan berpendapat bahwa perbedaan yang ada hanya dalam konteks penafsiran agama, bukan penyimpangan terhadap agama. Arus pemikir ini mungkin tidak memperhatikan, bahwa isu agama adalah isu yang sangat sensitif di negara ini, sebagaimana sensitifnya isu pernyataan tentang Pembataian masal Yahudi di Eropa. Apabila di Eropa, mengeluarkan pernyataan yang menentang ‘mainstream’, yaitu yang meragukan angka korban tewas di kamp gas adalah suatu pelanggaran, mengapa pada saat yang bersamaan, menganut dan mensyiarkan ajaran yang menyimpang dianggap sebagai bagian dari HAM? Melarangnya justru melanggar HAM?

Namun dilain pihak, keinginan sebagian kalangan untuk mendukung pembubaran Ahmadiyah juga pada hakekatnya telah menimbulkan potensi pelanggaran hak beragama. Apakah yang dimaksud dengan pembubaran jemaah ahmadiyah? Apakah pembubaran ini berarti membubarkan organisasi semata atau lebih dari itu, membubarkan dan melarang seorang penganut ajaran ahmadiyah untuk tetap menganut ajaran dan mensyiarkan tersebut? Apabila “pembubaran” yang dimaksud diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan eksistensi jemaah ini, melarang penganutnya untuk mensyiarkan, lalu “memaksakan” pengikut Ahmadiyah untuk “kembali” kepada ajaran islam, maka telah terjadi pelanggaran terhadap kebebasan setiap orang untuk memilih agamanya dan hidup dengan keyakinan agamanya tersebut.

Jalan tengah, sebagai salah satu prinsip yang dipopularkan Aristoteles (bahkan Rasulullah dengan mengatakan, bahwa umat islam adalah umat pertengahan) mungkin dapat menjadi solusi atas kasus yang sangat pelik ini. Lalu, apakah “kompromi” Pemerintah dengan membiarkan Jemaah Ahmadiyah tetap hidup dan dilindungi, tetapi melarang kegiatan syiar yang menafsiran ajaran agama islam berbeda dari pokok-pokok ajaran islam merupakan keputusan yang tepat? Saya berpendapat SKB hanya merupakan jalan keluar darurat, tetapi bukan merupakan jalan keluar permanen. Akan ada permasalahan yang dapat muncul seiring dengan pemberlakuan SKB ini. Siapakah yang dapat memantau praktik setiap pengikut ahmadiyah yang menjalankan ajaran Ahmadiyah dan memastikan bahwa praktik itu tidak menyimpang dari dari pokok-pokok ajaran islam? Apakah mungkin seseorang itu beragama tanpa melakukan syiar sekaligus? Dengan membiarkan pengikut ahmadiyah menjalankan agama islam yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam dan melarang syiar sesorang terhadap sesuatu yang diyakininya adalah dua hal yang kontradiktif dan memunculkan potensi pelanggaran hak asasi. Saya berpendapat, cara yang terbaik menghadapi polemik itu adalah, Pemerintah, atas dasar putusan pengadilan, menetapkan Ahmadiyah sebagai ajaran yang terpisah dari agama islam, sehingga membiarkan pihak ahmadiyah untuk tetap memeluk ajaran dan mensyiarkan ajarannya. Sehingga tidak ada kekhawatiran penistaan agama dan pelarangan hak yang paling fundamental, yaitu untuk memilih, menjalankan dan mensyiarkan “agama”nya itu. Dibalik ajaran HAM yang Universal itu ada sisi relativitasnya, pada saat yang bersamaan, Relativitas HAM harus mengandung dimensi universalitas. Oleh karenanya, Indonesia harus berani untuk mengambil keputusan dengan keluar dari pertentangan kedua pemikiran itu, dan yakin bahwa inilah cara Indonesia dalam menyelesaikan masalah ini dengan tetap memperhatikan hak kebebasan beragama, yang tidak hanya dilindungi oleh HAM, tetapi oleh agama yang ada di Indonesia ini, khususnya islam.

Pia, SH, MR (Aktifis PAHAM INDONESIA)

Tidak ada komentar: