Kamis, 10 Juli 2008

Perjuangan Tiada Henti

PHI Tolak Praktik ’Outsourcing’ di RS Pusat Pertamina
[7/5/08]

Ketiadaan perjanjian pemborongan pekerjaan mengakibatkan hakim tidak mengkualifisir telah terjadi praktik outsourcing di RSPP. Namun hakim memerintahkan agar RSPP segera mengangkat status pekerja menjadi pekerja tetap karena para pekerja sudah menjalani pekerjaan secara terus menerus.

Puluhan perempuan itu tidak bisa menahan tangis. Serempak mereka menyeka air mata yang tumpah sedikit demi sedikit. Untunglah, tangis mereka tidak meledak di ruang sidang. Malah kemudian ada yang tersenyum. Ini adalah tangis bahagia.

Begitulah ekspresi sebagian mantan pekerja di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta usai mendengar putusan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pada Selasa (7/5). Para pekerja perempuan tak bisa menahan haru, sedang yang pria tak kuasa meluapkan kegembiraannya dengan mengucap takbir.

Pemandangan itu terjadi setelah majelis hakim yang diketuai Lexsi Mamonto beranggotakan Junaedi dan Sri Razziaty Ischaya, mengabulkan sebagian gugatan para mantan pekerja RSPP ini. Dalam putusannya, majelis hakim PHI memerintahkan agar RSPP segera mengangkat para mantan pekerjanya ini sebagai karyawan tetap.

Perkara ini bermula ketika pada 1992, RSPP yang kini status badan hukumnya sebagai PT Pertamina Bina Medika (Pertamika) menggandeng Koperasi Pegawai RSPP (Koperasi) untuk menyediakan jasa tenaga kerja. Pada akhirnya Koperasi RSPP bertindak sebagai agen penyalur tenaga kerja yang jumlahnya mencapai 150 orang dengan posisi sebagai administrasi, kurir ambulan dan asisten perawat (nurse aid).

Ketika UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) diberlakukan, para pekerja itu mulai sadar ada yang salah dalam proses kerja mereka. Praktik hubungan kerja yang mereka alami saat itu tidak lain adalah bentuk outsourcing. Bergegaslah mereka membentuk serikat pekerja yang dinamai Serikat Pekerja Forum Aliansi Pekerja Independen RSPP (FAPI).

Dalam perjalanannya, FAPI memperjuangkan agar anggotanya segera diangkat menjadi pegawai tetap RSPP. Sebelumnya mereka merasa status ketenagakerjaan mereka tidak jelas. “Tidak pernah ada perjanjian atau kesepakatan mengenai hubungan kerja kami, baik dengan RSPP maupun koperasi,” kata Wesday Istiadi, Wakil Ketua FAPI kepada hukumonline sebelum persidangan.

Nyatanya, hingga kini pihak RSPP enggan mengangkat status para pekerja itu. Di sisi lain, Koperasi hanya berani memberikan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk periode Januari hingga Desember 2006. Sebelum dan sesudah periode itu, para pekerja itu tidak dilindungi dengan perjanjian kerja. “Keadaan ini sangat berbahaya ketika RSPP tidak lagi memakai jasa Koperasi,” imbuh Wesday.

Benar saja. Setelah berulang kali menggelar unjuk rasa, perundingan secara bipartit hingga mediasi ke Disnaker DKI Jakarta, pihak RSPP dan Koperasi bergeming atas tuntutan pekerja. Ketika perselisihan mereka bergulir ke PHI Jakarta, RSPP ternyata sudah menjajaki kesepakatan baru dengan agen penyedia jasa pekerja lainnya. “Resmi terhitung 1 Mei lalu kami menganggur karena kontrak RSPP dengan Koperasi berakhir. RSPP bekerja sama dengan PT SSS. Kami hanya dikasih uang tiga bulan gaji. Padahal rata-rata usia kerja kami adalah enam sampai delapan tahun. Bahkan ada yang 16 tahun,” tutur Wesday.

Tidak Ada Outsourcing

Sebelum disidangkan PHI, perkara ini diperiksa oleh mediator di Disnakertrans DKI Jakarta. Saat itu Disnakertrans menganjurkan agar RSPP maupun Pertamedika mengangkat status hubungan kerja menjadi pegawai tetap dengan pertimbangan jenis pekerjaan yang dijalani para pekerja itu adalah bersifat tetap dan terus menerus.

Jika mediator Disnakertrans Jakarta sudah melihat adanya praktik outsourcing di RSPP, tidak demikian dengan hakim PHI. Hal itu terjadi karena, “Tidak adanya bukti tentang perjanjian pemborongan pekerjaan sehingga pengalihan pekerjaan itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Junaedi, anggota majelis hakim. Padahal pasal 65 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan tegas mengatur mengenai dibutuhkannya perjanjian tertulis ketika ada pengalihan pekerjaan.

Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan ketentuan pasal 66 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan pekerja outsourcing tidak boleh dipekerjakan dalam kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Pekerja outsourcing hanya boleh ditempatkan di kegiatan penunjang.

Lebih jauh pasal 6 Ayat (3) Kepmenakertrans No. 220 Tahun 2004 mengatur tentang kewajiban perusahaan pemberi kerja untuk melaporkan ke instansi ketenagakerjaan terkait perihal alur proses pelaksanaan pekerjaan dan pembedaan jenis pekerjaan yang pokok dengan yang penunjang. “Sementara terungkap bahwa RSPP dan atau Pertamina Bina Medika tidak pernah melapor ke Disnakertrans untuk membedakan mana yang pekerjaan pokok, mana yang penunjang,” sambung Junaedi.

Lantaran tidak memiliki perjanjian pemborongan kerja, Koperasi tidak mengantongi izin sebagai penyedia jasa pekerja dan juga tidak mendeklarasikan mengenai pembedaan pekerjaan pokok dan penunjang itu, maka hakim berpendapat tidak ada praktik outsourcing dalam perkara ini. “Berdasarkan Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan, demi hukum status hubungan kerja berlaih dari koperasi ke RSPP,” simpul hakim.

Terus-menerus

Meski tidak menyatakan adanya outsourcing, hakim melihat adanya praktek janggal dalam hubungan kerja di RSPP ini. Mengenai lamanya para pekerja 'mengabdi' di RSPP misalnya. Majelis hakim menilai para pekerja sudah bekerja lebih dari masa kerja yang dibolehkan dalam PKWT, yakni tiga tahun.

Mengacu pada pasal 56 UU Ketenagakerjaan, majelis hakim juga menilai jenis pekerjaan para penggugat, yakni adminstrasi, kurir ambulance dan asisten perawat, tidak termasuk salah satu dari empat jenis pekerjaan yang boleh di-PKWT-kan. “Sehingga dengan sendirinya dan demi hukum, status perjanjian kerja para penggugat berubah dari PKWT menjadi PKWTT.”

Sejauh ini baik pihak RSPP maupun Koperasi enggan berkomentar banyak. Penanggung jawab Koperasi, dr Widya Sarkawi malah mengaku belum mengetahui putusan PHI. Namun ia membenarkan kabar perihal tidak adanya lagi kerja sama pemborongan pekerjaan antara Koperasi dengan RSPP.

Purbadi Hardjoprajitno, kuasa hukum RSPP mengaku sudah melihat beberapa kesalahan majelis hakim dalam membikin putusan. “Tapi saya belum bisa ungkapkan kepada publik karena saya harus konsultasikan dulu dengan klien saya,” ujar Purbadi melalui telepon pada Rabu (7/5). Demikian pula dengan PJS Dirut RSPP, dr Djoko Sanyoto yang belum bersedia menanggapi putusan hakim.

Berdasarkan catatan hukumonline, perkara serupa juga pernah diputus oleh PHI Jakarta. Suatu saat, hakim memerintahkan agar PT Jakarta International Container (JICT) mengangkat 20 karyawan yang di-outsource dari PT Philia Mandiri Sejahtera (PMS) sebagai pekerja tetap. Pertimbangan hakimnya pun hampir mirip, yaitu ketiadaan izin bagi PMS sebagai penyedia jasa tenaga kerja dan jenis pekerjaan yang di-outsource ternyata adalah pekerjaan tetap dan terus menerus.

Ahli Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono pernah menuturkan kepada hukumonline mengenai tidak sinkronnya beberapa rumusan di dalam UU Ketenagakerjaan, Mengenai outsourcing misalnya. Definisi hubungan kerja di dalam outsourcing maupun definisi hubungan kerja secara umum ternyata tidak nyambung.

Hubungan kerja dalam outsourcing hanya didefinisikan sebagai hubungan antara buruh dengan perusahaan penyedia jasa buruh (agen), bukan antara buruh dengan pemberi kerja (user). Ketentuan itu tidak sinkron dengan definisi hubungan kerja secara umum yang mensyaratkan adanya upah, perintah dan pekerjaan.

Lebih jauh Aloysius berpendapat, dalam outsourcing hubungan kerja secara otomatis berpindah ke user. Hal itu karena unsur perintah dan pekerjaan berasal dari user. Sementara unsur upah, meski yang membayarkan kepada buruh adalah agen, namun uangnya berasal dari user.

(IHW)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19179&cl=Berita

Tidak ada komentar: