Kamis, 10 Juli 2008

Derita Karyawan RSPP

Perjuangan Pegawai RSPP Terganjal Biaya Aanmaning
[8/7/08]

Staf PN Jakarta Pusat meminta paket biaya aanmaning dan eksekusi sebesar Rp8,6 juta yang hanya didasarkan pada kebiasaan. Tidak sanggup membayar, pegawai RSPP melapor ke Komnas HAM.

Kamis, 6 Mei 2008 lalu, Imron Hakim bersama dengan 61 rekannya larut dalam kebahagiaan menyambut putusan hakim PHI Jakarta. Hakim dalam putusannya memerintahkan agar Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) mengangkat status kerja Imron Hakim dkk sebagai pegawai tetap. Putusan itu disambut dengan suka cita oleh Imron c.s karena sebelumnya mereka hanya berstatus sebagai pekerja outsourcing yang telah bekerja bertahun-tahun di RSPP.

Dua bulan berlalu sejak putusan PHI diucapkan, nasib Imron dkk ternyata masih menggantung. Mereka merasa hanya menang di atas kertas. Pasalnya, hingga kini pihak RSPP tak kunjung mengangkat mereka sebagai pegawai tetap.

Di sisi lain, pihak RSPP mengaku menghormati putusan PHI. Mereka menyadari bahwa putusan yang memenangkan Imron dkk adalah putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. “Untuk menjalankan putusan itu, kami harus mempersiapkan segalanya secara matang terlebih dulu,” kata Purbadi Hardjoprajitno, kuasa hukum RSPP, melalui gagang telepon, Senin (7/7).

Berbekal putusan PHI yang sudah inkracht itu, Imron c.s meminta Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk mengeluarkan surat peringatan atau teguran (aanmaning) agar RSPP melaksanakan putusan.

Namun belakangan Imron dkk terpaksa berpikir ulang untuk meminta bantuan PN Jakarta Pusat agar mengeluarkan aanmaning. Pasalnya, PN Jakarta Pusat ternyata meminta biaya administrasi untuk menerbitkan aanmaning itu. “Katanya kalau digabung dengan permohonan eksekusi, total biaya aanmaning itu menjadi Rp8,6 juta. Kita duit dari mana mas. Kita udah nggak kerja berbulan-bulan,” Imron mengungkapkan. Alhasil, untuk sementara Imron c.s mengurungkan niat mengajukan permohonan aanmaing.

Nasrulloh Nasution, salah seorang kuasa hukum Imron dkk, menyesalkan sikap PN Jakarta Pusat yang membebani biaya aanmaning dan eksekusi kepada kliennya. “Berdasarkan Pasal 58 UU PPHI, jelas bahwa gugatan yang dibawah Rp150 juta tidak dikenakan biaya perkara atau biaya eksekusi. Gugatan perkara ini tidak menuntut ganti rugi uang sepeser pun. Di PHI tidak dikenakan biaya perkara, kok di PN Jakarta Pusat malah dimintai biaya eksekusi yang sangat besar lagi,” keluh advokat dari Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Jakarta ini.

Dihubungi terpisah, Coriana J. Saragih, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Pusat menyatakan pembebanan biaya terhadap permohonan aanmaning maupun eksekusi dalam perkara perdata adalah hal yang wajar. “Kalau tidak salah untuk aanmaning biayanya sekitar Rp500 ribu. Lebih jelasnya lihat saja di pengumuman di PN. Rincian biaya ini berdasarkan SK Ketua PN kok,” tukasnya melalui telepon, Senin (7/7).

Meski begitu, Coriana menjelaskan adanya pengecualian untuk perkara PHI. “Untuk perkara yang gugatannya di bawah Rp150 juta, biaya perkara dan biaya eksekusi termasuk di dalamnya biaya aanmaning, ditanggung oleh negara. Para pihak tidak dikenakan biaya,tambahnya.

Berdasarkan Kebiasaan

Lain Coriana, lain pula Jerry P. Ramben. Juru Sita PN Jakarta Pusat itu membenarkan adanya permintaan biaya aanmaning dan eksekusi kepada Imron dkk. “Oh iya. Kita juga minta ke mereka untuk biaya aanmaning dan eksekusi itu. Tapi kalau mereka merasa berat, bisa minta dispensasi ke Ketua PN,” terangnya melalui telepon.

Permintaan biaya itu, kata Jerry, bukannya tanpa alasan. Menurutnya meski secara normatif biaya eksekusi untuk perkara semacam ini dibebankan kepada negara, namun demi alasan mempermudah eksekusi, maka biaya terpaksa dibebankan kepada pemohon eksekusi. “Kalau putusan PHI yang tidak ada nominal angka ganti ruginya seperti perkara ini, kita selalu membebankan biaya eksekusi ke pemohon. Biar mudah saja, jelasnya.

Lebih jauh Jerry menjelaskan bahwa pembebanan biaya eksekusi kepada pemohon, memang tidak berlandaskan kepada surat keputusan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. “Itu semacam kebiasaan di sini.”

Dari Rp8,6 juta itu, lanjut Jerry, biaya itu dipecah menjadi dua komponen. Biaya eksekusi dialokasikan sekitar Rp8 juta. Sementara Rp600 ribu sebagai biaya aanmaning. “Biaya eksekusi memang mahal, karena kita harus memakai jasa kepolisian. Pengalaman kami, biasanya tereksekusi itu selalu menghindar kalau kami datangi. Makanya kami berkoordinasi dengan polisi, supaya bisa langsung dieksekusi. Kasihan mereka (Imron Hakim dkk, red) kalau putusannya tidak segera dieksekusi.”

Datangi Komnas HAM

Ketidakmampuan membayar biaya aanmaning dan eksekusi tidak menyurutkan langkah Imron dkk untuk memperjuangkan haknya. Imron dkk kemudian mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan kasusnya. “Kami bermaksud melaporkan dugaan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan pihak RSPP karena mengabaikan hak mereka (Imron dkk) untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,” ujar Nasrulloh Nasution, salah seorang advokat PAHAM Jakarta, sesaat sebelum ditemui Komnas HAM, Senin (7/7).

Nurkholis, Komisioner Komnas HAM yang menemui Imron c.s, menyesalkan terjadinya praktik outsourcing di RSPP terhadap Imron dkk yang rata-rata bekerja sebagai petugas data rekam medis dan asisten perawat. “Pekerjaan anda-anda sekalian menurut sepengatuhan saya seharusnya tidak boleh dikontrak atau dioutsourcing.”

Oleh karena itu, Nurkholis mengaku amat menghargai putusan PHI. “Kami tidak ingin mencampuri urusan eksekusi putusan itu. Tapi yang jelas kami akan berkirim surat untuk meminta klarifikasi kepada Koperasi RSPP sebagai pihak penyedia jasa outsourcing terlebih dulu. Setelah itu baru ke RSPP.”

Secara pribadi Nurkholis memang belum menyimpulkan ada atau tidaknya pelanggaran HAM dalam perkara ini. Meski begitu, lanjut Nurkholis, HAM dalam konteks Ekosob menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

(IHW)

http://hukumonline.com/detail.asp?id=19654&cl=Berita

Tidak ada komentar: