Kamis, 11 Desember 2008

Hakim Dianggap Keliru Tafsirkan Pelepasan Hak atas Pesangon

[11/12/08]

Menurut hakim PHI Bandung, kesepakatan penjualan aset perusahaan dianggap sebagai persetujuan pekerja untuk melepas hak mendapat pesangon. Pertimbangan hakim itu dinilai melanggar hukum.

“Majelis hakim tak berhati nurani,” teriak Indra Munaswar di depan persidangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, awal Agustus lalu. Teriakan Indra itu adalah ekspresi kekesalannya kepada majelis hakim yang menolak gugatannya.

Saat itu, Indra sedang menjadi kuasa hukum 369 pekerja yang sedang menggugat PT Buana Prefash Jaya di PHI Bandung. Gugatan dilayangkan lantaran pesangon para pekerja tak dibayar setelah perusahaan tutup pada Agustus 2007 dan dibubarkan pada September 2007.

Perkara di perusahaan tekstil yang terletak di Cibinong, Jawa Barat ini bermula ketika pada September 2007, perusahaan menjual semua aset perusahaan seperti mesin, genset, bahan produksi dan peralatan kantor. Sementara tanah dan bangunan adalah milik pihak ketiga yang disewa perusahaan. Penjualan aset perusahaan ini dilakukan setelah ada kesepakatan tertulis antara perusahaan dengan serikat pekerja.

Perusahaan berdalih, penjualan aset adalah ujung dari kerugian yang ditanggung perusahaan sejak tahun 2005. Hasil penjualan aset pun ludes untuk membayar upah pekerja bulan Agustus 2007 dan utang kepada beberapa pemasok barang (supplier). Itu pun kabarnya masih menyisakan utang sebesar Rp2 juta.

Dalam perkara ini Indra melihat beberapa kejanggalan. Mulai dari dugaan penyelundupan hukum terkait perubahan status perusahaan dari Penanaman Modal Asing ke Penanaman Modal Dalam Negeri, perubahan struktur pengurus perusahaan, hingga dugaan rekayasa penutupan perusahaan. Atas hal ini, ia menuntut perusahaan membayar pesangon dan upah selama proses. Jumlahnya berkisar antara Rp16 juta sampai Rp30 jutaan tiap orangnya.

Perusahaan bergeming atas tuntutan pekerja. Alasannya, perusahaan tak memiliki aset lagi untuk membayar pesangon. Selain itu perusahaan berdalih bahwa kesepakatan penjualan aset adalah bentuk kesukarelaan dari pekerja untuk tidak menuntut pesangon lagi.

Indra, yang juga Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit ini terang membantah dalil perusahaan. Menurutnya, tak ada satu pun klausul dalam surat kesepakatan penjualan aset yang menyebutkan pekerja secara sukarela melepas haknya untuk mendapat pesangon. Kalaupun ada kesepakatan itu, lanjut Indra, maka kesepakatan itu bertentangan dengan undang-undang.

Secara normatif, UU Ketenagakerjaan memberi hak pesangon kepada pekerja yang di-PHK secara massal dengan alasan perusahaan merugi terus-menerus selama dua tahun. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Di dalam putusannya, majelis hakim PHI Bandung yang diketuai Johny Santosa, beranggotakan Lela Yulianty dan Frans Kangae Keytimu, lebih sependapat dengan dalih perusahaan ketimbang melirik Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan itu.

Menurut hakim, kesepakatan penjualan aset perusahaan adalah kesepakatan yang sah dan mengikat para pihak sesuai dengan prinsip perjanjian. Ditambah fakta bahwa pekerja menerima uang hasil penjualan aset dan surat keterangan pengalaman kerja, hakim berpendapat bahwa pekerja merelakan hak pesangonnya.

Sesat Pikir

Kontan saja Indra mencak-mencak atas putusan hakim. Menurutnya, uang hasil penjualan aset yang diterima pekerja adalah upah bulan terakhir sebelum perusahaan tutup. “Bukan pesangon. Lagi pula saya tegaskan, tidak ada klausul dalam surat kesepakatan yang menyebutkan pekerja merelakan hak pesangonnya.”

Agus Mulya Karsona, pakar Hukum Perburuhan Universitas Padjadjaran, Bandung, menilai putusan hakim amat janggal. Ia sependapat dengan Indra. Kalaupun ada klausul dalam kesepakatan yang menyebutkan pekerja merelakan hak pesangonnya, maka klausul itu dengan sendirinya menjadi batal.

Menurut Agus, salah satu syarat sahnya perjanjian menurut hukum perdata adalah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pada bagian lain, UU Ketenagakerjaan juga tidak membolehkan perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha melanggar undang-undang.

Dalam hal perusahaan melakukan PHK massal karena perusahaan rugi, sambung Agus, Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan sudah menegaskan hak pekerja dan kewajiban pengusaha. “Berarti hakim dalam perkara ini sudah mengangkangi Pasal 164 Ayat (1) ini. Atau mungkin hakim nggak tahu pasal ini?” kata Agus.

Pandangan sedikit berbeda dilontarkan Aloysius Uwiyono. Guru besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia ini mengatakan pelepasan hak pekerja atas pesangon dapat dibenarkan, jika tercantum secara tegas dalam surat kesepakatan. “Menurut saya, itu sah saja sepanjang perusahaan benar-benar terbuka kepada pekerja mengenai kondisi keuangan perusahaan,” kata dia lewat telepon, Rabu (10/12).

Sampai berita ini diturunkan, hukumonline tak berhasil menghubungi Nanda Iskandar, kuasa hukum perusahaan. Usaha menghubungi lewat telepon pribadinya tak membuahkan hasil.

Di sisi lain, Indra sudah mengajukan memori kasasi pada September lalu. “Mudah-mudahan hakim tingkat kasasi memiliki pemahaman hukum ketenagakerjaan yang mumpuni dan yang pasti, berhati-nurani.”

Bagaimana putusan di tingkat kasasi? Kita tunggu saja.

(IHW)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20690&cl=Berita

Tidak ada komentar: