Senin, 15 Desember 2008

RUU MA Dinilai Cacat Konstitusional

[14/12/08]

Bila DPR tetap ngotot mengesahkan, sejumlah pihak siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) sudah memasuki tahap final. Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga telah menyepakati substansi dalam revisi itu, termasukusia pensiun hakim agung yang diperpanjang menjadi 70 tahun. Minus PDI Perjuangan yang menolak, mayoritas Fraksi di Senayan sudah memberi lampu hijau.

Menurut rencana, Komisi III DPR akan menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas draft final RUU MA pada 16 Desember nanti. Dua hari berselang, pada 18 Desember 2008, RUU akan disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna. Ketua DPR Agung Laksono menjanjikan DPR akan menerima apapun keputusan yang diambil Komisi III dalam raker tersebut. Artinya, peluang RUU MA ini disahkan sangat besar.

Melihat perkembangan tersebut, sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap menyatakan penolakan terhadap RUU MA ini sudah menyiapkan langkah hukum. Bila RUU itu benar-benar disahkan, sejumlah kelompok masyarakat siap mendaftarkan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Pembahasan RUU ini cacat konstitusional,” ujar peneliti Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Wahyudi Djafar di Jakarta, Jumat (12/12).

Wahyudi mengatakan revisi UU MA ini bisa diajukan uji formal ke MK. Ia menilai proses pembentukan revisi UU itu tidak melewati prosesdur sebagaimana lazimnya tata urutan peraturan perundang-undangan. “Proses tertutup. Rapat Dengar Pendapat Umum tidak dilakukan. Tiba-tiba masuk Bamus dan siap disahkan,” jelasnya. Menurutnya, proses tersebut bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu asas yang dilanggar dalam UU itu adalah keterbukaan.

Meski UU 10/2004 hanya berupa UU, tapi UU itu berisi norma konstitusi. Wahyudi menjelaskan UU 10/2004 merupakan turunan langsung dari Pasal 22A UUD'45. Pasal itu berbunyi 'Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang'. “UU 10/2004 itu merupakan norma konstitusi,” tuturnya. Sehingga, bila dalam proses pembentukan UU menabrak asas dalam UU 10/2004, sama halnya dengan menabrak norma konstitusi.

Pasal 5 UU 10/2004

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat:

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan: dan

g. Keterbukaan

Asas yang dilanggar dalam pembentukan UU MA itu sebenarnya bukan hanya asas keterbubakaan, tetapi juga asas kejelasan tujuan. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zainal Arifin Mochtar menilai DPR tak mempunyai konsep yang jelas tentang lembaga MA serta kekuasaan kehakiman secara umum mau dibawa ke mana. Politik hukum DPR terhadap kekuasaan kehakiman ini tidak jelas.

Zainal menjelaskan politik hukum itu terdapat tiga dimensi. Pertama, bangunan hukum itu mau dibawa ke mana. Kedua, adanya tarik ulur kepentingan politik. Terakhir, bagaimana implementasi produk hukum itu ke depan. Ia menilai elemen penting yang pertama tak dimiliki DPR dalam membentuk UU MA. “DPR telah gagal memahami politik hukum,” tuturnya.

Argumentasi untuk mengajukan uji formal yang sepertinya dikuatkan. Apalagi, konsekuensi uji formal lebih dahsyat dari sekedar uji materi. Dalam pengujian formal UU, MK bisa 'membatalkan' seluruh isi ketentuan UU. Namun, Zainal menyarankan agar uji materi juga harus tetap dilakukan. “Pengujian UU MA ke MK jangan hanya secara formil saja, tapi juga uji materi,” tuturnya.

Zainal mengibaratkan pengajuan uji formal maupun uji materi ini seperti melempar jala. Semua upaya harus dilakukan. “Jangan hanya lempar pancing, tapi lembar jala. Biar nanti benar-benar tersangkut,” pungkasnya.

(Ali)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20714&cl=Berita

Tidak ada komentar: