Selasa, 11 November 2008

MK Mulai “Kebanjiran” Sengketa Hasil Pilkada

MK Mulai “Kebanjiran” Sengketa Hasil Pilkada
[11/11/08]

Mahkamah Konstitusi menggelar empat sidang sengketa hasil pilkada dalam sehari. Selain itu, masih ada sembilan perkara baru yang sudah masuk dan siap untuk diregister.


Pegawai bagian persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) terlihat sangat sibuk. Mereka terlihat hilir mudik memanggil para pihak untuk memasuki ruang sidang. Maklum saja, bila biasanya MK hanya menggelar sekali atau dua kali sidang dalam sehari, kali ini ada empat perkara yang disidangkan. Keempat perkara itu memiliki tajuk yang sama, yakni sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah atau disingkat sengketa hasil pilkada.



Empat perkara sengketa hasil pilkada yang disidangkan hari Senin (10/11), adalah pilkada Kabupaten Donggala, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Cirebon serta Kabupaten Ogan Komering Ilir. Berdasarkan Peraturan MK yang mengatur hukum acara sengketa hasil pilkada, perkara-perkara tersebut harus sudah diselesaikan paling lama dalam jangka waktu 14 hari kerja.



Selain empat perkara tersebut, masih ada sembilan perkara baru yang siap untuk diregistrasi. Hal ini diungkapkan Khairuddin, pegawai bagian penerimaan berkas perkara. Perkara-perkara itu diantaranya, pilkada Kota Makassar, Kabupaten Luwu, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Biak. Jumlah perkara kemungkinan juga akan bertambah. Berdasarkan pantauan hukumonline, beberapa orang masih berdatangan untuk mendaftarkan permohonan sengketa hasil pilkada.



“Banjirnya” perkara di MK ini tak lepas dari pengalihan penyelesaian sengketa hasil pilkada dari Mahkamah Agung (MA) ke MK. Pengalihan kewenangan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 236 huruf c UU No. 12 Tahun 2008 tentang revisi UU Pemda. MA pun secara resmi telah mengalihkan kewenganan tersebut ke MK, akhir bulan lalu.



Khairuddin mengatakan kebanyakan pemohon masih bingung dalam membuat permohonan. “Perkara yang bisa diadili MK hanya seputar perbedaan atau selisih suara, bukan pelanggaran pilkada,” tegasnya.



Soal waktu pendaftaran, Khairuddin juga punya cerita unik. Jumat pekan lalu (7/11), ia terpaksa lembur. Pasalnya, ada pemohon dari Papua yang sedang dalam perjalanan ke Jakarta khusus untuk mendaftarkan perkara ke MK. “Mereka minta ditunggu. Kasihan juga sih,” tuturnya. Ia mengaku berada di kantor sampai jam sepuluh malam untuk membereskan berkas pendaftaran tersebut.



Keberadaan MK yang hanya ada di Jakarta memang sempat menjadi kekhawatiran tersendiri ketika MA mengalihkan sengketa hasil pilkada. Untuk menjawab kekhawatiran tersebut, MK sebenarnya telah membuka fasilitas pendaftaran perkara secara online melalui internet. Hanya, cara seperti ini belum terlalu populer untuk orang daerah. “Cuma satu perkara yang didaftar secara online,” kata Khairuddin.



Biasa molor

Cerita unik juga terjadi di ruang sidang. Perkara pertama, pilkada Kabupaten Donggala terpaksa ditunda. Pasalnya, pemohon datang terlambat sekitar 45 menit dari jadwal resmi. Usut punya usut, ternyata si pemohon mengaku biasa terlambat ketika bersidang di Pengadilan Negeri. ‘Kelaziman’ seperti ini yang tak ditolelir oleh para hakim konstitusi.



Kuasa hukum pemohon sengketa pilkada Ogan Komering Ilir Sulyaden memuji kedisiplinan MK ini. “Kalau di PN, jadwal jam sepuluh, bisa sidang jam tiga,” ungkap pria yang baru pertama kali beracara di MK ini. Ia juga mengatakan tertibnya administrasi di MK perlu diacungi jempol.



Namun, terkait pengalihan penyelesaian sengketa hasil pilkada ini, Sulyaden sempat kecele. Awalnya dia mendaftarkan permohonan ke Pengadilan Tinggi. Dia baru tahu setelah membaca berita di media massa kalau sengketa hasil pilkada sudah beralih ke MK. Untung saja Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan segera mengirim surat ke Ketua MK untuk meneruskan permohonan itu.



Lain lagi kuasa hukum pemohon pilkada Kabupaten Gorontalo Utara, Suhardi La Maira. Kebiasaannya beracara dalam kasus perdata masih terbawa-bawa ke MK. Dalam petitumnya, ia mencantumkan mengenai biaya perkara. “Membebankan biaya perkara kepada termohon,” sebutnya.



Hakim Konstitusi Akil Mochtar yang memimpin persidangan langsung mengklarifikasi. Ia mengatakan bersidang di MK tak ada pungutan biaya perkara baik untuk pemohon maupun termohon. “Disini tak ada biaya, yang penting keadilan,” ujarnya.


Selain itu, Akil juga melihat permohonan yang masih terlihat ruwet. Ia meminta agar pemohon membedakan permohonan dengan gugatan perdata. “Permohonan harus disusun secara sederhana,” tegasnya.

(Ali)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20462&cl=Berita

Tidak ada komentar: