Jumat, 14 November 2008

Asosiasi Asuransi Gugat PP Perasuransian ke Mahkamah Agung

Asosiasi Asuransi Gugat PP Perasuransian ke Mahkamah Agung
[13/11/08]

Peraturan Pemerintah Perasuransian disinyalir dapat mematikan industri asuransi di Tanah Air. Kewajiban menambah modal dianggap tidak tepat dalam kondisi krisis seperti sekarang.
Protes dari sejumlah pengusaha asuransi terhadap terbitnya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (PP Perasuransian), berujung ke Mahkamah Agung.
Para pengusaha asuransi yang tergabung dalam Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), mendaftarkan permohonan uji materi terhadap PP tersebut ke Mahkamah Agung, Kamis (13/11). “Hari ini kami resmi mendaftarkannya,” kata kuasa hukum AAUI, Ricardo Simanjuntak kepada hukumonline.
Pengusaha asuransi memang sudah lama gerah atas beleid tersebut. Soalnya, di tengah kondisi perekonomian yang belum pulih, Pemerintah malah memaksa pengusaha asuransi untuk menaikkan modal. Kenaikan modal itulah yang diatur dalam beleid yang mulai diberlakukan pada 19 Mei 2008 ini.
“Peraturan Pemerintah itu memberatkan perusahaan asuransi. Kami sudah memohon kepada Presiden, Wapres, Bapepam-LK, dan Menkeu untuk tidak diberlakukan atau pun minta kelonggaran dalam permodalan. Tapi tidak ada respon. Jadi, untuk mempertahankan eksistensi kami mengajukan judicial review ke MA,” ujar Ketua AAUI Kornelius Simanjuntak.
Dari dokumen permohonan yang didapat hukumonline, ada tiga pasal yang diminta pembatalannya, yakni Pasal 6A ayat (1), Pasal 6B ayat (1) dan (2), dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6A ayat (1) berbunyi: “Perusahaan Perasuransian harus memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2)”.
Pasal 6 ayat (1) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi adalah sebagai berikut:
a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi;
b. Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi;
c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi.
Ayat (2) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut:
a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi;
b. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi.
Berdasarkan pasal 6B ayat (1), Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut: (a) paling sedikit sebesar Rp40 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2008; (b) paling sedikit sebesar Rp70 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2009; (c) paling sedikit sebesar Rp100 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2010.
Lalu, ayat (2) menegaskan bahwa Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut: (a) paling sedikit sebesar Rp100 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2008; (b) paling sedikit sebesar Rp150 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2009; (c) paling sedikit sebesar Rp200 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2010.
Sesuai rumusan Pasal 7 ayat (1), Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) atau 20% dari modal sendiri minimum yang dipersyaratkan.
Ricardo menilai, klausul di dalam Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 6B ayat (1) dan (2), bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, khsusunya pasal 11 ayat (1) beserta penjelasannya. Pasal itu menyebutkan, kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi terdiri dari: batas tingkat solvabilitas, retensi sendiri, reasuransi, investasi, cadangan teknis, dan ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan.
Menurut Ricardo, pemerintah keliru memahami pengertian kesehatan atau solvabilitas perusahaan asuransi dan reasuransi dalam PP No. 39/2008. Pemerintah, kata dia, hanya memahami tatacara penentuan kesehatan perusahaan asuransi dan reasuransi berdasarkan besarnya modal. Dengan kata lain, pemerintah beranggapan, semakin besar modal perusahaan asuransi dan reasuransi, maka semakin sehat perusahaan asuransi dan reasuransi tersebut. “Jelas pemahaman tersebut tidak berdasar,” ujar Ricardo.
Apalagi, kata dia, di dalam UU No. 2/1992, ukuran kesehatan perusahaan asuransi dan reasuransi ditetapkan pemerintah melalui mekanisme Risk Based Capital (RBC). RBC merupakan suatu mekanisme perhitungan kesehatan perusahaan asuransi yang tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya modal yang disetor.
Pendapat Ricado diamini Kornelius. Menurutnya, pemerintah tidak bisa menyamaratakan modal antar perusahaan asuransi. “Kesehatan perusahaan asuransi itu tidak dilihat semata-mata dari jumlah modalnya,” ujar Kornelius.
Potensi Rush
Klausula Pasal 7 ayat (1), kata Ricardo, menunjukan ego kekuasaan pemerintah terhadap sektor asuransi. Pasal tersebut, menurutnya, bertentangan dengan Pasal 15 sampai Pasal 20 UU No. 2/1992, yang mengatur tentang fungsi pengawasan dan pembinaan pemerintah.
“Jika pemerintah benar-benar melakukan langkah pengawasan yang benar, jujur, adil dan berkepastian hukum, maka tidak ada dasar untuk harus meletakan bagian modal sebesar itu. Karena penjaminan tersebut dapat dilakukan melalui cara lain,” ujar Ricardo.
Ricardo mengatakan, tidak tepat bagi pemerintah untuk menaikan modal perusahaan asuransi ketika situasi pasar sedang jatuh. Harusnya, Pemerintah memberikan support dan kemudahan-kemudahan, bukan malah menekan. “Itu namanya kesewenang-wenangan dan akan mengguncang industri asuransi yang sedang berusaha untuk tetap tegas dalam masa krisis ini,” kata dia.
“Pemaksaan PP No. 39/2008 akan mendorong terjadinya penutupan asuransi yang akan menimbulkan kegoncangan di kalangan pemegang polis dan berpotensi menimbulkan rush (penarikan dana) pengembalian polis,” tegas Ricardo.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata mengaku belum mengetahui pendaftaran uji materi tersebut. Isa sendiri enggan mengomentarinya lantaran belum membaca berkas permohonan. “Saya baru tahu nih Mas. Nanti kalau sudah terima berkas saya mau komentar,” singkat Isa yang sudah memprediksi adanya permohonan uji materiil tersebut.
(Sut)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20486&cl=Berita

Tidak ada komentar: